Tuan Guru atau KH. Muhammad Nuruddin Marbu dilahirkan pada tanggal 1 September 1960 di Desa Harus Kecamatan Amuntai Tengah. Pada usia 7 tahun ia masuk Madrasah Ibtidaiyyah di Harus (1967-1973). Setelah itu ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Rakha (1974). Namun disini ia hanya belajar selama setengah tahun karena ia dan keluarganya bermigrasi ke Mekkah. Pada tahun 1974 ia diterima di Madrasah Shaulatiyah. Di madrasah ini ia menyelesaikan dua tahun di MI, empat tahun di MTs dan dua tahun di MA. Pada tahun 1982 ia berhasil menamatkan pendidikannya di Madrasah Shaulatiyah dengan nilai mumtaz.
Selain belajar di Madrasah Shaulatiyah, ia juga belajar di halaqah Masjidil Haram dan di rumah-rumah syekh. Karena itu, selama studi di Mekkah kurang lebih delapan tahun ia banyak memiliki guru. Tidak kurang dari 35 orang guru yang dimilinya di antaranya adalah Sayyid ‘Aththas, Syekh Abdullah Said Lahji, Syekh Ismail Usman Zein al-Yamani, Syekh Muhammad Iwadh al-Yamani, Syekh Abdul Karim al-Bukhari, Syekh Hasan Masysyath, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, Syekh Abdul Karim al-Banjari, Syekh Suhaili al-Anfanani, Syekh Hamid Said al-Bakistani, Syekh Amin Kutbi, Syekh Hamid Tungkal, Syekh Muhammad bin Alwi al-Maliki dan masih banyak lagi. Di antara guru-guru yang mengajarinya, Syekh Ismail Usman Zein merupakan guru yang paling berkesan dan banyak mempengaruhi pola pikirnya.
Ulama Banjar lainnya yang juga sedang belajar di Mekkah bersama Nuruddin Marbu adalah KH. Supian Kelayan, KH. Syarwani Zuhri Balikpapan, Ustad H. Jamhuri (Banjarmasin), Supian Tsauri (Pamangkih), Hatim Salman (Martapura), dan Wildan Salman (Martapura).
Selain belajar, KH. Nuruddin Marbu juga mengajar sejumlah pelajar Indonesia yang bermukim di Mekkah. Selaitu itu ia juga sempat mengajar di Masjidil Haram. Di sini ia mengajar kitab Qathr al-Nada, Fath al-Mu’in, Umdat al-Salik, Bidayat al-Hidayah dan lain-lain. Sayangnya, aktivitasnya ini mendapat rintangan. Kegiatannya dimata-matai oleh intelijen dan isi ceramahnya direkam. Karena tidak sesuai dengan faham “akidah” penguasa ia tidak diperbolehkan lagi mengajar di Masjidil Haram. Sebab, pengajar yang bisa mengajar di Masjidil Haram hanyalah pengajar yang memiliki faham akidah yang tidak bertentangan dengan faham Wahhabi. Karenanya setiap pengajar harus menjalani “tes akidah” terlebih dahulu. Mereka yang berfaham Asy’ariy atau al-Maturidiy tidak mendapat izin dari penguasa.
Kondisi ini membuat KH. Nuruddin Marbu bersama teman-temannya putar haluan untuk kuliah di Universitas al-Azhar. Teman-teman KH. Nuruddin Marbu yang mengikuti jejaknya adalah Supian Tsauri (Pamangkih), Hatim Salman (Martapura), Mustajib (Madura), Hudatullah (Lombok) dan Abdullah (Aceh). Langkah yang diambil oleh KH. Nuruddin Marbu dan rekan-rekannya mengundang pro-kontra di kalangan masyayikh mereka. Ada yang setuju ada yang tidak. Syekh Abdul Karim al-Banjari yang simpati kepada mereka setuju dengan langkah ini sementara syekh yang lain tidak mendukung. Para syekh yang tidak setuju menilai langkah ini merupakan suatu bentuk pelecehan terhadap Madrasah Shaulatiyah. Sebab Madrasah Shaulatiyah dinilai memiliki kurikulum tingkat tinggi. Lulusan tsanawiyah dapat memasuki S1 sedang lulusan Aliyahnya dapat memasuki jenjang S2 (artinya Aliyahnya setara S1). Namun KH. Nuruddin Marbu dan kawan-kawannya tetap nekad mendaftarkan ke Universitas al-Azhar.
