Sedang Membaca
Masjid Kauman Semarang di Tengah Perubahan Zaman
Rifqi Fairuz
Penulis Kolom

Mahasiswa S2 di Center for Religious and Cross-Cultural Studies di Universitas Gadjah Mada, aktif di Gusdurians Jogjakarta

Masjid Kauman Semarang di Tengah Perubahan Zaman

Masjid Kauman Semarang di Tengah Perubahan Zaman 3

Masjid Agung Semarang tidak punya nama yang ke-Arab-araban. Ya masjid Agung Semarang begitu saja, sesuai dengan yang tertera di bagian depan masjid memakai huruf Arab Pegon. Namun masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid Kauman. Masjid di Jawa sendiri umumnya ada di sebelah barat alun-alun, dikelilingi oleh perkampungan para pemuka agama dan mereka yang dituakan secara spiritual. Kampung ini disebut Kauman, karena para pemuka agama tersebut akrab dengan sebutan ‘Kaum’.

Sebagaimana tata kota zaman dulu, masjid merupakan bagian tidak terpisahkan dari alun-alun sebagai pusat kota. Alun-alun dikelilingi bangunan penting yakni keraton sebagai pusat pemerintahan, pasar sebagai pusat ekonomi dan masjid sebagai pusat ibadah dan keagamaan. Tata letak ini sebagai simbolisasi padunya ekonomi masyarakat, pemerintah dan agama.

Masjid Kauman ini konon lebih tua dari kota Semarang sendiri. Menurut penelitian Achmad Siddiq, masjid ini sudah ada sejak abad ke-16 Masehi oleh Ki Ageng Pandanaran yang juga dipercaya sebagai pendiri Semarang. Sejarah Kauman sendiri konon berawal dari perkampungan para santri Ki Ageng Pandanaran. Namun jika memperhatikan beberapa prasasti yang terlihat di area masjid, tertulis beberapa penanda tahun yang berbeda menunjukkan bahwa masjid ini mengalami renovasi berkali-kali.

Gerbang masuk Masjid Agung Kauman Semarang (Foto: Rifqi Fairuz)
Gerbang masuk masjid Agung Kauman Semarang (Foto: Rifqi Fairuz)

Pada bagian atas gerbang utama masjid, tertera penanda tahun 1904 tanpa disertai keterangan. Namun letaknya cukup mencolok di bagian depan-atas gerbang sehingga bisa dilihat oleh siapa saja yang berlalu-lalang. Prasasti lain menempel di tiang serambi, tertera tanggal renovasi di tahun 1986, yang ditandatangani oleh Menteri Agama Munawwir Sjadzali.

Baca juga:  Fetehpur Sikri: Kota Megah Simbol Toleransi Umat Beragama

Prasasti lain terdapat di bagian dalam gerbang masjid. Ada empat prasasti berbeda di sela-sela pintu gerbang yang ditulis dengan bahasa dan aksara berbeda: 1. Bahasa Jawa dengan Arab Pegon 2. Bahasa Belanda 3. Bahasa Indonesia ejaan lama yang ditulis latin dan 4. Bahasa dan aksara Jawa (hanacaraka).

Ada perbedaan pada inskripsi berbahasa Belanda dan Bahasa Indonesia. Pada inskripsi belanda, tertulis tahun 1750 yang ditengarai sebagai peresmian pembangunan masjid. Tahun ini yang populer digunakan sebagai patokan berdirinya masjid Kauman. Disebutkan bahwa masjid ini dibangun pada masa gubernur Kolonial Belanda Nicolaas Hartingh. Gubernur Nicolaas Hartingh ini sepertinya berpengaruh dalam peta perpolitikan antara Kolonial Belanda dan kerajaan Islam saat itu. Nama gubernur ini juga tercatat ikut campur tangan dalam Perjanjian Giyanti, menimbulkan pecahnya Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Adapun di inskripsi berbahasa Indonesia masih bisa terbaca dengan jelas, meski ada perbedaan ejaan dan istilah dengan bahasa Indonesia mutakhir. Di prasasti tersebut tertulis bahwa masjid Kauman ini pernah terbakar pada hari “Djemahat” (Jumat), tanggal 11 April 1885 pada jam setengah sembilan malam akibat tersambar petir. Kemudian “dibikin betul” pada 23 April 1889 atas bantuan Asisten Residen Semarang GJ. Blumme dan Bupati Semarang Raden Tumenggung Tjokrodipoero.

Baca juga:  Menengok Miqyas al-Nil, Mukjizat Arsitektur Islam di Kairo

Masjid Kauman menunjukkan saling silang pengaruh antar peradaban. Unsur Eropa, Jawa dan Persia bisa ditemukan dan saling selaras. Silang pengaruh ini bisa dilihat dari unsur-unsur yang memengaruhi konstruksi bangunan, gaya asitektur dan ornamen hiasan masjid.

Dari segi pondasi dan penopang, masjid Kauman mengadopsi teknologi tektonik Eropa, yakni dengan mengandalkan pilar berukuran besar dan kolom-kolom dari bata yang menjadi penopang kayu di atasnya. Konsep ini menggantikan konsep ‘soko guru’ atau tiang-tiang utama penyangga atap di bangunan tradisional Jawa. Besar kemungkinan pergantian konsep bangunan ini diterapkan setelah masjid mengalami kebakaran pada tahun 1885. Berdasar inskripsi pada prasasti tahun 1889. Pembangunan masjid ini diarsiteki oleh “Ingenieur” Belanda bernama G.E. Gambier.

Pengaruh Persia terlihat pada ornamen-ornamen sulur dan dedaunan yang ada pada bagian atas pintu masjid. Ornamen sulur dan dedaunan ini sulit ditemukan pada arsitektur Arab, karena kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk jadi referensi. Sementara bagian atap masjid masih menggunakan ciri khas arsitektur Jawa, dengan menggunakan atap limasan tiga susun. Sama seperti atap pada masjid Agung Demak dan masjid lain di Jawa yang menyimbolkan tiga tahapan Islam, Iman dan Ihsan. Adopsi dan silang pengaruh ini membuktikan bahwa bangunan masjid di Nusantara pada sejarahnya cukup kosmopolit dan terbuka.

Katalog Buku Alif.ID
Halaman: 1 2 3
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top