Sedang Membaca
Gus Ulil: Keabsahan Iman Orang Yang Taklid dan Dalil-Dalilnya

Mahasiswa sekaligus Santri Aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.

Gus Ulil: Keabsahan Iman Orang Yang Taklid dan Dalil-Dalilnya

Faktanya, imannya orang-orang awam (yang tidak terpelajar) sering kali dianggap remeh-temeh oleh orang-orang yang terdidik. Bagaimana tidak, orang awam mampunya dalam beragama itu hanya sekedar taklid serta mengikuti apa yang dikatakan gurunya, imamnya, dan seterusnya.

Meski demikian, menurut al-Ghazali, iman orang-orang awam ini pada umumnya sah. Bahkan, tak menutup kemungkinan imannya orang-orang awam ini lebih dalam, meresap masuk ke dalam jiwa dan hati seseorang dibandingkan dengan imannya orang yang terlalu rasional dan terlalu intelektualistrik.

Dengan demikian kata Gus Ulil, secara tidak langsung, al-Ghazali melakukan pembelaan terhadap orang-orang awam. Karena saking seringnya agama dibahas oleh orang-orang terpelajar, akhirnya menjadi kelihatan rumit dan jauh dari kehidupan sehari-hari.

Kita tahu, al-Ghazali adalah seorang intelektual, pemikir, dan ulama besar yang menulis tentang Islam dan menguraikannya dengan uraian-uraian yang “canggih” sekali. Akan tetapi, al-Ghazali sadar betul bahwa umumnya orang awam itu mengerti agama seperti yang diajarkan oleh guru-gurunya.

Gus Ulil juga memberikan pernyataan “Saya pernah menulis tentang dua jenis beragama ya, beragama ala kaum intelek dan beragama ala orang awam.” Ini adalah dua model beragama yang jika dilihat dari sudut pendekatannya sangat berbeda. Tapi yang jelas, sambung Gus Ulil, “kalau orang awam ya menghayati agama sebagai ajaran hidup yang dilakoni dalam kehidupan sehari-hari. Agama itu laku dalam sehari-hari dan dihayati sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.”

Berbeda dengan para sarjana. Mereka mendekati agama dengan cara membahas agama itu bermacam-macam, dan teorinya pun demikian canggih. Ironisnya, kebanyakan dari metode para sarjana tidak meresap ke dalam hati. Iya tidak meresap. Namun, agama atau keberagamaan ala orang intelek tetap kita perlukan (tidak berarti tak penting bagi kita). Penting kita perlukan juga karena kalau tidak ada agama yang secara intelek, yang terjadi adalah agama tidak menarik bagi kaum terdidik itu.

Dalam hal ini, agama harus diterangkan juga secara intelek, mengingat sebagian orang ada yang butuh (pasti membutuhkannya). Maksudnya, ada kebutuhan untuk beragama secara intelek. Akan tetapi, kebanyakan orang itu adalah orang awam (namun kita tidak boleh menganggap remeh apalagi memandang rendah terhadap keberagamaan orang-orang awam).

Baca juga:  Nasib Anak-Anak dalam Konflik Palestina-Israel

Makanya, al-Ghazali dalam pasal ini (tentang keabsahan iman orang taklid) menulis semacam pledoi atau pembelaan terhadap imannya orang-orang awam yang didasarkan kepada taklid. Karena bagaimana pun tidak semua orang bisa berpikir secara independen. Ada orang itu yang tidak punya cukup waktu untuk menelaah, memikirkan, dan merefleksikan. Hingga akhirnya mereka mengikuti jalan orang-orang yang dia percayainnya.

Syahdan, Nabi Muhammad saw. ketika menjelaskan Islam dan iman kepada orang Arab (yang awam) pada zaman itu, sedikit pun beliau tidak pernah menjelaskan sifat-sifat Allah itu seperti penjelasannya orang mutakallimun (ahli teologi), apalagi seperti orang ahli ilmu kalam, karena ilmu kalam itu muncul jauh setelah Kanjeng Nabi wafat.

Pada zaman Nabi tidak ada ilmu kalam. Karena itu, sekiranya menjelaskan sifat-sifat Allah swt. maka dibuat sesederhana mungkin. Misalnya, Allah swt. itu Maha Kuasa, Maha Tahu. Tak seperti pertanyaan, sejatinya sifat Allah swt. itu bagaimana? Pemabahasan-pembahasan seperti ini justru datangan belakangan pasca Nabi wafat. Jelasnya, kata al-Ghazali Kanjeng Nabi tidak pernah mengatakan sesuatu seperti yang dikatakan para ahli kalam ketika menjelaskan sifat-sifat Allah swt.

Tak hanya itu, Nabi juga tidak pernah menerangkan sifat-sifat Allah swt. dengan ungkapan yang maknanya harus sama persis dengan ungkapan alhi kalam. Tidak. Artinya, ajaran-ajaran Islam pada masa Nabi diterangkan dengan sederhana saja. Ini bukan berarti perkembangan ilmu Islam tak dianggap penting. Hanya saja, al-Ghazali mau mengatakan bahwa, imannya orang-orang yang sederhana (yang tak mengikuti rumus-rumus ahli teologi) tidak boleh diremehkan dan direndahkan begitu saja.

Dalam banyak kasus, orang zaman dulu masuk Islam bukan karena yakin dengan argumen-argumen rasional. Tidak. Justru sebaliknya, mereka masuk Islam karena takut (berada dibawah todongan pedang dan kadang masuk Islam karena mengharap kebagian rezeki “ghanimah” dari orang Islam). Mereka beriman karena situasi saat itu genting. Meskipun ada juga dari mereka yang beriman lantaran terpukau dengan pengaruh contoh para ulama yang menarik perhatian khalayak umum.

