Pancasila dalam Timbangan Syariat
Pancasila memuat lebih dari satu tafsir. Pada titik ini tersembunyi rahasia mengapa semua golongan menerimanya. Akan tetapi, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang merupakan sukma bagi sila-sila berikutnya, jelas tertuju pada makna keimanan kepada Allah Yang Maha Esa, sebagai intisari dari ajaran akidah Islam. Demikianlah Nahdliyin dan para ulama pesantren menafsirkannya. Sampai saat ini tidak ada seorang pun yang mengingkari penfasiran ini baik diam-diam maupun terang-terangan. Ini juga salah satu alasan mengapa kaum muslimin tidak bersikeras pada pendirian semula sembari meneladani Nabi ` dalam perumusan poin-poin Perjanjian Hudaibiyah. Nabi menerima semua persyaratan yang diinginkan oleh pihak Quraisy. Sahabat Nabi merasa keberataan karena dalam pandangan mereka poin-poin itu menguntungkan pihak musuh. Berikut isi perjanjian tersebut:
- Gencatan senjata selama sepuluh tahun antara kaum muslimin dan Quraisy.
- Siapa saja yang mendatangi Nabi dari kalangan kafir Quraisy harus dikembalikan (ke Makkah), tetapi bila ada di antara kaum muslimin yang mendatangi kaum Quraisy maka tidak harus dikembalikan (ke Madinah).
- Nabi harus kembali (ke Madinah) dan menunda pelaksanaan umrah ke tahun berikutnya; boleh memasuki Mekkah setelah Quraisy menyingkir; dan hanya bermukim tiga hari.
- Siapa saja, selain kaum Quraisy, boleh bergabung dengan pihak Muhammad; dan siapa saja, tanpa terkecuali, boleh bergabung dengan pihak Quraisy.
Nabi menerima hal-hal yang tidak prinsip, yakni teks dan redaksi perjanjian. Nabi sudi menuruti keinginan juru bicara Quraisy, Suhail bin ‘Amr, tidak bersikeras mempertahankan redaksi yang beliau diktekan kepada Sayyidina ‘Ali in Abi Thalib . ‘Ali berkisah, “Rasulullah memanggilku seraya memerintahkan: tulislah Bismillāhirraħmānirraħīm! Suhail menyela, aku tidak mengenal kata-kata ini, tulislah Bismikallāhumma! Lantas Nabi bersabda, tulislah Bismikallāhumma, ‘Ali pun menuliskannya. Selanjutnya Nabi memerintahkan untuk menulis: Ini adalah perjanjian antara Muhammad utusan Allah dengan Suhail bin ‘Amr. Suhail kembali menyela: kalau aku mengakui engkau adalah utusan Allah mana mungkin aku memerangimu?, tulis saja namamu dan nama ayahmu! Lagi-lagi Nabi menyetujuinya dan bersabda: tulislah! Ini adalah perjanjian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin ‘Amr.”
Allah menakdirkan Pancasila, sejak kemunculannya, sebagai solusi persoalan dan pengurai perbedaan. Terlebih, secara umum, negara yang berdiri di atas asas ini telah melalui masa tujuhpuluh lima tahun dengan tenteram dan tanpa ada kendala yang berarti. Kalaupun terjadi suatu gejolak, maka pemicunya adalah penyimpangan dalam memahami kelima sila serta tidak konsisten dan kukuh mengimplementasikannya. Sampai saat ini saya sendiri tidak menemukan satupun kejanggalan baik dalam bentuk maupun kandungan maknanya, sebagaimana saya meyakini tidak ada satu alasan yang dapat dibenarkan untuk menyunting, mengubah, dan menggantinya dengan yang lain. Maka menurut akal sehat, sudah semestinya Pancasila dianggap sebagai keputusan final. Seandainya pancasila diposisikan dan diimplementasikan dengan sebaik-baiknya, tentu Indonesia jauh lebih baik daripada keadaannya saat ini. Nahdlatul Ulama telah mendeklarasikan beberapa keputusan yang tertuang dalam lima poin mengenai hubungan antara pancasila dengan Islam. Purna sudah ketetapan tersebut melalui Musyawarah Nasional Ulama yang digelar di Situbondo tahun 1.983. Di sini saya hanya mengutip dua poin di antaranya, yaitu poin keempat dan kelima:
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
- Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pemahaman yang benar mengenai Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Pancasila selaras dengan maqāshid al-syarī’ah dalam aspek bahwa keduanya merupakan asas universal yang menjadi rujukan bagi setiap undang-undang partikular negeri ini. Tidak boleh ada satupun undang-undang yang bertentangan dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa atau dengan asas-asas lain. Sebagai contoh, keberlangsungan negara dan tidak adanya kekacauan merupakan kemaslahatan universal yang wajib dipelihara, oleh karenanya tidak boleh melakukan gerakan apapun—meskipun ada maslahat partikular—yang dapat merusak kemaslahatan universal itu.
