Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Peran Ulama NU dalam Mengusir Penjajah

Setelah 350 tahun Belanda berkuasa, bangsa yang di sebut-sebut Netherland ini dinobatkan sebagai bangsa yang paling lama menjajah Indonesia. Dalam kurun waktu setengah abad itu, Belanda sering kali membuat kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat seperti halnya kerja paksa, memonopoli perdagangan, hingga berujung penyiksaan. Namun, dengan sikap Belanda yang seperti itu malah menyadarkan masyarakat Indonesia akan semangat kemerdekaan. Menyadari atas perlakuan Belanda, masyarakat Indonesia mulai meghimpun kekuatan perlawanan.

Tak hanya golongan nasionalis, para pemuka agama pun ikut andil didalam menghimpun kekuatan-kekuatan hingga bermunculan organisasi-organisasi yang berbasis agama. Salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Sebagai representasi dari masyarakat, NU sangat berpengaruh dalam setiap kebijkaan yang di keluarkan Belanda. Namun, pengaruh NU yang di nilai kuat, membuat Belanda terkatung-katung menjauhkan NU dari pengaruh politiknya.

Pandangan dan cara hidup Islam yang memunculkan ulama dengan pesantrennya, dinyatakan tidak hanya dengan mengadakan perubahan sosial saja, tetapi lebih cenderung menumbuhkan revolusi sosial sebagai perubahan yang radikal dan meluas berdasar pada perubahan sikap mental. Arus perubahan seperti ini pada gilirannya mendapatkan tantangan baru, yakni adanya agresi perdagangan dan agama yang dilancarkan oleh imperialis Barat. Menjawab tantangan ini, para ulama bekerja keras untuk membina santri-santrinya agar memiliki sikap semangat siap tempur. Pesantren yang tadinya merupakan lembaga pendidikan, bertambah fungsinya sebagai tempat kegiatan membina pasukan sukarela yang akan disumbangkan untuk mempertahankan agama, bangsa, khususnya NKRI.

Baca juga:  Generasi Aiwa: Jejak Nusantara di Saudi Arabia

Peran kelompok ulama yang strategis ini bukanlah hasil dari pemilihan suara atau dari pengaruh kharisma raja ketika itu, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri yang memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam, dan tampaknya telah menjadi watak dasar bangsa Indonesia yang selalu mengangkat kalangan berilmu sebagai pemimpinnya. Kehadiran ulama dalam masyarakat telah diterima sebagai pelopor pembaharuan, dan pengaruh ulama pun semakin mendalam setelah berhasil membina pesantren. Eksistensi ulama jangan dilihat hanya sekedar sebagai pembina pesantren saja, akan tetapi peranannya dalam sejarah perjuangan bangsa cukup militan. Sekalipun banyak penulis sejarah yang menyingkirkan peran para ulama dalam karyanya, namun betapa besar peranan ulama dalam melawan Belanda.

Kalau kita telisik kembali, jelaslah bahwa kepentingan Belanda di Indonesia mendapatkan rintangan dari ulama, terutama di bidang perdagangan dan kebijakan politik kolonial. Belanda melihat kegiatan umat Islam yang mempunyai dwi fungsi sebagai “da’i” dan pedagang, mengakibatkan usaha perdagangan Belanda menghadapi ancaman dari umat Islam, maka tidak mengherankan kalau Islam dijadikan sebagai senjata politik dalam melawan para Belanda.

Para ulama dan para kiai mempunyai pengaruh yang sangat besar, terlebih karena sifat pendidikan agama di pesantren, pondok yang mengarah pada orientasi vertikal kalangan santri kepada para guru, yang menyebabkan pengaruh kewibawaan para ulama dan kiai sangat besar. Karena itulah, dalam menjangkau perspektif pembangunan politik di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya, para ulama sangat berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Baca juga:  Kepribadian Mulia Rasulullah Sebelum Menjadi Nabi

Peran ulama dalam perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia tidak hanya sebagai pengobar semangat santri dan masyarakatnya, akan tetapi juga bertujuan mempengaruhi pemerintah agar segera menentukan sikap melawan kekuatan asing yang ingin menggagalkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Jauh sebelumnya, yaitu masa pendudukan Jepang, kaum ulama dan santrinya sudah bersiap-siap menyusun kekuatan. Laskar Ḥizbullah, dan Sabilillah didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Ḥizbullah berada di bawah komando spiritual, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Sementara, laskar Sabilillah dipimpin oleh KH. Masykur. Peran kiai dan santri dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Ḥizbullah dan Sabilillah saja, tetapi banyak diantara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air).

Resolusi Jihad tidak terlepas dari peran Ḥizbullah, peran mereka nyata terlihat setelah berkumpulnya para kiai se-Jawa dan Madura di kantor Ansor Nahdlatul ulama pada tanggal 21 Oktober 1945. Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober di deklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah Resolusi Jihad. Semangat Resolusi Jihad adalah semangat nasionalisme para kiyai untuk mempertahankan kemerdekaan dan mengawal kelangsungan NKRI. Melalui Resolusi ini, semangat jihad para kiyai dan santri beserta para pejuang lainnya seperti terbakar. Sedangkan tokoh ulama NU yang memprakarsai Resolusi Jihad ini adalah KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947 M), KH. Wahab Hasbullah (1888-1971 M), Kiai Bisri Syansuri (1886-1980 M) dan Kiai Abbad Buntet (1879-1946 M).

Baca juga:  Kesantunan Berdakwah: Saat Aisyah Berkata Kotor, Rasulullah Menegurnya

Ketika NU melihat ancaman terhadap negara yang sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya, dan sudah mempunyai konstitusinya sendiri (UUD 1945), maka pada tanggal 22 Oktober 1945, organisasi ini mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad. Namun, sebelumnya NU mengirim surat resmi kepada pemerintah yang berbunyi: Memohon dengan sangat kepada pemerintah Indonesia supaya menentukan sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan kemerdekaan agama dan negara Indonesia, terutama terhadap Belanda dan kaki tangannya. Supaya pemerintah melanjutkan perjuangan yang bersifat fi sabilillah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia yang merdeka dan beragama islam.

Resolusi jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah. Dengan semangat takbir yang dipekikkan oleh Bung Tomo, maka terjadilah perang rakyat yang dahsyat pada 10 November 1945 di Surabaya. Dari sejarah ini, warga NU dan para elitnya, khususnya anak PMII tidak menjadi alergi ketika akhir-akhir ini ada upaya untuk mengebiri dan mengaburkan makna jihad. Resolusi Jihad yang diserukan KH. Hasyim Asy’ari, sebaiknya diingat kembali untuk memberikan motivasi kepada generasi muda dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top