Lereng Merbabu tak hanya menyimpan panorama alam yang memesona, tetapi juga kisah manusia yang berusaha merawat harmoni. Dusun Thekelan, sebuah desa kecil di Kabupaten Semarang, menjadi saksi bagaimana Natal dirayakan bukan hanya sebagai ritual agama, tetapi juga momen untuk menguatkan persaudaraan lintas keyakinan.
Pagi itu, lonceng gereja kecil di Thekelan berdentang lembut, memanggil jemaat untuk merayakan kebaktian Natal. Namun, di luar gereja, ada keunikan yang tak biasa. Warga Muslim setempat terlihat sibuk menyiapkan kursi tambahan dan menyambut para tamu yang datang dari dusun tetangga.
“Bagi kami, membantu tetangga adalah bagian dari ajaran agama kami. Apalagi ini untuk Natal, momen yang sangat penting bagi saudara-saudara kami yang Nasrani,” ujar Pak Hasan, seorang tokoh masyarakat Muslim di Thekelan. “Kami percaya, perbedaan agama tidak seharusnya menjadi alasan untuk tidak saling membantu.”
Di dalam gereja, suasana khidmat terasa kental. Pendeta Yulius dalam khotbahnya menyinggung soal pentingnya cinta kasih yang universal. “Hari Natal adalah pengingat bahwa kasih Tuhan tidak terbatas pada sekat agama. Kita dipanggil untuk menjadi pembawa damai, di mana pun kita berada,” ujarnya.
Thekelan memiliki keunikan tersendiri. Meskipun jumlah penduduknya didominasi oleh Muslim, keberadaan komunitas Kristen di sana diterima dengan hangat. Tradisi saling membantu dalam setiap perayaan keagamaan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
“Kami memang tidak punya acara formal untuk dialog antaragama, tapi praktik sehari-hari di sini adalah bentuk dialog itu sendiri,” ungkap Bu Ratna, seorang ibu rumah tangga Kristen. “Ketika ada acara besar seperti Natal atau Idulfitri, kami saling bertukar makanan. Itu sederhana, tapi penuh makna.”
Pak Hasan menambahkan, “Kami tidak perlu kata-kata besar untuk menunjukkan toleransi. Saat Natal, kami membantu menghias gereja atau menjaga parkir. Ketika Idulfitri, mereka membantu kami menyiapkan takjil untuk berbuka. Semua berjalan alami.”
Dialog ini, meski sunyi dan tanpa panggung, justru menjadi bukti nyata bahwa harmoni bukanlah konsep yang mustahil. Di tengah dunia yang sering kali terpolarisasi, Thekelan menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan kelemahan.
Ketika ditanya tentang harapan ke depan, Pendeta Yulius mengungkapkan optimisme yang mendalam. “Semoga apa yang terjadi di Thekelan bisa menjadi inspirasi bagi tempat lain. Kami tidak sempurna, tapi kami berusaha. Toleransi bukan hanya tentang menerima, tapi juga berbagi,” katanya.
Pak Hasan mengangguk setuju. “Kami di sini percaya bahwa agama apa pun mengajarkan kebaikan. Kalau kita fokus pada itu, maka kerukunan bisa terus terjaga. Anak-anak kami juga belajar dari apa yang kami lakukan, bukan hanya dari apa yang kami katakan.”
Perayaan Natal di Thekelan tahun ini ditutup dengan acara sederhana di balai desa. Anak-anak dari berbagai agama tampil membawakan lagu-lagu bernuansa persaudaraan. Suara mereka menyatu, menciptakan harmoni yang menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.
Natal di Thekelan bukan hanya soal ibadah, melainkan juga soal menanamkan pesan damai kepada semua. Dari desa kecil ini, ada harapan bahwa semangat toleransi akan terus hidup dan menyebar ke penjuru negeri.
Di tengah gempuran isu perpecahan yang kerap menghiasi berita, Thekelan berdiri sebagai oase. Pesan toleransi yang mereka titipkan di Hari Natal bukan hanya untuk warga dusun, tetapi juga untuk kita semua. Bahwa harmoni, seperti nada-nada dalam musik, tercipta ketika perbedaan tidak saling meniadakan, melainkan saling melengkapi.