Tahun 1983 Nuruddin Marbu berhasil masuk ke Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar dan menyelesaikannya pada tahun 1987. Tiga tahun kemudian pada tahun 1990 ia kembali melanjutkan pendidikannya di Institut Studi Islam Zamalik Mesir. Di Mesir ia bertemu banyak mahasiswa-mahasiswa asal Banjar yang sedang kuliah di sini diantaranya adalah H. Bahruni Inas, H. Ghazali Mukri, H. Rafi’I Badri, H. Mabrur, Ainur Ridha dan lainnya.
Sebagaimana juga di Mekkah, selama kuliah di Mesir, KH. Nuruddin Marbu setelah selesai kuliah di Unversitas al-Azhar juga mengajar dalam sebuah pengajian yang banyak dihadiri oleh mahasiswa yang berasal dari berbagai kawasan di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand dan terutama dari Indonesia. Majelis ini dinamai dengan Majelis al-Banjari li Tafaqquh fi al-din atau dikenal pula dengan nama Majlis al-Banjari li Ihya Kutub al-Turats. Pemakaian nama al-Banjari pada pengajian ini menunjukkan akan peran penting urang Banjar di dalamnya. Pengajian ini pada mulanya digagas oleh mahasiswa asal Indonesia dan Malaysia yang kemudian berkembang menjadi pengajian besar. Pengajian ini dilaksanakan di rumah pelajar Johor, di rumah pelajarPulau Pinang, di Dewan Rumah Kedah, Dewan Rumah Kelantan dan juga di Masjid Jami’ al-Fath di Madinah al-Mashr. Pengikut pengajian ini mencapai jumlah ribuan orang. Dapat dipastikan bahwa banyak para mahasiswa Asia Tenggara yang mengikuti pengajian KH. Nuruddin Marbu. Mereka yang kuliah pada tahun 1987 sampai 1998 diperkirakan pernah mengikuti pengajian ini. Karena itulah para mahasiswa yang sedang kuliah di Universitas al-Azhar memberi gelar kepada KH. Nuruddin Marbu sebagai al-Azhar Tsani atau al-Azhar Kedua. Karena selain belajar di Universitas al-Azhar mereka juga belajar kepada M. Nuruddun Marbu.
Pada tahun 1998, Nuruddin Marbu bertemu dengan KH. Ahmad Fahmi Zamzam dan Syekh Ni’amat Yusuf. Mereka mengajak Nuruddin Marbu untuk pindah ke Malaysia. Ajakan ini diterima oleh Nuruddin Marbu. Sejak itu ia tinggal di Malaysia di Ma’had Tarbiyah Islamiyah Derang Malaysia. Selain mengajar di Ma’had ini ia juga banyak mengisi pengajian di beberapa wilayah seperti pengajian Pusat Menara Zakat, pengajian di sejumlah masjid seperti Masjid Taman Huda, pengajian di Kuala Lumpur, Kedah, Kelantan, dan Penang.
KH. Nuruddin Marbu tidak lama tinggal di Malaysia, sejak tahun 2001 ia tidak lagi tinggal di Malaysia. Ia kembali ke kampung halamannya di Amuntai dan beberapa tahun kemudian pada tahun 2004 ia tinggal di Bogor di Komplek Ma’had Zein al-Makky al-‘Aliy li Tafaqquh wa Tahfizh Al-Qur`an yang didirikannya. Di manapun ia berada tidak pernah lepas dari kegiatan dakwah dan pendidikan. Pengajiannya ada dimana-mana yang mencakup wilayah Asia Tenggara. Di Kalimantan Selatan ia pernah melaksanakan sejumlah pengajian agama baik di Amuntai, Barabai, Banjarbaru, maupun di Banjarmasin.
