Bertahun-tahun yang lalu, saat saya masih beradaptasi di perkuliahan awal antropologi, saya membaca sebuah karya puisi terjemahan penyair Austria, Rainer Maria Rilke, berjudul “Padamkan Mataku”. Sebuah karya yang tanpa diduga, dengan kekuatan magisnya mampu menyentuh dimensi batin saya. Begitu halus sekaligus menggetarkan.
Dalam kekaguman, keharuan, dan kebahagiaan yang tumbuh menyelinap diam-diam dalam hati saya setelah membaca puisi tersebut, lantas saya pun bertanya-tanya bagaimana keindahan sebuah puisi mampu menciptakan gelombang rasa yang membius semacam itu.
Terdorong oleh keingintahuan dan kebutuhan untuk mengalami lagi proses ekstasi dari puisi, saya mulai membaca karya-karya penyair lainnya dan juga sesekali belajar menulis puisi. Di titik inilah, puisi Rilke telah mengantar saya memasuki gerbang dunia kepenyairan. Dunia yang meski sering tersingkirkan oleh desakan rutinitas dan kebutuhan praktis dalam hidup, tetap menjadi rumah dari segala pertarungan dalam realitas sehari-hari.
Puisi, seperti juga produk seni lainnya adalah hasil pencerapan manusia terhadap realitas. Berbeda dengan Sains yang melakukan upaya untuk memahami realitas dengan metode rigid tertentu, puisi barangkali lebih menyerap dan mencerna realitas sebagaimana adanya.
Puisi merupakan proses imitasi dan kontemplasi terhadap kehidupan dengan wujudnya yang paling murni. Proses ini dilakukan dengan cara pendalaman terus-menerus (intensifikasi) pada realitas yang dihidupi. Dengan demikian seorang penyair tidak sekadar memikirkan, melainkan sudah pasti mengalami tiap hal yang tergurat dalam puisinya. Penyair membaca semesta di luar dirinya untuk kemudian diterjemahkan kembali melalui semesta kecil di dalam dirinya dengan wujud puisi. Sehingga keterhubungan antara dunia penyair—penyair—puisinya akan selalu dapat dibaca pemaknaannya.
Semakin jujur si penyair bergelut dalam pengalaman dan dalam menciptakan puisinya, maka akan semakin bening pula proses pembacaan tersebut.
Ekspresi dalam Eksistensi
Demi menyikapi takdir kejatuhan di dunia, sebagai manusia kita terus-menerus mencari makna, tujuan hidup, dan siapa kita sesungguhnya. Sebuah proses penjelajahan otentitas diri yang pedih dan akan berlangsung sepanjang hayat. Kebenaran dan kesejatiaan adalah apa yang diidealkan oleh tiap manusia, meski dalam pengertian paling subyektif. Dalam kebutuhan eksistensial ini, puisi memiliki peranan penting dalam menyingkap tabir kesemestaan.
Menulis puisi bagi penyair dapat menjadi pelipur rasa keterasingan dalam hidup, atau sebagai upaya kecil untuk menjawab pertanyaan abadi mengenai misteri dunia. Cara penyair menghayati kehidupannya, memandang semesta tempat dia tinggal, dan aspek nilai serta pedoman moral yang dipegang teguh akan menjadi esensi dalam gagasan-gagasan puisinya.
Sedangkan imajinasi, kreativitas, dan wawasan kebahasaan akan menentukan gaya puisinya. Sehingga puisi dengan kedalaman maknanya, dapat menjelma jendela untuk melihat dunia secara berbeda melalui kacamata sang penyair.
Memahami puisi sebagai bentuk ekspresi penyair atas kegelisahan yang digeluti, dapat sedikit-banyak membantu kita untuk mengenali pribadi si penyair. Namun demikian, proses interpretasi tersebut bukan hal yang mudah mengingat puisi-puisi yang kita baca belum tentu mengandung gagasan utuh tentang suatu hal.
Bisa saja itu hanya berupa ungkapan kegalauan sesaat yang tidak memiliki arti apapun selain olah kata bernuansa estetis. Mengenai hal ini saya teringat Cassirer, bahwa puisi dan seni haruslah selalu memberi kita gerak (motion), bukannya perasaan (emotion) semata. Dengan kata lain, sebuah puisi perlu memiliki daya ganggu (pengaruh) bagi para pembacanya, sebagaimana puisi Rilke yang memberi sentuhan inspirasi dan motivasi bagi saya untuk mulai mendalami puisi sebagai bentuk kecintaan, maupun kebutuhan spiritual dan intelektual.
Pada hakikatnya, menulis puisi merupakan ekspresi untuk mengada dalam dunia yang tak pernah bisa dimengerti seutuhnya oleh manusia. Proses penciptaan puisi tidak akan pernah lepas dari kerja kontemplasi dalam memahami manusia dan keterkaitannya alam semesta yang melingkupinya. Meskipun, aspek di luar puisi seringkali memengaruhi kualitas penciptaannya tersebut.
Eksistensi, belakangan ini, diaktualisasikan bukan sebagai upaya menemukan hakikat diri manusia dalam keberadaannya di tengah semesta, melainkan telah tereduksi menjadi sebatas ajang kontestasi di hadapan manusia-manusia lainnya. Sehingga, puisi dalam hal ini hanya sebagai alat untuk menaikkan prestise, lengkap dengan seluruh kemeriahan panggung dan tepuk-tangan yang menyertainya.
