Sedang Membaca
Karomah Santri Ndalem yang Belum Pernah Diceritakan
Avatar
Penulis Kolom

Alumni Plumbon. Penulis adalah mahasiswa STIK Kendal.

Karomah Santri Ndalem yang Belum Pernah Diceritakan

Bu Nyai Ziarah

“Jika kamu tidak pandai dalam hal akademik, jadilah abdi ndalem”. Dawuh K.H. Sulthon Sya’ir, pengasuh Ponpes Al-Hidayah  Plumbon, ketika ngaji tafsir ba’da subuh di aula pesantren putri.

Beliau juga bercerita tentang pengalaman waktu beliau nyantri di salah satu pesantren di Jawa Timur. Kala itu usia beliau yang masih muda selalu membuat keributan di lingkungan pesantren. Sehingga beliau sering dita’zir (sanksi).

“Dulu saya sering dita’zir sampai pengurus kewalahan menghadapi saya, hingga akhirnya saya disowankan kepada kiai. Nah, di situlah kesempatan saya untuk bisa bertemu kiai sampai saya memaksa harus ikut di ndalem kiai”. Dawuh Kiai Sulthon dengan candaan khasnya.

Ternyata, beliau ‘nakal’ dengan sengaja agar bisa dikenal kiainya. Dari cerita Abah Sul (sapaan akrab Kiai Sulthon), saya mengambil kesimpulan bahwa beliau rela melakukan berbagai cara agar dikenal kiainya. Padahal beliau seorang Gus (sebutan untuk putra kiai) tetapi kenapa mau menjadi abdi ndalem?

Lalu bagaimana dengan saya yang notabene bukan siapa-siapa? Pintar tidak, anak kiai juga bukan. Bagaimana caranya agar pengasuh kenal dengan saya?

Lamunan saya masih terus berlanjut sampai akhirnya libur semester awal, kemudian saat itu saya disambangi bapak-ibu ke pondok.

“Liburan tidak usah pulang, ndherek ten ndalem mbah ibu mawon, latihan ngabdi,” kata bapak.

Mbah Bu merupakan istri dari Kiai Sya’ir, pendiri pondok pesantren TPI Al-Hidayah. Yang juga merupakan ibu dari K.H. Abdul Manaf, K.H. Agus Musyaffa’, K.H. Sulthon, dan Nyai Hj. Faridatul Bahiyah.

Baca juga:  Percakapan Pasien Covid-19 Menuju Ruang Rontgen

“Ini jawaban lamunan saya dari kemarin,” batinku.

Saya tidak banyak menjawab, hanya menganggukkan kepala tanda menyetujuinya. Keesokan hari setelah santri libur, saya sudah mulai aktivitas di ndalem Nyai Hj. Amanah atau lebih akrab dipanggil Mbah Bu.

Sebelumnya, sudah biasa ikut mbak pengurus bantu-bantu, jadi sedikit banyak Mbah Bu sudah mengenali saya.

“Apa Silva bisa masak?,” tanya Mbah Bu sambil tersenyum meledek.

“Kulo saged nopo mawon Mbah Bu,” jawab saya dengan percaya diri.

Mbah Bu memang dikenal dengan ketelatenan dan kedisiplinannya. Di usia beliau yang sudah sepuh, Mbah Bu selalu memperhatikan santrinya. Selain telaten dalam mengajar, beliau juga selalu memastikan kecukupan makanan untuk para santri, terutama santri putri.

Nyai Hj. Siti Amanah atau Mbah Bu merupakan sosok yang sangat luar biasa menurut saya. Mulai dari kegiatan pagi, subuh berjamaah di aula putri, beliau selalu rawuh tepat waktu, padahal adzan baru saja berkumandang.

Bahkan, sebelum santri berkumpul di aula, sering beliau sudah rawuh terlebih dahulu. Apakah beliau marah? tentu saja tidak. Untuk melatih disiplin para santri beliau tidak memberikan toleransi waktu menunggu.

Beliau langsung melaksanakan salat subuh meskipun hanya hitungan jari saja santri yang sudah siap. Dilanjutkan wirid khas beliau yang tidak cukup setengah jam lamanya. Termasuk lama menurut saya.

Baca juga:  Tubuh Indah yang Terjajah

Bahkan tidak sedikit santri yang sampai ketiduran, termasuk saya. Setelah kegiatan subuh, waktu itu pertama kalinya saya menjadi abdi dalem. Diawali dengan mengupas bawang merah dengan segala aturannya. Yang seharusnya dikupas kulit luarnya saja, saya malah mengupasnya sampai kulit dalam hingga benar-benar bersih.

Menurut Mbah Bu, mengupas bawang merah cukup satu atau dua lembar kulit luarnya saja. Meskipun kurang bersih menurut saya. Tidak sesuai pemikiran memang, tapi saya harus nurut. Bahkan sampai semua jenis makanan harus dicuci terlebih dahulu sebelum dimasak, termasuk tahu dan tempe.

“Pokoke panganan sing bali sekan pasar kudu dikumbah,” dawuh Mbah Bu. Mungkin karena sifat wira’i beliau.

“Pokoknya harus nurut sama kiai, dipondok yang paling penting itu barokah para kiai”. Nasehat bapak waktu sambangan sebelum saya di ndalem.

Kata-kata itu saya pegang betul meskipun sering tidak sejalan dengan pemikiran saya. Bahkan sampai pada saat liburan saya tidak pulang, hanya ada dua orang saja di pesantren.

Saat itu sebelum zuhur Mbah Bu menyuruh saya untuk memindahkan panci (beliau menyebutnya kuali) yang berisi sayuran nangka penuh. Ukurannya lumayan besar, kira-kira seukuran panci tukang bakso.

Kebetulan saat itu saya memanggil teman saya untuk membantu mengangkat panci tidak ada jawaban, sedang mandi mungkin. Sementara Mbah Bu terus menyuruh saya untuk memindah panci tersebut.

Baca juga:  Bayi dan Kisah Unik di Sekelilingnya

Dengan panik, tanpa pikir panjang langsung saya mengangkat panci yang secara nalar tidak mungkin saya kuat lakukan sendiri. Qodarullah panci yang berisi sayuran penuh berpindah tempat dengan selamat tanpa bantuan seorangpun.

Di luar prediksi, sampai Kang Rohman (abdi ndalem Abah Sul) melongo di depan pintu, tidak percaya saya punya kekuatan super.

“Mbak Silva diam-diam punya kekuatan super,” celetuknya sambil terkekeh.

Sekitar jam lima sore, saya ketiduran hingga menjelang maghrib. Dahi panas, tangan gemetar, seluruh badan terasa sakit semua. Teman saya panik dan segera mengambilkan segelas teh hangat.

“Mbak Silva, kamu demam”. Dia panik karena di pondok putri hanya berdua saja dengan saya.

Kemudian saya menceritakan kejadian siang tadi, “memindahkan kuali dengan kekuatan superku”.

Ha ha ha..

Alih-alih empati, malah saya ditertawakan.

“Bukan kekuatan super, itu kekuatan Min Haitsu La Yahtasib,” katanya.

Alhamdulillah, saya sangat senang bisa menjadi bagian dari santri ndalem. Selain dikenal dengan pengasuh juga banyak keringanan, termasuk saat tidak ikut kegiatan pondok tidak ada yang negur.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top