Kurang lengkap rasanya membaca masjid Agung Kauman tanpa membincangkan perubahan tata kota Semarang. Bangunan ikonik seperti gereja Blenduk, Lawang Sewu dan wilayah Kota Lama membuat Semarang identik dengan wilayah Kota Lama sebagai cikal bakalnya. Padahal Masjid dan daerah Kauman merupakan awal mula kota Semarang yang justru umurnya lebih tua dari Kota Lama.
Sejak Semarang jatuh ke tangan kolonial Belanda pada 1678, Belanda membangun tata kota sendiri yang sekarang dikenal dengan nama Kota Lama.
Kota Lama dibangun sesuai dengan tata kota ala Eropa dengan gereja Blenduk sebagai pusatnya. Dijelaskan oleh Purwanto, bahwa Kota Lama ini sebenarnya lebih berupa konsep ‘burg’, atau kota dalam benteng yang bertujuan memisahkan aktivitas Kolonial dari perkampungan sekitar, sekaligus jadi pelindung terhadap ancaman pemberontakan.
Tujuan ini sengaja menciptakan segregasi antara pemerintahan Belanda dan permukiman berbasis etnis yang ada di sekitarnya yaitu kampung Melayu, Kauman dan daerah Pecinan. Segregasi ini didukung oleh Sungai Mberok yang memisahkan Kota Lama dengan sekitarnya. Terdapat pula jembatan Mberok yang jadi satu-satunya pintu keluar-masuk Kota Lama saat itu. Nama Mberok sendiri berasal dari lidah orang Jawa yang kesulitan mengucapkan istilah ‘Burg’ atau banteng Kota Lama.
Perkembangan Semarang modern pada akhirnya membuat tata kota Semarang lama yang berpusat di Kauman makin pudar. Narasi sejarah populer juga seolah melupakan peran Kauman sebagai awal mula babat alas Semarang dan lebih berpusat pada Kota Lama sebagai embrio Semarang. Alun-alun lama di muka masjid Kauman saat ini sudah kehilangan fungsinya sama sekali. Sulit rasanya membayangkan alun-alun lama dan jejak Ki Ageng Pandanaran, ketika yang bisa ditemui saat ini hanya lahan parkir berbau menyengat di tengah hiruk-pikuk kendaraan di sekitar pasar Johar dan deretan toko-toko milik orang Arab Kauman.
Selain masjid Kauman, Semarang modern punya dua “masjid Agung” lain yang ironisnya, dianggap lebih ikonik dan familiar dibanding pendahulunya. Kedua masjid itu yakni masjid Agung Jawa Tengah dan masjid Baiturrahman yang ada di area Simpang Lima. Kalau menyebut nama masjid Agung’, generasi hari ini barangkali lebih akrab dengan dua masjid tersebut. Pasalnya Masjid Baiturrahman terletak di tengah Simpang Lima, ‘alun-alun’ Semarang modern, yang dikelilingi sejumlah mall sebagai ‘jujugan’ tongkrongan di tengah kota. Sementara Masjid Agung Jawa Tengah adalah proyek besar pemerintah provinsi Jawa Tengah pada tahun 2000an yang jadi ikon Semarang sekaligus tujuan wisata baru dan lokasi swafoto terkini. Biasanya, masjid yang dikelola tingkat provinsi bernama masjid Raya. Sementara masjid Agung, adalah nama masjid yang dikola pemerintah kabupaten/kota.
Arus modernisasi ini rupanya membuat masjid Kauman kian hanyut bersama ingatan tentang perkembangan Islam dan Semarang lama. Makin tenggelam di tengah tuntutan kota yang selalu bergerak dan memutakhirkan diri.