Sejak muda, Gus Dur telah berupaya untuk mengembangkan pemikiran Ahlussunnah Waljamaah tanpa mempersoalkan rumusan yang sudah baku dalam ideologi Nahdlatul Ulama atau yang kini dikenal dengan Aswaja An-Nahdliyah. Secara konseptual, konstekstual dan komprehensif, Gus Dur berusaha menerjemahkan Asjawa sebagai akidah keagamaan ke dalam perjuangan kemsyarakatan.
Di dalam buku berjudul Muslim di Tengah Pergumulan yang terbit tahun 1981 atau tiga tahun sebelum terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, dia mengemukakan visi komprehensif tentang Aswaja dan visi yang diperlukan untuk pengembannya di masa depan tanpa harus mengkritik konsep Aswaja An-Nahdliyah.
Ada tujuh hal yang menjadi fokus Gus Dur dalam merumuskan dasar-dasar kehidupan masyarakat di kalangan Aswaja meliputi; 1) pandangan tentang tempat manusia dalam kehidupan alam; 2) pandangan tentang ilmu, pengetahuan, dan teknologi; 3) pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan masyarakat; 4) pandangan tentang kehidupan individu dan masyarakat; 5) pandangan tentang tradisi dan penyegarannya melalui kelembagaan hukum, pendidikan, politik, dan budaya; 6) pandangan tentang cara-cara pengembangan masyarakat; serta 7) asas-asas penerapan ajaran agama dalam kehidupan.
Mengenai pandangan tentang tempat manusia dalam alam, Gus Dur menekankan hal ini merupakan konsekuensi dari kebebasan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. “Dengan perampungan perdebatan sekitar masalah kehendak (will) manusia di hadapan nasib (predestination) yang ditentukan oleh Allah baginya, yang lebih dikenal dengan sebutan “masalah qadha dan qadar”, Aswaja, menurut Gus Dur, “nyata-nyata telah memberikan tempat sangat tinggi kepada manusia dalam kehidupan semesta. Ia diperkenankan menghendaki apa saja yang dimauinya walaupun kehendak itu sendiri harus tunduk pada kenyataan akan kekuasaan Allah yang tidak dapat dilawan lagi”.
Mengenai ilmu, pengetahuan dan teknologi, Gus Dur menyatakan bahwa Aswaja memiliki dimensi yang berbeda dari pada pengertian yang umum berlaku. Berkenaan dengan hal ini Gus Dur menulis:
“Ilmu menurut Aswaja, memiliki dimensi esoteris (pengenalan hakikat melalui keluhuran pihak yang berupaya melakukan pengenalan) yang diperoleh tidak melalui wawasan rasional, di samping dimensi yang rasional. Dengan demikian, ada bagian-bagian ilmu yang tidak dapat dikembangkan bahkan akan membahayakan jika dikembangkan. Ilmu seperti ini diperoleh secara keseluruhan sekaligus sehingga ia memiliki watak emanatif (faidh) yang tidak lagi dapat dikembangkan, seperti tercermin dalam ungkalan al-ilmu nuurun dan sebagainya.”
Sedangkan pengetahuan menurut Gus Dur memiliki keterbatasan. Dalam hal ia diperoleh melalui upaya belajar. Dengan demikian, sebenarnya pengetahuan adalah bagian rasional dari ilmu, menjadi lawan dari bagian esoteris yang diuraikan di atas. Pengetahuan, karena wataknya yang rasional ini, dapat dikembangkan sesuai dengan kehendak dan kemampuan manusia. Ilmu adalah pengarah kehidupan manusia, sedangkan pengetahuan yang melayani kepentingan dan kehendaknya.
Kedua-duanya mendapat tempat sendiri-sendiri dalam visi kehidupan Aswaja, kedua-duanya dianggap bertaraf tinggi (walaupun masih ada perbedaan tingkat ketinggian di antara keduanya). Penyatuan ilmu dan pengetahuan akan membentuk watak kehidupan manusia yang memiliki arah benar (menuju kesempurnaan diri disisi Allah), tetapi yang masih diabdikan kepada kepentingan manusia sendiri.
Sebagai buah dari ilmu pengetahuan, teknologi merupakan bagian lain dari proses manusia mempelajari dirinya karena dengan teknologilah baru manusia mengerti hingga di mana batas-batas kemampuannya untuk mengatur diri dalam kehidupan bersama (baik antara mereka sendiri maupun dengan makhluk-makhluk lainnya) yang memelihara asa keseimbangan hidup yang telah diuraikan di atas.
Teknologi, dengan demikian, memiliki tugas untuk melestarikan kehidupan, dan bukan sebaliknya. Demikian erat kaitan antara teknologi dan pengetahuan sehingga wawasan pengetahuan untuk mencari pendekatan sejauh mungkin kepada Allah, di samping tetap diusahakan pemenuhan kehendak manusia, berlaku juga bagi teknologi.
