Mencermati pemikiran Sukarno tentang Islam, menurut saya harus dibagi dalam tiga fase: 1925-1945, 1945-1955, hingga 1955-1967. Ini kalau diurut secara kronologis: Sukarno Muda, Sukarno Bapak Bangsa, dan Sukarno Ideolog Bangsa Pasca Pemilu/Nasakom.
Dalam hal keislaman-kebangsaan serta gaya orasi, Sukarno muda terpengaruh kakek buyut Maia Estianti, HOS. Tjokroaminoto; mengenai kelincahan gerak dan sekulerisme, dia terpengaruh Mustafa Kemal Attaturk; pandangan keislamannya teraliri purifikasi ala Muhammad bin Abdul Wahhab yang menjadi dogma rezim Ibnu Suud menjelang dan pasca penaklukan Hijaz. Dua hal yang aneh dan menarik. Apalagi kalau melihat gayanya menggunakan Marxisme sebagai landasan berpikir. Sukarno muda, bagi saya, adalah pemuda yang memamahbiak segala teori dan pengalaman orang lain, kemudian dia wujudkan dalam sosok Marhaen. Dia tak mau mengekor, enggan “membebek” dia ingin “me-rajawali”.
Di usia 30 an, ketika diasingkan ke Ende dan berkorespondensi dengan A. Hassan, pimpinan Persis, Sukarno mulai terpengaruh. Bahkan mengkritik konservatifme beragama dan bermazhab serta menyebut istilah “Hadroumautisme” untuk menunjukkan watak beragama yang kolot. Sadis!
Pasca 1940-an dia mulai matang. Lebih intens berdiskusi dengan Kiai Mas Mansyur ketika direkrut Jepang sebagai “propagandis”. Uniknya, dalam otobiografinya, menjelang Proklamasi dia mengakui memiliki seorang kiai yang dijadikan sebagai tempat keluh kesah manakala ada masalah. Dalam periode ini, dia melanjutkan polemiknya dengan Pak M. Natsir soal negara. Saya sepakat dengan pandangan KH. Salahuddin Wahid yang berpendapat apabila gesekan kubu nasionalis dengan Islamis dalam PPKI hingga Konstituante antara lain karena kubu Nasionalis-Religius masih teramat curiga dengan manuver Sukarno yang dianggap sekuler, pro pandangan Attaturk, dan dicurigai melakukan misi sekularisasi Indonesia ala Barat, meskipun pandangan ini tak sepenuhnya benar. (lain kali kita diskusikan hal ini, termasuk perdebatan dalam Konstituante).
Memasuki era 1950-an, Sukarno lebih sering diskusi dengan Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan Pak Mulyadi Joyomartono (Muhammadiyah). Beberapa pertimbangan kenegaraan antara lain meminta pendapat Rais Am Syuriah PBNU tersebut. Sedangkan Mulyadi Joyomartono, seorang anggota Muhammadiyah, dijadikan sebagai partner diskusi dan tukar pendapat menjelang pidato-pidato Sukarno dalam penyelenggaraan hari besar Islam: Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, Nuzulul Quran, Tasyakuran 17 Agustus, peresmian Istiqlal, peresmian Masjid Baiturrahim, maupun pidato di depan ormas seperti Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. Dalam pidato-pidato bertema Islam ini, Sukarno mengutip ayat, hadis, qaul ulama, pendapat orientalis tentang Islam, hingga tarikh seputar pemimpin muslim dalam sejarah. Di tengah-tengah pidatonya yang menggelegar, seringkali Sukarno meminta koreksi kepada Pak Mulyadi Joyomartono maupun KH. Idham Chalid.
Memasuki tahun 1960-an, di mana gesekan politik semakin keras dan dia nekat membubarkan Masyumi, teman diskusi Sukarno soal Islam adalah Kiai Saifuddin Zuhri dan Pak Mulyadi Joyomartono. Setidaknya dua nama ini yang sering disebut Sukarno dalam pidato-pidatonya tentang Islam.
Menurut saya, pandangan Bung Karno soal Islam sangat dinamis. Dia pembelajar yang baik, pembaca dan pendengar yang setia, sekaligus pengolah gagasan yang bagus. Dia mampu menjembatani antara negara dan agama agar tidak terpisah, tidak pula bersatu (integral) dengan mendirikan Kementerian Agama. Sebuah solusi jalan tengah yang logis.
Dalam urusan teknis, dia memugar makam Sunan Kalijaga–sekaligus mengaku apabila dia keturunan sang wali. Membangun Masjid Istiqlal dan Masjid Baiturrahim sekaligus menjadi imam salat saat meresmikan masjid di istana negara ini, dan meminta agar Masjid Biru di Saint Petersburg, Rusia, diperbaiki (sampai dikenal sebagai Masjid Sukarno), sekaligus memohon agar Nikita Khruschev memugar makam Imam Bukhari di Tashkent, Uzbekistan.
Melalui KAA, 1955, dan Gerakan Non-Blok dia greget mendorong beberapa negara muslim meraih kemerdekaannya. Dia menjalani lelaku doktrin tawasut, jalan tengah; dan tawazun, seimbang; dalam bertindak di dunia politik internasional.
Melihat Sukarno itu seperti melihat dua sisi mata uang. Anda harus melihat dalam posisi dia yang seperti apa: sebagai bapak bangsa dan pemersatu, atau melihatnya sebagai pengkhianat Islam yang tega menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta? Sebab pandangan ini akan melahirkan efek luar biasa.
NU dan warganya memilih opsi yang pertama. Karena itu jangan heran jika ada haul Sukarno di Blitar, yang biasanya diperingati bersama dengan tahlil akbar para syuhada. Ini unik, di dunia ini tampaknya hanya ada dua presiden yang kesadarannya diperingati (haul). Pertama, Presiden Gus Dur. Ini tidak aneh, karena GD tumbuh dalam komunitas Nahdliyin yang sering menggelar haul ulama dan waliyullah. Kedua, Presiden Sukarno.
Warga NU juga terbiasa memasang foto Sukarno di rumahnya berdampingan dengan foto KH. M. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya. Di sekolahan, foto Bung Karno juga banyak menghiasi ruang kelas lembaga di bawah naungan Ma’arif NU. Di Facebook tidak jauh beda. Banyak Nahdliyin yang menggunakan foto hitam putih maupun kolase foto sang proklamator.
Saya kira, faktor Sukarno inilah yang menjadi titik temu kaum nasionalis dan kaum muslim tradisional. Dia bukan hanya menjadi magnet, melainkan sekaligus perekat. Wallahua’lam