Sedang Membaca
Rebe’en: Tradisi Syawal Masyarakat Nogosari dalam Merawat Ingatan dan Doa
Roni Ali Rahman
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember, pecinta tradisi.

Rebe’en: Tradisi Syawal Masyarakat Nogosari dalam Merawat Ingatan dan Doa

Rebe'en

Di tengah gemerlap perayaan Idulfitri yang identik dengan kebersamaan dan silaturahmi, masyarakat Desa Nogosari, Kecamatan Sukosari, Kabupaten Bondowoso, memiliki tradisi unik yang terus dijaga dari generasi ke generasi. Tradisi itu adalah Rebe’en, sebuah ritual penuh makna yang dilaksanakan pada bulan Syawal sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sanak saudara yang telah mendahului.

Rebe’en bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan manifestasi dari nilai-nilai keislaman dan kearifan lokal yang berpadu dalam satu tradisi yang tetap hidup di tengah perubahan zaman. Dalam Rebe’en, masyarakat tidak hanya mengenang jasa mereka yang telah tiada, tetapi juga meneguhkan ikatan kekeluargaan dan kebersamaan yang terus tumbuh meskipun fisik telah terpisah.

Asal-Usul dan Makna Rebe’en

Rebe’en berasal dari kata serapan bahasa Madura yang berarti “mengundang”. Dalam konteks tradisi ini, Rebe’en merupakan sebuah ajakan untuk berkumpul dalam doa dan refleksi, menghadirkan kembali kenangan serta menjaga hubungan spiritual dengan para leluhur. Masyarakat Nogosari percaya bahwa doa dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal adalah bagian dari bakti kepada keluarga dan tradisi yang harus terus dilestarikan.

Lebih dari itu, Rebe’en menjadi sarana untuk memperkuat tali persaudaraan. Bagi masyarakat desa, mengingat dan mendoakan leluhur bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga bagian dari budaya yang mempererat hubungan sosial. Melalui tradisi ini, setiap individu diajak untuk memahami bahwa kehidupan adalah perjalanan yang sementara, dan doa adalah jembatan yang menghubungkan generasi yang masih hidup dengan mereka yang telah berpulang.

Baca juga:  Merti Dusun, Metode Orang Jawa Berwudu dari Dosa

Pelaksanaan Rebe’en: Antara Individu dan Komunitas

Dalam praktiknya, Rebe’en dapat dilakukan secara perorangan atau kolektif. Pada umumnya, setiap keluarga mengadakan Rebe’en di rumah masing-masing, mengundang sanak saudara dan tetangga untuk bersama-sama mengirimkan doa bagi keluarga yang telah wafat. Namun, dalam beberapa kesempatan, masyarakat memilih untuk mengadakannya secara bersama dalam satu komunitas, yang dikenal dengan istilah pagu hari.

Pagu hari adalah pelaksanaan Rebe’en secara kolektif, biasanya dilakukan di masjid atau tempat tertentu yang telah disepakati bersama. Tradisi ini memungkinkan masyarakat untuk berbagi keberkahan dalam skala yang lebih luas, memperkuat solidaritas, dan menghadirkan kebersamaan dalam ritual yang sakral.

Baik dilakukan secara individu maupun bersama-sama, inti dari Rebe’en tetaplah sama: mengingat, mendoakan, dan menghormati mereka yang telah pergi, sebagai bagian dari upaya menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Rangkaian Ritual Rebe’en

Pelaksanaan Rebe’en dimulai pada hari-hari terakhir bulan Ramadan atau awal bulan Syawal. Acara diawali dengan pembacaan tahlil dan doa bersama yang dipimpin oleh tokoh agama atau anggota keluarga yang dituakan. Tahlil menjadi inti dari ritual ini, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan agar arwah yang didoakan mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

Selain doa, terdapat tradisi unik dalam Rebe’en, yaitu pemberian bingkisan yang berisi tujuh warna berbeda. Angka tujuh dalam tradisi ini memiliki makna mendalam, melambangkan kesempurnaan dan harapan agar amal ibadah para leluhur diterima oleh Allah. Setiap warna dalam bingkisan mencerminkan keberagaman hidup dan peran masing-masing individu dalam keluarga maupun masyarakat.

Baca juga:  Hakikat Kemanusiaan dalam Karya Rupa Nasirun

Pemberian bingkisan ini bukan hanya simbolis, tetapi juga bentuk nyata dari nilai sodaqoh yang diajarkan dalam Islam. Dengan berbagi, masyarakat berharap agar pahala kebaikan terus mengalir bagi mereka yang telah berpulang, dan keberkahan terus mengiringi kehidupan mereka yang masih ada.

Rebe’en sebagai Simbol Kebersamaan dan Pengingat Spiritual

Lebih dari sekadar adat, Rebe’en adalah cara masyarakat Nogosari untuk memahami bahwa kehidupan bukan hanya tentang yang tampak di dunia, tetapi juga tentang bagaimana kita merawat hubungan dengan mereka yang telah tiada. Tradisi ini mengajarkan bahwa meskipun seseorang telah meninggal, ingatan dan kasih sayang tidak akan pernah luntur.

Di tengah perubahan zaman, Rebe’en tetap menjadi bagian dari identitas masyarakat Nogosari. Ia menjadi pengingat bahwa kebersamaan dan doa adalah bentuk nyata dari cinta yang tak akan pudar, meski ruang dan waktu telah memisahkan.

Bulan Syawal yang penuh berkah ini menjadi momentum bagi masyarakat Nogosari untuk terus menjaga tradisi Rebe’en, agar nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan tidak hanya menjadi cerita masa lalu, tetapi tetap hidup dalam kehidupan generasi mendatang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top