Yang tidak kalah pentingnya adalah Nuruddin Marbu adalah ulama Banjar yang sangat rajin menulis. Produktivitasnya jarang dimiliki oleh ulama Banjar lainnya. Dalam usianya yang relatif masih muda ia telah menulis buku tidak kurang dari 65 buah. Sebuah jumlah karya tulis yang sulit dicari tandingannya di kalangan ulama Banjar. Karya-karyanya itu adalah: (1) al-Ihathah bi Ahamm Masa`il al-Haid wa al-Nifas wa al-Istihadhah, (2) Ahkam al-‘Iddah fi al-Islam, (3) al-Istithla’ Ara` al-‘Ulama hawla Qawl Shallallah alayh wasallam: Lan Yuflih qawmun wallaw amrahum Imra`ah, (4) Ma’lumat Tahammuk Hawla Asbab al-Ikhtilaf bayn al-Fuqaha, (5) al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-munkar fi al-kitab wa al-sunnah, (6) al-Durar al-Bahiyyah fi Idhah al-Qawa`id al-fiqhiyyah, (7) Ifadhah al-Ikhwan bi Adillah Tahrim bi Syarb al-Dukhan, (8) Fatawa wa Aqwal al-‘Ulama Muslimin Hawla al-Dukhan wa al-Tadkhin, (9) Safar al-Mar’ah, (10) Ayyuha al-Kiram Dharb al-Dufuf fi al-Masjid Haram, (11) Zubdah al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, (12) Adillah Tahrim Naql al-‘A’dhai al-Adamiyyah, (13) Hukum Menggali dan Memindah Kubur, (14) al-Ahadits al-Musalsalah, (15) Adab al-Mushafahah, (16) Makanah ‘ilm wa al-Ulama wa Adab al-Thalib, (17) al-Ibar bi Ba’dh Mu’jizah khayr al-Basyar, (18) al-Awa`il wa al-Awakhir wa al-Asanid, (19) Asma al-Thalib bi Ba’dhi Ahadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib, (20) al-Kawakib al-Duri min Ahadits Abi Said al-Khudhri, (21) al-Maskho fi al-Kitab wa al-Sunnah, (22) Ha`ulai fi shahabah Malaikah Kiram, (23) Ha`ulai fi Sabil Allah, (24) Ha`ulai fi la Tamassuhum al-Nar Yawm al-Qiyamah, (25) Ha`ulai fi lahum buyut wa Qushur fi al-Jannah, (26) Ha`ulai fi Hallat lahum Syafa’ah, (27) Dhu’afa al-Muslimin wa Makanatuhum ‘ind Allah, (28) Majal al-Shadaqah fi al-Islam, (29) al-Tamassuk bi al-Kitab wa al-Sunnah, (30) al-Yaqin, (31) Faydh Ilah min Ahadits al-Jabir bin ‘Abdillah, (31) Man Huwa al-Mahdi Muntazhar, (32) al-Walimah, (33) al-Jawahir Hisan min Ahadits Sayyidina Utsman bin Afan (kumpulan hadisNAbawi Riwayat Sepuluh Sahabat), (34) Arba’un Haditsan min Arba’in Kitaban fi al-Ahadits (Bingkisan Perpisahan 40 Mutiara Hadis dari 40 buah kitab), (35) Isra Mi’raj, (36) Rahasia Keutamaan Shalat Subuh, (37) al-Nafais al-Durar wa al-Hikam, (38) Khusus al-Rasul Ta`lif al-Imam al-Hafizh Ahmad bin Muhammad Qasthalani, (39) Iqamah Hujjah ala Ikhtishar fi Ta’abbud laysa bid’ah, (40) Raf’ al-Astar ‘an Dima` al-Hajj wa al-I’timar, (41) Qurrah al-‘ayn bi Fatawa Isma’il Zayn, (42) Syuruth al-Hajj ‘an al-Ghayn, (42) Tawfiq al-Bari li Tawdhih wa Takmil Masa`il al-Idhah li Imam Nawawi, (43) Bayan Mufti Jumhuriyyah Mishr al-‘Arabiyyah hawl Fawa`id al-Bunuk fi Ahl al-‘Ilm, (44) al-Durar al-Tsaniyyah fi Radd al-Wahhabiyyah Ta’lif al-Sayyid Ahmad Zayni Dahlan, (45) al-Riddah fi al-Kitab wa al-Sunnah, (46) Rasa`il Hammah wa Mubahats Qimah, (47) Tahzib al-Misykat al-Mashabih, (48) al-Mukhtar min Ahadits al-Qudsiyyah, (49) al-Iqtibas min Ahadits Abdullah bin Abbas, (50) Risalah al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah li al-Raghibin min Mu`minin fi Suluk Thariq al-Akhirah, (51) Bustan al-‘Arifin li al-Imam Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, (52) al-Nasha`ih al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah al-Habib Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad, (53) Umdah al-Salik wa ‘Uddah al-Nasik, (54) Manaqib al-Syafii, (55) al-Hasan al-Bashri, (56) al-Imam al-Syafii Sayyid