Penting kiranya saya menambahkan sedikit penjelasan, yang menegaskan pernyataan saya sebelumnya, tentang makna dari sila pertama dan kedua. Sesungguhnya sila pertama itu adalah ungkapan tauhid, yaitu iman kepada Allah yang Esa lagi Maha Unik, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh muktamar NU ke-27 di Situbondo.
Bagi kaum muslimin, tauhid merupakan inti sari akidah Islam, bahkan sari pati seluruh ajaran agama semenjak Adam hingga Muhammad . Allah berfirman, “وماأرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون/Dan Kami tidak mengutus seorang pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami mewahyukan kepadanya bahwa tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” Nabi ` bersabda, “نحن معاشر الأنبياء أولاد علات ديننا واحد/Kami para nabi adalah saudara (satu ayah), agama kami satu.”, maksudnya hanya menyembah Allah yang tiada sekutu. Sebelumnya telah saya paparkan mengenai hubungan antara gagasan tauhid yang diungkapkan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Saya meyakini kalau bukan karena kemayoritasan ini, niscaya gagasan tauhid tersebut tidak akan pernah muncul.
Mengimani Allah dan Keesaan-Nya meniscayakan keislaman. Artinya, itu menuntut kaum beriman di negeri ini untuk tunduk (istislām) dan patuh (inqiyād) akan hukum-hukum syariat. Dengan pemahaman ini, sila pertama sejatinya telah memuat esensi frasa yang dibuang dalam Piagam Jakarta yaitu: kewajiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeloek-pemeloeknja. Mereka yang mengimani Allah dan syariat-Nya wajib berkomitmen untuk menjalankan syariat Islam dengan sepenuhnya tanpa memerlukan legislasi maupun konstitusi. Jika sila pertama merupakan manifestasi tauhid itu sendiri, berarti penghapusan frasa tersebut, yang lalu diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa bukanlah degradasi atau regresi, melainkan sebuah kemajuan progresif dari “sekadar” syariah menuju akidah. Pasalnya, keabsahan pengamalan syariah bergantung pada kemapanan akidah. Oleh itu, pengamalan syariah tidak absah tanpa dilandasi keimanan dan keyakinan teguh bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan Maha Esa yang tidak ada sekutu bagi-Nya.
Posisi saya tidak sedang menyanggah bahwa Pancasilan dengan sila pertamanya tidak menjadi faktor pengikat bagi pengamalan syariat Islam. Saya hanya membantah pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila menjadi penghalang (māni‘) bagi terwujudnya legislasi tersebut. Toh, andaikata Pancasila memang tidak menjadi faktor pendorong pengamalan syariat Islam, maka sekurang-kurangnya itu bukan suatu penghalang. Sebab, bila ada kesempatan, kondisi memungkinkan, serta seluruh lapisan masyarakat mengiakan legislasi syariat di negeri ini, maka hal itu tentu tidaklah menyimpang dari asas Pancasila yang disepakati oleh pendiri Bangsa.
Tidak lupa pula saya kemukakan sedikit uraian mengenai hubungan antara Pancasila dengan maqāshid al-syarī‘ah serta pukau keserasian antara keduanya, di mana hifzh al-dīn (perlindungan agama) yang menduduki posisi puncak dalam hierarki maqāshid al-syarī‘ah al-dlarūriyyah, berbanding lurus dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama di dalam Pancasila. Sebagaimana sila pertama adalah sukma bagi sila-sila berikutnya, demikian pula iman kepada Allah merupakan asas keberagamaan (tadayyun). Tidak ada keberagamaan tanpa asas keimanan. Keberagamaan berarti berpegang pada agama Allah, mengamalkan, dan menjaganya. Akhirnya disimpulkan bahwa sila pertama memuat tujuan syariat dalam pelestarian agama (hifzh aldīn).
