Sedang Membaca
Menonton Kisah Natal: Review Film ‘Mary’ (2024)
Sarjoko S
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Kajen, Pati. Aktif di Gusdurian, Jogjakarta. Selain menulis, juga suka fotografi dan desain.

Menonton Kisah Natal: Review Film ‘Mary’ (2024)

Menonton Kisah Natal: Review Film ‘Mary’ (2024)

Saya baru saya menonton film epos di Netflix berjudul ‘Mary’ (2024). Film garapan Daniel John Caruso ini menceritakan perjalanan salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia yang disebut dalam kitab suci agama-agama semit bernama Maria atau Maryam. Maria inilah sosok yang melahirkan Isa Al-Masih atau Yesus Kristus. Dalam film garapan Netflix tersebut, Maria (diperankan Noa Cohen) mengambil point of view Al-Kitab sehingga penonton muslim mungkin akan bertanya-tanya terkait detail alur dan nama-nama yang muncul.

Perbedaan nama ini hanya disebabkan dari perbedaan penyebutan bahasa Arab dengan ibrani yang menjadi latar Al-Quran dan Alkitab. Misalnya, dalam Islam, Maria disebut sebagai anak dari Imran, sedangkan di Al-Kitab (dan film Mary) ia adalah putra Yoakhim. Sementara detail penceritaan mengalami perbedaan signifikan dari status pernikahan Maria. Di Al-Quran, Maria diceritakan sebagai seorang anak yang sangat salehah dan tidak pernah disebut menikah. Sementara di kitab agama Kristen, Maria diceritakan menikah dengan pemuda bernama Yosef dari Nazaret.

Dalam versi keduanya Maria sama-sama mengandung melalui proses yang tidak lazim. Ia hamil tanpa pernah melakukan hubungan biologis. Hal yang kemudian menjadikan Maria dikucilkan dan mengalami berbagai ujian, bahkan sempat diancam untuk dirajam. Sementara Yosef (diperankan Ido Tako) yang sejak awal mengkhitbah Maria karena naksir pada pandangan pertama, melindungi Maria dengan cara menikahinya. Ia percaya bahwa perempuan itu seorang yang suci. Seorang biarawati bernama Anna (diperankan Susan Brown) juga meyakini bahwa Maria adalah sang bejana yang dijanjikan dalam kitab terdahulu.

Ramalan mengenai kelahiran raja orang Yahudi membuat Raja Herodes (diperankan Anthony Hopkins) yang berkuasa di Yerusalem memerintahkan pencarian sosok Maria. Maria dan Yosef kemudian bersembunyi dari desa ke desa hingga lahirlah Isa di Bethlehem (Arab: Baitullahmi), sebuah perkampungan yang terletak di Tepi Barat, beberapa kilometer selatan Yerusalem, Palestina. Raja Herodes kemudian memerintahkan prajuritnya untuk mengumpulkan dan membunuh bayi laki-laki yang ada di kota seketika mendengar bayi ‘yang dijanjikan’ telah lahir.

Baca juga:  Diplomasi Cinta dalam Cerita Panji

Tidak diketahui kapan pastinya tanggal kelahiran itu. Namun sebagian orang berdasarkan banyak tanda dan informasi meyakini 25 Desember 6-4 sebelum masehi sebagai tanggal kelahirannya. Dalam bahasa Latin, kelahiran disebut sebagai ‘natal’. Maka, tanggal kelahiran salah satu sosok paling berpengaruh di dunia diperingati sebagai ‘Hari Natal’. Dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘maulid’.

Perjalanan seorang Maria menjadi ibu tidak mudah. Ia harus menanggung perjalanan teologis dan biologis yang begitu berat. Sebagai seorang perempuan yang mengabdikan dirinya untuk Tuhan di kuil, Maria berkewajiban menjaga kesucian lahir dan batin. Di sisi lain, cara pewahyuan yang diberikan kepadanya dengan cara hamil tanpa proses yang lazim membuatnya harus menepi dari kehidupan biarawatinya.