Diskoneksi dengan Kesemestaan
Dari abad-abad lampau, kita bisa menemukan bahwa seorang penyair mungkin saja dia sekaligus seorang filsuf, matematikawan, astronom, sufi, atau penasehat kerajaan. Artinya, pengetahuan dalam menulis puisi tidak akan pernah terpisah dari pengalaman dan disiplin ilmu pengetahuan lain. Semuanya akan berjalin dan melebur menjadi sebuah gagasan murni baru.
Di dunia tradisi, seorang balian (cenayang/tabib) biasa menggunakan puisi dalam bentuk mantra sebagai doa penyembuh bagi pasiennya; petani-petani di desa melantunkan suluk (nyanyian) untuk menolak bala (sial), memanggil hujan, serta mengungkap rasa syukur atas panen yang telah diperoleh; atau para pejalan Tuhan (sufi) yang menyanyikan syair kerinduan untuk berkomunikasi dengan Kekasihnya. Puisi dalam dimensi ini memiliki koneksi dengan semesta. Bukan sekadar berupa nilai dan gagasan, melainkan manifestasi dari pengungkapan nilai dan gagasan tersebut. Puisi yang awalnya merupakan refleksi atas realitas, mengejawantah kembali dalam realitas.
Seperti doa, puisi yang magis pun mampu mengundang respon semesta atas kata-kata yang dipanjatkan ke langit. Namun mengutip Mircea Eliade, ini hanya berlaku di dalam masyarakat tradisional dimana kultur kehidupannya bersifat “arketipe” karena mengacu pada dunia adi-manusiawi yang transenden. Dalam konsepsi ini, kehidupan manusia di bumi hanyalah bentuk refleksi dari kehidupan para dewa yang menguasai jagat raya. Cara pandang manusia terhadap dunia menentukan keyakinan dan pola perilaku mereka, vice versa. Segalanya terkoneksi dengan kosmos. Sehingga, sebuah syair pun mengandung ruh keilahian. Dengan membacanya, seseorang akan terangkat lebih dekat kepada pusat kekuasaan semesta. Akan tetapi seiring peradaban manusia telah beralih pada ketergantungan rasionalitas, melebihi keyakinan supranatural sebagaimana dimiliki masyarakat tradisional, tatanan dunia dan masyarakat pun sepenuhnya berubah. Termasuk di dalam puisi.
Sejak era aufklarung melahirkan paradigma bahwa manusia sebagai pusat kosmos, bukan lagi sebagai bagian dari kosmos, puisi-puisi yang tercipta pun sebagian besar membicarakan self-centered (diri) dengan segala problematikanya, tanpa keterlibatan yang dalam dengan transendensi semesta di luar diri. Bahkan alam raya dalam puisi modern umumnya sekadar background atau aspek pemercantik, dengan dalih tujuan estetik.
Ketika ilmu pengetahuan berkembang semakin spesifik dan teratomisasi, puisi juga mengalami penyusutan gagasan karena penyair di masa kekinian mengolah kata-kata demi kata-kata itu sendiri, bukan untuk mewujudkan sesuatu yang lebih luhur. Terlebih tema-tema yang sebagian besar diangkat nyaris seragam: romantisme cinta, hujan dan senja, atau kesepian yang itu-itu lagi. Meskipun demikian, hal ini memang tidak terlepas dari faktor di luar puisi bahwa institusi, teknologi, serta pola hidup manusia sekarang telah tersistematisasi sedemikian rupa. Sehingga tidak memberikan ruang permenungan sedikit pun, apalagi melahirkan.
Dalam kondisi seperti itu, puisi-puisi hanya menjadi catatan kegalauan personal si penyair, tanpa kemampuannya berkomunikasi pada jagat raya sebagaimana dalam puisi di masyarakat tradisional. Ada semacam keterputusan antara manusia dengan dunianya, dan puisi dengan semestanya.
Menyingkap Cakrawala Baru
Membaca sebuah puisi yang bagus di dunia yang hampir seluruhnya telah terdigitalisasi barangkali menjadi sebuah kemewahan, tetapi juga sebuah keganjilan.
Saat menulis puisi, penyair bukan mereduksi, melainkan lebih tepatnya mengkristalisasi berbagai pengalaman keterasingan, derita, gairah, kebahagiaan, dan kegilaannya sekaligus ke dalam barisan kata-kata. Proses yang begitu menyakitkan karena mengupayakan tiap diksi dan koherensinya bermakna melebihi arti dasarnya. Puisi yang akan mengajak pembaca tenggelam dalam kekayaan makna dan nilai, sekaligus memberi secercah cahaya kebahagiaan. Ada titik harapan atau kebaikan yang bersembunyi dalam senyap, meski di puisi paling gelap sekalipun.
Di masa sekarang, kita mungkin tidak akan bisa mengembalikan posisi puisi yang pernah lekat dengan sifat keilahian sebagaimana di dunia tradisi, namun setidaknya puisi bisa memberi sentakan kesadaran baru bagi tiap pembaca. Puisi yang tidak sekadar bermain kata-kata dan mengekspos kelinglungannya sendiri, tetapi puisi yang dengan visi kuat dan nilai universalnya dapat relevan untuk dibaca oleh manusia dari abad ke abad.
Dengan kemurniannya, puisi dapat menawarkan cakrawala baru tentang dunia yang dihidupi dan menghidupi manusia. Sehingga, puisi tersebut akan mampu melahirkan manusia-manusia baru dengan cara pandang dunia yang lebih hakiki. Di situlah, kebudayan dapat terus bergerak berkat puisi.