Sedang Membaca
Hakikat Kemanusiaan dalam Karya Rupa Nasirun
Sarah Monica
Penulis Kolom

Sarah Monica adalah sarjana Antropologi Sosial dari Universitas Indonesia, alumni program MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara): Puisi 2017, dan saat ini dirinya bekerja sebagai Associate Researcher di Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities, Universitas Indonesia (AWCPH-UI).

Hakikat Kemanusiaan dalam Karya Rupa Nasirun

Hakikat Kemanusiaan dalam Karya Rupa Nasirun 1

Setelah melihat video pendek di alif.id tentang perupa Nasirun, saya ingin sedikit berbagi mengenai bagaimana seni dikaitkan dengan pergulatan kemanusiaan para senimannya. Rasanya pas, karena dalam video tersebut Nasirun berbicara mengenai kenangan akan ibunya, mengenai tradisi dan warisan budaya sebagai pijakan langkah, hingga gagasan tentang zakat kebudayaan.

Memandang posisi seni, tidak pernah terlepas pertautannya dengan manusia selaku induk yang melahirkannya. Bolehlah sekilas kita mengingat bagaimana Koentjaraningrat menyatakan seni atau kesenian sebagai satu dari tujuh unsur kebudayaan. Akan tetapi bagaimana ihwal hal tersebut masuk ke dalam cabang kebudayaan?

Mari layangkan imajinasi kita pada suasana alam semesta dimana manusia-manusia pertama mulai menjejakkan kakinya di tanah penciptaan. Dalam keasingannya, manusia berupaya mengenal dunia sekitarnya dengan memberi nama pada segala yang ada. Mencoba memahami, menerjemahkan, dan mengait-ikatkan diri pada berbagai dimensi misteri yang menyelimuti alam.

Mereka berekspresi dan bertindak untuk memaknai pengalaman-pengalaman kehidupan mereka. Dari proses tersebut lahirlah bahasa, mitos, religi, ilmu pengetahuan, sejarah, serta tentu saja seni. Ernst Cassirer dalam bukunya Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia (terjemahan, 1990) menyebut bahwa semua merupakan sebuah “karya”, sistem kegiatan-kegiatan manusiawi yang menentukan dan membatasi dunia “kemanusiaan”.

Oleh sebab “karya” adalah produk hasil kegiatan manusia, maka ia pun menjadi bagian dari kebudayaan. Kebudayaan terbentuk dari hasil respons, interpretasi, ekspresi, dan kreasi manusia terhadap alamnya. Kebudayaan menjadi kunci penting sebagai garis pembatas antara ciri khas manusia dengan binatang, sebab di dalam kebudayaan, manusia tidak hanya sebagai “animal rationale”, melainkan “animal symbolicum”.

Baca juga:  Harlah Lesbumi ke-56: Kebudayaan Pesantren dan Fungsi Politisnya

Kemampuan rasio dan sistem simbol yang dimiliki manusia menjembatani mereka pada pemaknaan terhadap semestanya, hingga kemudian mampu menciptakan dunianya sendiri. Hal ini tidak berlaku pada binatang yang hanya bisa sekadar “merespons” alam.

Seni, seni rupa

Seni sebagai karya manusia menjadi ornamen kunci dalam kebudayaan, karena ia pun termasuk sistem simbol yang mengandung jejaring pemaknaan dan world of view manusia atas kehidupannya. Seni rupa dapat menjadi salah satu cabang seni untuk menjelaskan bagaimana proses pembentukan sistem simbol tersebut. Seni rupa terlahir dari persetubuhan manusia (seniman) dengan realitas melalui pengalaman hidupnya.

Dalam persetubuhan itu, sang seniman melakukan impresi, kontemplasi, refleksi atas segala fenomena (alam, sosial, spiritual) yang digelutinya untuk kemudian diekspresikannya ke dalam wujud lukisan, patung, ukiran, dan sebagainya. Semakin sang seniman menghayati kedalaman arus pengalaman kehidupannya, maka makin nampak jelas guratan jiwanya pada perwujudan anak karyanya tersebut. Menjadi apa yang disebut oleh Widayat sebagai “greng” dan Sudjojono sebagai ”jiwa kethok”.