Ringkasnya, ada yang masuk Islam karena dari hati (tunduk secara tulus) tetapi hanya sedikit. Karena umumnya kebanyakan zaman dulu orang masuk Islam hanya ikut-ikutan (golongannya masuk Islam). Pun juga, tidak karena belajar teologi secara mendalam baru masuk Islam. Nyaris hampir tidak ada. Karena teologi hanya menyentuh pikiran saja, tidak hati.

Baca juga:  Madrasah (3): Genealogi, Polititasi, dan Ideologisasi Radikalisme

Tentang teologi. Istilah teologi tidak ada didalam Islam, melainkan di pakai dalam konteks Kristen atau Katolik. Di dalam Islam, hanya ada ilmu kalam (omongan-omongan). Salah satu alasan disebut ilmu kalam, karena pembahasan penting ilmu ketuhanan dalam Islam adalah kalamullah (firman Allah swt).

Masih tentang orang yang masuk Islam. Gus Ulil menegaskan,kalaupun ada orang masuk Islam karena belajar ilmu teologi (mempelajari dan membaca keterangan para sarjana teologi), tetapi hal ini kata al-Ghazali bukan satu-satunya sebab yang utama, melainkan karena alasan-alasan emosional atau karena faktor politik. Bahkan, terkadang yang membuat orang masuk Islam karena ceramah mengharukan (mauidzah al-hasanah) yang menyentuh emosi. Ayat al-Qur’an sendiri sebenarnya banyak mengandung mauidzah al-hasanah, sementara ayat-ayat yang menjelaskan (berbau) teologi rasional amat jarang.

Sudah mafhum, setelah fathu Makkah seperti yang diceritakan surah An-Nasr:

اِذَاجَآءَ نَصْرُاللّٰهِ وَالْفَتْحُ وَرَاَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللّٰهِ اَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۗ اِنَّهٗ كَانَ تَوَّابًا

Artinya: Apabila telah datang pertolongan Allah swt. dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Tobat. (QS. An-Nasr [110]:1-3).

Saat itu, semua orang Arab “melek”. Dia berujar “agamanya Muhammad ini secara politik menang, jika saya tidak masuk Islam tentu tak akan kebagian ghanimah.” Dari sini jelas, bahwa momentum orang-orang masuk Islam karena pengaruh sosial politik, bukan karena kekuatan satu dalil.

Komentar al-Ghazali terhadap ilmu kalam

Ilmu kalam yang dikembang oleh para ahli kalam kemudian dirumuskan secara canggih seperti kaidah-kaidah orang ahli kalam, bukan membuat seseorang akan semakin dekat dengan agama, justru ilmu kalam yang seperti itu kata al-Ghazali akan memberikan kesan pada orang awam semakin takut-menakuti (mereka semakin jauh).

Alih-alih membuat hati lunak dan masuk Islam, yang jelas didalam ilmu kalam ada keterampilan jidal (debat-mendebat). Kita tahu, asal muasal ilmu kalam ditulis karena untuk melindungi dan memproteksi aqidah orang awam dari serangan (pandangan) yang membuat orang bisa ragu terhadap aqidahnya sendiri. Maka watak ilmu kalam adalah “polemik”.

Baca juga:  Melewati Krisis Energi

Itu artinya, sekiranya ilmu kalam dipakai diluar proporsinya, secara otomatis akan menimbulkan “eksklusivisme” atau milik kelas-kelas tertentu. Karena itu, statemen yang tertanam di kalangan mereka adalah “siapapun yang tidak mengerti ilmu ini misalnya, maka dilarang untuk berbicara agama”.

Bukan karena benar, akan tetapi biar kelihatan keren sehingga orang-orang awam tidak mampu menguasainya. Tak terkecuali, kadang-kadang ilmu kalam ini juga akan menimbulkan sikap menolak terhadap kebenaran yang disampaikan orang lain. Tak segan, ia akan merasa hina jika menerima kebenaran dari orang lain. Inilah salah satu bagian dari penyakit ilmu itu.

Seperti dalam tradisi Buddhisme Zen (salah satu aliran Buddha Mahayana), ada ajaran “jika ada cangkir yang berisi air penuh kemudian di tambahkan air lagi, maka otomatis akan memenuh dan tumpah”. Artinya, “seseorang yang merasa dirinya penuh dengan ilmu, justru ketika diberikan kucuran ilmu oleh orang lain, maka akan tumpah ilmunya”. Dia tidak bisa menerima hal itu karena sudah di penuhi dengan persepsi-persepsi yang sudah terbentuk lama dalam fikirannya.

Seharusnya kata Gus Ulil, kita bersikap layaknya seperti orang bodoh untuk menerima kebenaran dari orang lain. Yang jelas bodoh itu tidak boleh (harus belajar), akan tetapi setelah belajar (pintar) kita tidak boleh merasa pintar dan merasa paling benar sendiri.

Terakhir, Gus Ulil juga mengatakan, dengan menangnya seseorang dalam berdebat, (jarang sekali) tak akan pernah mempengaruhi lawannya untuk berpindah mazhab (misalnya berpindah dari mazhab Syafi’i ke mazhab Abu Hanifah). Sekali lagi, seseorang akan ikut kepada kita karena ada kucuran atau pengaruh emosional, bukan dengan dalil-dalil atau alasan-alasan rasional.

Pertanyaannya adalah apakah dalil-dalil dan argumen yang rasional itu tidak penting?. Jawabannya sangat penting sekali. Namun, tidak segalanya harus dengan menggunakan dalil-dalil dan argumen rasional, karena tindakan-tindakan manusia sangat kompleks (akal berkerja setelah pilihan emosional itu memutuskan). Wallahu a’lam bisshawab.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top