Maryam ‘alaihassalam (Mary dalam tradisi Kristen, dan Miriam dalam tradisi Yahudi) adalah salah seorang figur perempuan agung dalam tradisi Abrahamik. Dalam al-Qur’an, Perjanjian Lama, dan Taurat, Maryam memiliki tempat khusus sebagai simbol kesucian, ketulusan, dan penyerahan total kepada Tuhan.
Sementara dari perspektif Perennial dan Vedanta, Maryam as dapat dilihat selaku pengejawantahan kearifan Ilahi yang melampaui batas agama dan menghubungkan manusia dengan Hyang Mutlak.
Al-Qur’an menyematkan penghormatan tinggi kepada Maryam as, yang namanya disebut sebanyak 34 kali. Dalam Surah Maryam (19:16-36), Allah menarasikan kisah kelahirannya, kesuciannya, dan mukjizat kelahiran Nabi Isa as. Maryam dilukiskan sebagai sosok yang “dipilih dan disucikan di atas semua perempuan di seluruh alam” (QS Ali ‘Imran: 42).
Kisah Maryam dalam al-Qur’an menggarisbawahi aspek kesucian dan penyerahan diri kepada Allah. Ketika Jibril as mendatanginya dengan kabar kelahiran bayi Isa, Maryam menunjukkan ketulusan iman yang mendalam, meskipun ia menghadapi cemoohan masyarakat Betlehem.
Ketika ia berkata, “Bagaimana mungkin aku mempunyai seorang anak laki-laki, padahal tidak pernah ada seorang laki-laki pun menyentuhku?” (QS Maryam: 20), ini mencerminkan sikapnya sebagai hamba yang sepenuhnya bergantung pada kehendak Ilahi.
Dalam perspektif Vedanta, Maryam mewakili sosok yang mencapai kesadaran tertinggi (moksha), yaitu penyatuan dengan kehendak Ilahi. Penyerahan total Maryam kepada Allah mencerminkan ajaran bhakti yoga, yaitu jalan cinta dan pengabdian kepada Tuhan yang melampaui ego dan keterikatan duniawi.
Maryam juga dikenal dalam tradisi Yahudi, meskipun tidak dalam konteks keibuan Nabi Isa. Miriam, saudara perempuan Musa as dan Harun as, adalah pemimpin perempuan yang berperan penting dalam pembebasan Bani Israel dari Mesir. Dalam Kitab Keluaran (Exodus 15:20-21), ia memimpin nyanyian pujian kepada Tuhan setelah penyeberangan Laut Merah yang menegangkan.
Jika dibandingkan dengan Maryam dalam al-Qur’an, ada kesamaan spiritual yang mendalam. Keduanya adalah simbol kekuatan feminin yang melayani kehendak Tuhan. Dalam Perennialisme, hal ini menunjukkan bahwa setiap tradisi besar memiliki figur-figur suci yang mencerminkan pola universal ketundukan kepada Hyang Maha Kuasa.
Vedanta juga mengajarkan bahwa energi feminin, atau Shakti, adalah manifestasi Ilahi dalam dunia material. Berdasar konteks ini, Maryam dapat dilihat sebagai Shakti dalam tradisi Abrahamik—perwujudan energi ketuhanan yang melahirkan transformasi spiritual di dunia.
Maryam sebagai Jembatan Tradisi Spiritual
Pendekatan Perennialisme, yang menekankan kebenaran abadi dibalik semua agama, memahami Maryam sebagai sosok transenden yang melampaui batas tradisi. Maryam dalam Islam, Kristen, dan Yahudi adalah simbol kesucian yang menyatukan manusia dengan Tuhan melalui keheningan, pengabdian, dan ketulusan.
Maryam dalam pandangan Perennialisme adalah purwarupa Sophia Perennis, yaitu kebijaksanaan ilahi yang menuntun manusia menuju realitas tertinggi. Dalam tradisi sufi, Maryam sering dijadikan contoh wali perempuan yang menunjukkan bahwa kesucian dan pengabdian tidak mengenal gender atau status sosial.
Dalam Vedanta, perjalanan spiritual Maryam dapat dipahami sebagai refleksi hubungan antara Atman (diri individu) dan Brahman (kebenaran universal). Maryam adalah jiva mukta—jiwa yang telah bebas—karena ia sepenuhnya menyerahkan diri pada kehendak Tuhan. Kisah kelahiran Isa melalui Maryam, tanpa campur tangan manusia, melambangkan kelahiran kesadaran Ilahi dalam diri manusia yang telah melampaui keterbatasan duniawi.
Maryam juga dapat dilihat sebagai simbol keseimbangan antara dua aspek Tuhan: Nirguna Brahman (Tuhan tanpa atribut) dan Saguna Brahman (Tuhan dengan atribut). Keheningan dan ketaatan Maryam mencerminkan Nirguna Brahman, sementara peran keibuannya dalam kelahiran Isa, mencerminkan Saguna Brahman.
Maryam as adalah sosok multidimensional yang melampaui batas agama, budaya, dan waktu. Dalam al-Qur’an, ia adalah ibu yang suci dan hamba Tuhan yang taat. Dalam Perjanjian Lama dan Taurat, ia adalah pemimpin perempuan yang teguh. Dalam perspektif Perennial dan Vedanta, Maryam adalah simbol universal kebijaksanaan dan kesucian.
Maryam mengajarkan bahwa perjalanan spiritual adalah tentang penyerahan total kepada kehendak Ilahi, melampaui ego, dan menjadi saluran bagi cinta Tuhan untuk mengalir ke dunia. Ia adalah manifestasi feminin dari Hyang Mutlak, yang menghubungkan manusia dengan Hyang Tak Terbatas melalui cinta, pengorbanan, dan ketaatan. Dalam dirinya, kita melihat refleksi keindahan Ilahi yang abadi—satu cahaya dalam banyak cermin tradisi.
Cerminan Hakikat Suci dalam Perspektif Ibn ‘Arabi
Dalam sufisme, khususnya pandangan Ibn ‘Arabi, Maryam as memiliki makna simbolis yang sangat menjeluk. Ia sering menempatkan Maryam as dalam konteks metafisik sebagai simbol kesempurnaan feminin yang mencerminkan aspek penerimaan (qabliyya) dan keibuan dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Pandangan Ibn ‘Arabi memperluas pemahaman kita tentang Maryam as dari sekadar tokoh sejarah menjadi cerminan realitas spiritual yang universal.
Ibn ‘Arabi memperkenalkan konsep Insan Kamil, atau “manusia sempurna,” sebagai makhluk yang sepenuhnya mencerminkan sifat-sifat Allah dalam dirinya. Dalam kerangka ini, Maryam dapat dianggap sebagai Insan Kamil dalam manifestasi feminin. Baginya, kesempurnaan tidak eksklusif milik laki-laki, dan Maryam adalah bukti bahwa perempuan dapat menjadi wadah yang sempurna bagi manifestasi ilahi.
Dalam karyanya Fushush al-Hikam (Permata Hikmah), Ibn ‘Arabi menghubungkan Maryam dengan hikmah ilahiyah (kebijaksanaan ilahi). Ia melihat Maryam sebagai simbol penerimaan sempurna terhadap kehendak Tuhan. Perannya sebagai ibu dari Isa as tanpa campur tangan manusia menunjukkan bahwa ia adalah saluran murni bagi kehendak dan ciptaan Ilahi, sekaligus pengingat bahwa penciptaan adalah hak prerogatif Allah semata. Maryam as adalah teladan sempurna maqam taslim (tingkatan kepasrahan), di mana kehendaknya sepenuhnya selaras dengan kehendak Ilahi.
Konsep Keibuan Spiritual dan Kosmologi Feminin
Dalam sufisme, keibuan memiliki makna spiritual yang dalam, melampaui fungsi biologis. Maryam as melambangkan prinsip feminin universal yang dikenal sebagai rahim (kasih sayang), yang memiliki akar kata sama dengan salah satu nama Allah, Ar-Rahman. Ibn ‘Arabi sering menyebut bahwa aspek feminin dalam penciptaan adalah refleksi dari rahmat Ilahi yang melingkupi segala sesuatu.
Maryam, sebagai ibu Isa as, tidak hanya melahirkan seorang nabi secara fisik tetapi juga membawa cahaya spiritual yang melintasi batas waktu. Dalam pandangan Ibn ‘Arabi, rahim Maryam as adalah metafora dari alam semesta yang menjadi tempat manifestasi Tuhan. Isa as, sebagai “Kalimatullah” (Firman Allah), lahir dari rahim ini, menjadikan Maryam as simbol kosmik dari potensi penciptaan.
Pemikiran Ibn ‘Arabi tentang Wahdat al-Wujud (kesatuan wujud) memberikan dimensi lain pada pemahaman Maryam as. Dalam perspektif ini, Maryam as tidak hanya seorang individu melainkan cerminan realitas Ilahi yang universal. Rahim Maryam adalah simbol ruang suci di mana Al-Haqq (Kebenaran Ilahi) memanifestasikan diri-Nya dalam bentuk Isa as. Dengan demikian, peran Maryam as tidak hanya fisik tetapi juga metafisik, sebagai saluran di mana Tuhan mewujudkan Firman-Nya dalam dunia material.
Dalam konteks Wahdat al-Wujud, Maryam as mencerminkan hubungan makhluk dengan Khalik. Ia menjadi perantara antara dunia yang fana (alam syahadah) dan yang gaib (alam ghaib), menunjukkan bagaimana Tuhan dapat mewujudkan Kehendak-Nya dalam bentuk yang paling lembut dan penuh kasih.
Maryam sebagai Arketipe Jiwa yang Suci
Ibn ‘Arabi juga kerap kali membahas hubungan antara jiwa manusia dan Tuhan dengan menggunakan simbolisme feminin. Dalam hal ini, Maryam adalah purwarupa jiwa yang suci (nafs zakiyyah), yang telah disucikan dari segala hawa nafsu dan keterikatan duniawi. Ia menjadi cermin bersih, di mana cahaya Ilahi dapat memancar tanpa pelencengan.
Maryam as mengajarkan bahwa hubungan dengan Tuhan adalah semata cinta dan penerimaan. Ketika Maryam as menerima berita kelahiran Isa dari rahimnya, ia melakukannya dengan keheningan batin dan kepasrahan total, meskipun ia menghadapi kesulitan besar. Ibn ‘Arabi melihat ini sebagai tanda puncak kedewasaan spiritual, di mana seseorang menerima segala ketentuan Ilahi dengan penuh cinta dan keyakinan.
Bagi Ibn ‘Arabi, Maryam as adalah guru universal yang mengajarkan jalan makrifat (pengenalan Tuhan). Melalui keheningan, doa, dan pengabdian total, Maryam as menunjukkan bagaimana seseorang dapat mendekatkan diri kepada Hyang Ilahi. Ia tidak hanya menjadi ibu dari Isa as tetapi juga ibu spiritual bagi umat manusia, karena melalui dirinya, Tuhan mengajarkan hikmah Ilahi yang melampaui batas-batas agama. []