Impresi dan kontemplasi itu muncul dalam karya-karya Nasirun. Saya tidak akan membahas semua karyanya, mungkin cukup satu contoh, yakni karya-karya dalam pameran berjudul Uwuh Seni (sampah seni) yang digelar lima tahun lalu, tepatnya 3 November 2012 di galeri Salihara Jakarta.

Baca juga:  Membaca Puisi dengan Akal Sehat
Pameran Uwuh Seni di Salihara 2012 (foto: picssr.com)

 

Nasirun, pelukis Yogyakarta kelahiran Cilacap itu memamerkan seribu karyanya berupa lukisan-lukisan dalam format kartu undangan yang direspons. Sejak 1998, Nasirun menerima berbagai kartu undangan pameran seni rupa atau acara seni lainnya yang kemudian ia kumpulkan dan ia respons dengan cara melukisi kartu-kartu tersebut. Entah dengan menambahi gambar yang ada, mengubah, atau bahkan menutup seluruh gambar asli dengan kreasinya sendiri.

Medium tak terbatas

Proses kreatif Nasirun menunjukkan bagaimana seni tidak terbatas pada medium apapun. Seniman dengan “kegondrongan” imajinasi dan “keliaran” fantasinya dapat menyulap segala benda menjadi sebuah karya seni, meskipun ukuran estetika pada tiap appreciant seni yang menyaksikannya memang belum tentu sama.

Namun terlepas dari persoalan itu, seribu lukisan Nasirun yang ditata memenuhi hampir seluruh dinding galeri Salihara seolah-olah bercerita, menyuarakan fragmen-fragmen kehidupannya yang diwakili oleh gambar-gambar mungil dalam kartu undangan tersebut.

Seni disebut sebagai anak karya manusia karena ia hasil dari persetubuhan manusia dengan kehidupannya. Dalam diri seniman Nasirun, hal ini menjadi contoh konkret. Pergulatan Nasirun dalam mengarungi waktu, menerjunkan dirinya ke dalam ruang kontemplasi untuk merefleksikan kembali pengalaman-pengalaman hidupnya. Dari perjalanan masa lalunya yang unik dan menggetarkan itulah, air terjun inspirasinya tidak pernah henti mengalir dalam karya-karyanya.

Baca juga:  KH A. Wahab Hasbulloh, Hadrah ISHARI, dan Seni Ulama Nusantara

Lukisan Nasirun yang memakai bahasa visual wayang, umbul atau dolanan, makhluk imajiner, menampilkan bagaimana warisan dongeng, ritual, dan mitos-mitos Jawa dari ibunya begitu lekat dengan dunia lampau Nasirun. Karya-karya serupa hadir pula dalam pameran tunggal Nasirun berjudul Run di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Mei 2016. Bahasa visual tersebut menjadi kendaraan untuk menuju dimensi spiritual yang sebagian besar menjadi nirmana (sense) anak karyanya.

Karya Nasirun dalam Run di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2016 (foto: Susi Ivvaty)

Dalam hal ini, ibunya yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan dan ayahnya yang seorang mursyid (guru) dari tarekat Naqsyabandiyah di Desa Doplang Cilacap adalah orang-orang yang sangat memengaruhi (the Other), membuka gerbang pemahaman Nasirun atas dunia yang transendental.

Lukisan-lukisan Nasirun niscaya mengandung beragam makna tertentu yang tidak terlepas dari realitas yang disaksikan dan dialami oleh sang senimannya. Makna-makna tersebut membentuk sistem simbol, hasil dari ekspresi imajinasi dan kontemplasi atas dunia dimana ia melebur di dalamnya. Dapat dikatakan bahwa karya-karya Nasirun bisa menjadi sebuah legitimasi “kemanusiaan” dirinya sebagai subjek yang sanggup memindahkan, bahkan menciptakan semestanya sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top