Dalam film tersebut, diceritakan pula bagaimana orang tuanya terguncang karena mengira Maria melakukan tindakan yang memalukan. Anne (diperankan Hilla Vidor), sang ibunda yang tegas membelanya. Sementara ayahnya Yoakhim (diperankan Ori Pfeffer) sampai beberapa waktu masih belum percaya bahwa anak yang dinantikan selama puluhan tahun ‘ternodai’ ketika berada di kuil. Baik dalam Al-Quran atau Alkitab diceritakan Imran dan istrinya tidak memiliki anak hingga usia sepuh. Mereka berdoa dan melakukan nazar apabila memiliki anak, kelak anak tersebut akan menjadi abdi Tuhan di kuil. Pada akhirnya Anne dan Yoakhim membela Maria dan turut dalam pelarian.

Baca juga:  Dari Madura hingga Australia: Membaca Wajah Orang Indonesia di Tengah Wabah Corona

Problem representasi

Film ini mengeksplorasi sisi-sisi humanis seorang Maria sehingga latar teologis tidak signifikan menjadi penghambat ketika meresepsinya. Sebagai muslim saya masih bisa menikmati film ini meski harus beberapa kali mencari informasi tambahan terkait alur atau pun penokohan. Timothy Hayes, sang penulis naskah, kabarnya ‘berkonsultasi’ pada tokoh Yahudi, Kristen, dan Islam ketika menggarapnya. Proses pembuatan film pun sampai melibatkan Uskup Katolik David G. O’Connell dan pastor Joel Osteen yang menjadi produser eksekutifnya.

Sebagai sebuah karya seni, film ‘Mary’ berhasil menyajikan cerita yang menarik dan mudah dipahami. Hanya saja penonton perlu mendudukkannya sebagai ‘karya’ yang tak lepas dari modifikasi. Film ‘Mary’ perlu disejajarkan dengan novel, cerita, atau pun lukisan yang tidak lepas dari berbagai distraksi dan distorsi. Cerita film ini saja sebagian besar terinspirasi dari Injil Yakobus yang tidak masuk dalam kanon gereja. Karenanya, bukan hanya muslim, sebagian umat Kristen pun mungkin ‘terganggu’ dengan beberapa bagian ceritanya.

Namun karya seni seperti film tidak bisa dilepaskan dari konteks. Film ini memiliki banyak hal yang perlu dikritisi, salah satunya problem representasi.

Menjelang rilisnya, ada seruan boikot karena film ini menggandeng artis berkebangsaan Israel sebagai pemeran kunci. Selain persoalan geopolitik, penghadiran sosok Maria melalui artis Israel mengundang perdebatan. Sosok Maria memang tidak dijelaskan secara rinci mengenai asal-usulnya. Ada yang menyebut Maria bersuku Yehuda, ada juga yang meyakini suku Lewi. Keduanya satu rumpun sebagai Bani Israil (sebutan suku untuk keturunan Nabi Ya’qub, bukan negara Israel yang dikenal saat ini). Nazareth (Arab: Nasirah), kota kelahiran Maria, dikenal sebagai perkampungan Arab Palestina. Besar kemungkinan, Maria berasal dari ‘klan Arab’ yang berpenampilan layaknya orang Arab di masa itu. Di era kontemporer saja, sebanyak 75 ribu orang Arab yang beragama Kristen dan Islam mendiami kota kuno tersebut meski dalam represi pemerintah Israel.

Baca juga:  Pendidikan dan Nubuat Seni

Di film tersebut, representasi Arab bahkan sangat minim, termasuk pada latar Nazareth. Film tersebut hanya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa penceritaan, tanpa sedikit pun memberi ruang untuk menampilkan pengalaman historis melalui percakapan dalam bahasa Arab atau Ibrani. Selain itu, film ini menghilangkan sama sekali eksistensi Palestina. Film ‘Mary’ tampaknya ingin ‘main aman’ dengan meniadakan penyebutan teritori sebuah ‘negara’. Padahal sebagian besar latar film merupakan wilayah Palestina dalam peta klasik.

Sebagai penutup, film ‘Mary’ bisa menjadi ringkasan kisah alternatif seorang perempuan yang sosoknya disebut berkali-kali dalam Al-Qur’an. Namanya bahkan diabadikan sebagai nama surat yang menandakan tingginya apresiasi Islam pada sosok Maria atau Maryam. Melalui rahimnya lahir seorang Nabi Isa AS yang menjadi salah satu Rasul umat Islam. Di sisi lain penonton perlu kritis karena film ini tak lepas dari berbagai kepentingan di baliknya.

Untuk Nabi Isa dan Maria atau Siti Maryam, Al-Fatihah

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top