“Fawailun. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat (4) (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya (5)”
Kata wailun berarti celaka atau binasa. Dalam kamus Lisanul ‘Arabi wailun adalah kata yang dimaksudkan untuk setiap orang yang terkena azab atau kebinasaan/kehancuran. Dan dikatakan pula, bahwasannya wailun menurut bahasa berarti azab dan celaka/binasa, dan wailun merupakan kebinasaan, dilontarkan kepada orang yang berhak menerimanya.
Sedangkan kata saahuun berarti lupa. Dalam kamus Lisanul Arab saahuun adalah melupakan sesuatu dan lalai terhadap sesuatu tersebut, dan berlalunya hati kepada hal yang lain (hatinya menuju sesuatu yang lain sehingga pada akhirnya ia melalaikan tujuan pokoknya).
Ayat sebelumnya membahas bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah orang-orang yang menghardik anak yatim dan tidak memperlakukannya dengan baik, begitu pula dengan orang-orang yang tidak menganjurkan memberi makan kepada orang yang butuh, mereka merupakan orang-orang yang mendustakan agama yang mengingkari hari pembalasan. Pada ayat ke 4-5 yang artinya “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya,”
Menurut Abu Ja’far At-Thabari maksud ayat tersebut adalah “maka lembah yang dialiri oleh nanah para penghuni neraka, diperuntukkan bagi orang-orang munafik yang mengerjakan salat tapi dengan salat itu mereka tidak menginginkan Allah, dan dalam salat itu mereka lalai dalam mengerjakannya”.
Quraish Shihab menafsirkan bahwa “ayat ini merupakan kecaman terhadap orang-orang yang lalai serta lupa dalam salatnya, dan ketika itu ia berarti celakalah orang-orang yang pada saat salat, hatinya lalai, sehingga menuju kepada sesuatu selain salatnya.”
Buya Hamka menyebutkan bahwa orang yang disebut di dalam ayat ini adalah dia yang melakukan sembahyang tidak dengan sungguh-sungguh. Tidak timbul dari kesadarannya sebagai hamba Allah. Sehingga meskipun dia melakukan sembahyang, dia tak mengerti maksud dan hikmahnya.
Salat adalah sarana untuk menyembah Allah yang merupakan simbol ketundukan dan penyerahan diri kepada-Nya. Pendusta agama juga melakukan salat, namun bukan menegakkan salat. Orang yang menegakkan salat maka ia akan mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka bagi orang yang hanya melakukan salat sebagai formalitas adalah celaka dengan dengan dimasukan ke neraka wail.
Orang yang telah melakukan salat, salatnya hanya membawa celaka bagi dirinya, karena tidak dikerjakan secara sungguh-sungguh, tidak timbul dari kesadarannya bahwa kita adalah sebagai hamba Allah.
Kata saahuun juga memiliki arti suatu kesalahan yang dilakukan tanpa disengaja atau secara lalai. Ayat ini ingin mengatakan bahwa mereka abai dari salat, membiarkan waktu salatnya tertunda berlalu dalam kesia-siaan demi aktivitas tertentu baik pekerjaan maupun kesenangan duniawi atau mereka yang salat hanya untuk dianggap shalih, bagaimanapun jenis orang yang salatnya seperti demikian layak mendapat murka Allah.
Zaini Dahlan menafsirkan ayat ini dengan penjelasan sebagai berikut: bahwa Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan salat dengan tubuh dan lidahnya namun tidak sampai ke hatinya. Dia lalai tidak menyadari apa yang dia ucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh sendi anggotanya. Ia ruku’ dan sujud dalam keadaan lengah, ia mnegucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.
Sejalan dengan pendapat di atas, Ahmad Mustafa menafsirkan ayat ini sebagai berikut “siksaan itu bagi orang-orang yang melakukan salat hanya dengan raganya saja tidak membekas dalam jiwa, dan tidak membuahkan hasil dari tujuan salat. Hal ini karena hatinya kosong, sehingga tidak berpengaruh pada tingkah lakunya.
Berbanding lurus dengan pernyataan di atas, bahwa sebelumnya Nabi pun pernah bersabda dan diriwayatkan oleh HR. Thabrani yang artinya: “Amalan yang mula-mula dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat ialah salat. Jia ia baik, maka baiklah seluruh amalannya, sebaliknya jika jelek, jeleklah pula semua amalannya.”
Salat merupakan tiangnya agama, maka perintah salat harus dikaji secara kritis, sebab perintah salat seringkali hanya dipahami dari sisi ritualnya saja, sementara sisi dampak sosialnya dilupakan.
Salat berkaitan erat dengan perbaikan aspek sosial, berarti baiknya salat harus dibarengi dengan kebaikkan sosial, jika tidak ada dampak positif dalam masyarakat utamanya dalam tolong menolong dan memberi bantuan orang-orang yang menderita, maka salat adalah sesuatu hal yang mencelakakan, celaka karena tidak mendapat pahala atau sia-sia.
Setelah menelusuri tafsir dari ayat 4-5 ini maka dapat dipahami bahwa ternyata melakukan salat saja tidak cukup dianggap shalih, karena syarat dan pokok dari salat adalah kesadaran sebagai hamba dan keikhlasan yang melakukannya karena Allah SWT. Seringkali kita mendengar bahwa salat akan mencegah kita dari perbuatan munkar, maka dari kalimat inilah kita bisa mengetahui apakah salat kita sudah baik atau belum dengan melihat prilaku kita sehari-hari.
Dari surah ini ditemukan dua syarat pokok atau tanda utama dari pemenuhan hakikat salat, pertama, keikhlasan melakukannya demi karena Allah. Kedua, merasakan kebutuhan orang-orang lemah dan kesediaan mengulurkan bantuan walau yang kecil sekalipun.
Referensi
Lisanul ‘Arab karya Jamaluddin Abi Al-Fadhli Muhammad
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab
Tafsir al-Qurtubi Karya Imam Al-Qurthuby
Tafsir Juz Amma karya Muhammad Abduh
Tafsir Al-Jalalain karya Jalaluddin al-Mahalli Jalaluddin as-Suyuthi
Jamiul Bayaan an Ta’wiil al-Qur’an karya Ibnu Jarir At-Tabari