Adapun mengenai pandangan ekonomis tentang pengaturan kehidupan, Gus Dur menekankan dimensi keilahian dan kemanusiaan dari ekonomi. Dia mengatakan: “Kebutuhan ekonomis umat manusia harus diletakkan dalam konteks tempatnya dalam kehidupan, yaitu sebagai penerima karunia Allah yang harus masih tunduk kepada takdir-Nya. Takdir Allah menentukan manusia harus mampu hidup dengan sumber-sumber alam, daya, dan tenaga yang telah disediakan-Nya.
Kemampuan memelihara kelestarian semua sumber itu merupakan bagian yang esensial dari pandangan ekonomi Aswaja karena hanya dengan kemampuan seperti itulah dapat dicapai atas keseimbangan hidup yang dikemukakan di atas. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berkaitan dengan aspek-aspek sosio kultural dan sosial ekonomi haruslah ditundukkan kepada tujuan pelestarian dan pemanfaatan sumber-sumber bahan, daya, dan tenaga secara bijaksana sehingga tidak justru mengancam masa depan kehidupan manusia itu sendiri. Skala prioritas garapan pembangunan haruslah didasarkan pada asas pertumbuhan.
Berkenaan dengan hubungan individu dan masyarakat disebutkan bahwa kedudukan manusia yang tinggi dalam kehidupan semesta, maka manusia sebagai individu harus memperoleh perlakuan yang seimbang dengan kedudukannya itu. Individu memiliki hak-hak dasar yang tidak dapat dilanggar tanpa meremehkan arti dirinya sebagai manusia.
Hak-hak dasar itu, yang dalam konteks lain disebut hak-hak asasi manusia, menyangkut perlindungan hukum, keadilan perlakuan, penyediaan kebutuhan pokok, peningkatan kecerdasan, pemberian kesempatan yang sama, serta kebebasan untuk menyatakan pendapat, keyakinan, dan keimanan, di samping kebebasan untuk berserikat dan berusaha.
Dalam mewujudkan semua haknya itu, individu haruslah mampu melihat keterbatasan masyarakat di mana ia hidup untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan semua warganya. Karena itu, setiap individu harus tunduk kepada asas pemeliharaan keseimbangan antara kebutuhannya sendiri dan kebutuhan masyarakat. Keseimbangan di antara keduanya hanya dapat dicapai melalui proses pengembangan kreativitas individual untuk sekaligus memenuhi kebutuhan sendiri dalam kehidupan dan tuntutan masyarakat atas individu yang diayominya.
Dalam menjelaskan perspektif tentang tradisi dan dinamisasinya, Gus Dur menyebutkan makna tradisi dan keperluan untuk membuatnya dinamik. Dia mengatakan:”Tradisi merupakan warisan sangat berharga dari masa lampau yang harus dilestarikan sejauh mungkin tanpa menghambat tumbuhnya kreativitas individual. Tradisi merupakan persambungan yang tidak dapat begitu saja dihilangkan tanpa menimbulkan akibat-akibat besar bagi kehidupan individu dan masyarakat, terutama bagi tujuan menciptakan pola kehidupan yang melestarikan sumber-sumber bahan,daya, dan tenaga.
Tetapi, tradisi itu sendiri harus didinamisir guna menghindarkannya dari kebekuan dan kelambanan yang akan menghambat kreativitas individual. Sesuai dengan warisan ilmu pengetahuan yang dimiliki Aswaja, asas pengembangan tradisi itu harus dilaksanakan dengan jalan menumbuhkan kebanggaan bertradisi,yang dilakukan dengan cara-cara dewasa dan tidak terlampau berbau idealisasi norma-norma yang beku dan statis belaka, Justru penekanan harus dilakukan pada kemampuan menyesuaikan tradisi kepada tuntutan perubahan, atau dengan kata lain, bagaimana esensi dari tradisi dapat dikembangkan dalam situasi yang senantiasa berubah.
Berkenaan dengan cara-cara mengembangkan hidup kemasyarakatan, Gus Dur mengingatkan tentang keperluan untuk bersikap efisien dalam menggunakan sumber-sumber daya manusia. Dia menekankan bahwa perlakuan keliru tentang hal ini akan menyebabkan kerusakan yang serius pada unsur-unsur kemasyarakatan.
Akhirnya, dalam kaitan dengan prinsip internalisasi dan sosialisasi, Gus Dur menjelaskan kelebihan karakteristik Aswasja sehubungan dengan kemampuannya mengembangkan dalam dirinya berbagai sistem yang memungkinkan proses internalisasi terjadi sesuai dengan lingkungan tempat berbagai gagasan dimunculkan.
Dia menjelaskan bahwa lingkungan Aswaja beruntung telah mampu mengembangkan dalam dirinya pranata-pranata yang memungkinkan terjadinya proses internalisasi yang sesuai denganlingkungan di mana gagasan-gagasan diajukan. Proses tersebut dituangkan dalam pranata-pranata ushul fiqh, qa’idah fiqh, dan sebagainya. Untuk memanfaatkan pranata-pranata itu secara optimal, perlulah dikembangkan pendinamisan-nya dengan cara memasukkan unsur-unsur pelengkap yang baru, seperti pemastian tempat kehendak masyarakat yang berwatak dinamis dalam proses itu sendiri yang dapat diumpamakan dalam bentuk penyertaan opini masyarakat dalam mekanisme qa’idah fiqh.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama