
“Jika kau ingin menemukan rahasia alam semesta,
berpikirlah tentang energi, frekuensi, dan vibrasi.”
— Nikola Tesla
Tiga lembar cetakan itu tampak biasa saja. Satu menampakkan gelombang samar seperti denyut nadi yang digambar oleh mesin tua. Satu lagi menunjukkan pola seperti pasir yang ditabur dan tertiup angin. Lantas yang ketiga lebih kabur, seperti gema bayangan dari suara yang tak terdengar. Seorang pria kemudian menumpuknya satu per satu. Dari perpaduan ketiga pola tersebut, muncullah wajah sesosok manusia.
Itulah yang terjadi dalam sebuah video pendek yang bisa Kisanak saksikan di tautan ini: https://www.facebook.com/share/v/15bo29AGDb/. Sebuah percobaan visual yang tampaknya sederhana, tetapi menyimpan pertanyaan metafisik yang sangat dalam. Apakah kita hanya pola dari getaran semesta? Apakah kesadaran hanyalah ganggèn halus dari frekuensi, energi, dan vibrasi?
Nikola Tesla pernah menyiratkan arah pencarian ini: bahwa semesta tidak berbicara dalam bentuk dan benda, tetapi dalam getaran dan gelombang. Dalam video itu, kita menyaksikan gagasan Tesla menjelma rupa.
Fritjof Capra dalam The Tao of Physics menulis bahwa partikel bukanlah benda padat, melainkan tarian energi. Segala yang ada hanyalah bentuk sementara dari vibrasi. David Bohm menegaskan dalam Wholeness and the Implicate Order, bahwa dunia ini tersusun dari lapisan-lapisan implisit—apa yang terlihat hanyalah permukaan dari sesuatu yang jauh lebih dalam.
Dalam percobaan visual itu, wajah manusia muncul bukan karena gambar, tapi karena penyelarasan. Seperti alam semesta sedang menyatukan notasi musiknya, dan dari sangaskara itu, lahirlah ‘aku’ yang berpikir, merasa, menyimak, tetapi sejatinya tak lebih dari gema dari sesuatu yang lebih besar.
Dalam spiritualitas, kita juga mengenal gema itu. Dalam kitab suci, dalam dzikir yang berulang, dalam nafas yang ditarik perlahan dan dilepas penuh sadar. Ibn ‘Arabi menulis bahwa kata-kata Tuhan adalah frekuensi yang menciptakan bentuk. Masaru Emoto menunjukkan bagaimana satu kata bisa mengubah struktur molekul air menjadi indah atau rusak.
Jika tubuh kita terdiri dari 70% air, dan hidup kita dikelilingi kata dan suara, maka siapakah kita sebenarnya? Mungkin bukan siapa-siapa. Mungkin kita adalah ‘getaran yang diizinkan untuk menyadari dirinya sendiri’. Ketika vibrasi, frekuensi, dan energi bertemu dalam harmoni, maka muncul wajah: wajah kita, wajah semesta, wajah-Nya. “Fa aynama tuwallu fasamma wajhullahu: maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Sapi Betina [2]: 115)
Barangkali tugas kita bukanlah menjadi sesuatu yang besar, tapi menjadi selaras. Seperti nada dalam lagu, seperti embun yang jatuh di waktu yang tepat. Barangkali wajah sejati kita tidak akan pernah tampak dalam cermin, tapi akan hadir dalam momen ketika kita bersatu padu dalam sangaskara semesta.
Ketika wajah itu muncul dari lembaran tembus pandang, kita menyadari bahwa kebenaran tak selalu tampak dalam potongan. Ia hanya menampakkan diri saat kita bersedia menyatukan lapisan-lapisan realitas yang tampak terpisah. Begitu juga dalam kehidupan ini—emosi, pengalaman, dan pikiran sering terasa seperti fragmen acak. Namun ketika semuanya dirangkum dalam kesadaran yang utuh, maka makna muncul. Maka wajah jiwa pun menampakkan dirinya.
Sains kuantum telah lama membisikkan bahwa kepastian adalah ilusi. Elektron tidak pernah benar-benar ‘ada’ di satu titik. Ia adalah kemungkinan, vibrasi dari eksistensi yang melampaui logika biner. Ketika kita menyadari bahwa materi hanyalah gelombang yang dipadatkan oleh persepsi, kita mulai memandang tubuh bukan sebagai benda, melainkan sebagai frekuensi yang menyimpan riwayat panjang semesta.
Dalam dialog antara fisika dan filsafat, muncul pertanyaan: jika realitas adalah getaran, siapa yang menyetel nadanya? Pertanyaan ini membawa kita ke jantung perenungan eksistensial. Jika segala hal muncul dari sangaskara, maka tugas kita dalam kehidupan bukan sekadar bertahan atau mengkreasi ulang, tetapi juga menyelaraskan diri dengan irama yang lebih agung.
Tradisi spiritual kuno telah lama mengajarkan pentingnya keselarasan. Dalam Islam, istilah tawazun menggambarkan keseimbangan batin dan jagat. Dalam Taoisme, disebut sebagai wu wei—tindakan tanpa paksaan. Semua mengarah pada satu hal: bahwa kehidupan tidak diciptakan untuk dilawan, tapi untuk diiringi, seperti musik.
Getaran bukan sekadar istilah teknis. Ia bersemayam dalam setiap nafas, dalam detak jantung, dalam bisikan doa yang lirih. Ketika seseorang berdzikir, menyebut Allah berulangkali, bukan hanya lidah yang bergerak, tetapi tubuh, airmata, dan udara pun bergetar mengikuti. Dalam getaran itu, seseorang seringkali merasa ‘lebih nyata’ daripada sebelumnya.
Di banyak ruang kelas yang tercerahkan, pendidikan pun mulai berubah. Tak lagi menjejali otak dengan data-fakta, tetapi menyentuh kesadaran melalui ritme, suara, dan pengalaman. Pendidikan terkini adalah pedagogi atas sangaskara: mengajarkan murid menemukan nada dirinya, dan bagaimana ia bisa menjadi bagian dari simfoni dunia.
Dalam psikologi kontemplatif, ada konsep flow—keadaan di mana seseorang larut dalam aktivitas dan melampaui ego. Saat itulah manusia menjadi kanal dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Sama seperti wajah yang muncul dari lapisan vibrasi itu, makna kehidupan pun muncul saat kita selaras dengan arus kesinambungan penciptaan.
Apa jadinya jika vibrasi dalam kehidupan kita kacau? Jika pikiran kita bising, kata-kata kita kasar, dan tubuh kita tak lagi meresapi diam? Mungkin wajah sejati kita takkan pernah tampak. Mungkin kita hanya menjadi kabut di atas lembaran semesta. Maka satu-satunya cara untuk melihat wajah itu lagi adalah dengan kembali—pada hening, pada harmoni, pada niat suci.
Akhir kalam, video singkat itu bukanlah eksperimen biasa, melainkan cermin halus yang mengingatkan bahwa kebenaran tak pernah tunggal, dan kehadiran kita bukan sekadar kebetulan biologis. Kita adalah partitur dari lagu yang lebih luas, lebih rumit, dan bahkan musykil. Kita bukan setetes air dalam lautan penciptaan, tapi seluruh lautan takdir dalam setetes air. []
Sangaskara adalah: Jejak batin atau getaran dari tindakan/kesadaran yang masih hidup dalam ruang batin (padanan kata dalam bahasa Bali, untuk resonansi dalam memori spiritual).