Ammah wa Mujaddid al-Ummah, (57) al-Mukhtar min Nawadir al-Arabi wa Tarafihim, (58) Zubdah al-Qawa`id al-Fiqhiyyah: Kaedah-kaedah Feqah Pilihan, (59) Mukhtasahar al-Nasha`ih al-Diniyyah wa al-Washaya al-Imaniyyah, (60) al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Haddad Ringkasan Nasihat, (61) Agama dan Wasiat Iman Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, (62) Darah-darah Haid, Nifas dan Istihadhah, (63) Berpegang Teguh dengan Kitab dan Sunnah, (64) Isra Mi’raj dan Dakwaan Batil serta Jawabannya, (65) Hukum-hukum Iddah di Dalam Islam, (66) Kedudukan Orang-orang Lemah dan Miskin di Sisi Allah, (67) Hukum Menggali dan Memindahkan Kubur, (68) Mereka yang berada di Jalan Allah, (69) Bersama Para Malaikat, (70) Mereka yang Dibebaskan Allah dari Api Neraka, (71) Mereka yang Mendapatkan Istana dan Mahligai di Dalam Syurga, (72) Sarana Sedekah di Dalam Islam, (73) Mereka yang Mendapat Syafaat daripada Rasulullah, (74) Perubahan Bentuk Menurut Alquran dan Sunnah, (75) Bekalan Seorang Abid dari Hadits Anas bin Malik, (76) Curahan Rahmat Allah dari Hadits-hadits Jabir bin Abdullah, (77) Cahaya-cahaya Bintang di Langit dari Hadis Abi Sa’id, (78) Himpunan dari Hadits-hadits Ibnu Abbas, (79) Kenduri dalam Islam, (80) Gejala Murtad Mengikut Pandangan Alquran dan as-Sunnah, (81) Bingkisan Perpisahan 40 Mutiara Hadits dari 40 buah Kitab, (82) Faedah Bank Menurut Pandangan Islam, (83) Martabat Ulama, (84) Hadits Musalsal, (85) Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Wanita, (86) Imam Syafii Penghulu Imam dan Pembaharu Umat, (87) Hukum Memukul Tarbang di Dalam Masjid Menurut Pandangan Islam, (88) Kumpulan Hadis Nabi Riwayat Sepuluh Sahabat (dua Jilid), (89) Hadits-hadits Qudsi Pilihan (2 jilid), dan (90) Lelucon Orang Arab.
Jumlah angka 90 tidak menunjukkan jumlah sebenarnya karya KH. Nuruddin Marbu karena dari 90 buah judul itu sebenarnya ada beberapa judul yang berasal dari satu karya, yang satu teks berbahasa Arab yang satu terjemahnya.
Dari sejumlah karya KH. Nuruddin Marbu di atas memperlihatkan kecenderungannya pada fiqih (fatwa) dan hadis. Sementara masalah-masalah tasawuf yang ditulisnya tidak banyak dan lebih mengarah pada tasawuf akhlaqi model al-Haddad. Apa yang ditulis oleh KH. Nuruddin Marbu berasal dari dua arus, pertama pengaruh Haramayn dan kedua pengaruh al-Azhar. Kedua pengaruh itu menyatu dalam orientasi fiqih dan hadis yang kental. Kecenderungan ini sudah menggejala pada sejumlah alumni al-Azhar pada era 1930-1050.
Posisi penting KH. Nuruddin Marbu al-Banjari dalam jaringan ulama Banjar-Timur Tengah adalah wilayah jaringannya yang sangat luas dibanding dengan ulama Banjar lainnya. Mulai dari Mekah (Masjidil Haram) ia sudah memiliki jaringan dengan ulama Haramayn yang populer saat itu di sini ia juga memiliki sejumlah murid karena ia pernah mengajar di Masjidil Haram meski dalam waktu yang tidak lama. Kemudian di Mesir ia juga termasuk dalam jaringan ulama Banjar yang memiliki koneksi dengan ulama-ulama Mesir terutama ulama Universitas al-Azhar. Di Mesir ia juga mengajar ribuan mahasiswa yang berasal dari berbagai wilayah di Asia Tenggara sehingga ia mendapat gelar al-Azhar Tsani (al-Azhar kedua). Kemudian ia tinggal di Malaysia, di sini ia ikut mengasuh pesantren Derang Malaysia dan memiliki sejumlah pengajian di beberapa tempat. Di Indonesia, ia kembali membuka sejumlah pengajian di beberapa wilayah (termasuk di Kalimantan Selatan) dan tetap melakukan kunjungan berkala ke beberapa wilayah di Asia Tenggara.