Kemanusian yang juga merupakan salah satu asas dalam Pancasila, tidaklah serta-merta diungkapkan secara mutlak, tapi dibatasi dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini tidak lain semakin menunjukkan betapa para ulama dan pemimpin negara kita sepenuhnya menyadari bahwa nilai kemanusiaan seseorang terletak pada jiwanya, bukan pada raganya: semakin sempurna nilai spiritualitasnya, kian sempurna nilai kemanusiaannya. Sebagaimana syair yang didendangkan oleh Abū al-Fath ‘Alī bin
Muhammad al-Bustī,أقَبِْــلْ علَىَ النَّفْسِ وَاسْــتَكْمِلْ فَضَائلِهََا فَأنَـْـتَ بالِنَّفْــسِ لَا بالِِْسْــمِ إِنسَْــانُ
Rawat dan latihlah jiwa, sempurnakan keutamaankeutamaannya!
Karena dengan jiwa engkau menjadi manusia, bukan karena raga.” Sebab jiwa pula Allah menjadikan manusia sebagai makhluk terhormat di persada bumi. Firman-Nya, “ولقد كرمنا بني آدم/Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-cucu Adam.” Fakhr al-Dīn al-Rāzī menulis: “Ketahuilah bahwasanya manusia adalah suatu entitas yang terdiri dari jiwa dan raga. Jiwa dan raganya merupakan yang paling mulia di dunia fana ini. Jiwa manusia istimewa karena adanya daya rasional yang mampu menggapai hakikat realitas.” Dengan tegas saya katakan bahwa asas Kemanusiaan yang Adil dan Beradab adalah jelmaan tujuan syariat dalam perlindungan manusia, akal, dan kehormatan dirinya.
Adapun tiga sila berikutnya juga jelas memiliki kesesuaian dengan syariat Islam baik tekstual (nushūsh) maupun kontekstual (maqāshid). Persatuan Indonesia, permusyawaratan, kebebasan berpendapat, dan keadilan dalam segala dimensinya, adalah citacita agama Islam yang hendak diaktualkan dalam realitas supaya tidak hanya menjadi tinta di atas kertas.
Persatuan Indonesia dalam pengertian yang sejatinya adalah keyakinan bahwa bangsa Indonesia merupakan satu bangsa yang disatukan oleh bahasa, budaya, sejarah, letak geografis, dan kepentingan yang sama, tanpa perasaan istimewa di antara bangsa-bangsa lain. Tidak ada satu pun dari pemahaman ini yang bertentangan dengan syariat maupun ukhuwwah islāmiyah— sebagai tali persaudaraan utama. Justru keberlangsungan suatu negara, stabilitas keamanan, perekonomian, dan urusan keagamaan bergantung pada itu semua.
Hemat saya, sila ketiga (Persatuan Indonesia) jelas-jelas mengacu kepada makna nasionalisme yang masih diperdebatkan definisinya itu. Tak mengapa, sebab berdasarkan pemahaman mayoritas ulama Indonesia—terutama para ulama yang hidup di periode kemerdekaan—nasionalisme dianggap selaras dengan tuntunan-tuntunan Islam. Alasannya sederhana, karena tanpa rasa cinta tanah air, mustahil nyala api perang berkobar untuk mengusir dan melepaskan Indonesia dari cengkeraman penjajah. Kesadaran nasionalime yang bersanding dengan kesadaran religius inilah yang mendorong para ulama untuk mengorbankan jiwa dan harta demi merebut kembali tanah air mereka. Maka, selama kesadaran nasionalisme berjalan seiring lagi tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, maka tidak ada persoalan. Haji Oemar Said Tjokroaminoto berpandangan bahwa alih-alih akan menghalangi kemunculan sikap nasionalisme, justru Islam dari suatu aspek mengukuhkannya. Kiai Abdul Wahab Hasbullah menuturkan bahwa nasionalisme yang diawali dengan bismillah (dirujukkan pada nilai-nilai agama) tidak lain dari Islam itu sendiri. Oleh karena itu, apabila benar nan baik penghayatan nilai-nilai keislaman, tentu seluruh umat muslim menjadi warga negara yang nasionalis.
Sila keempat mencerminkan sistem demokrasi perwakilan dan permusyawaratan dengan karakteristik yang unik sebagai salah satu elemen demokrasi di samping keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan akuntabilitas pemerintahan. Kelima unsur ini merupakan esensi ajaran dan prinsip-prinsip dasar Islam. Dan bukti akan hal itu, teramat jelas untuk dituturkan. Hanya sebagai contoh, bukan untuk membatasi, berikut saya sebutkan beberapa firman Allah :
وأمرهم شورى بينهم
“Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka.”
ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألّا تعدلوا
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
ولقد كرمنا بني آدم
“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-cucu Adam.”يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا
كثيرا ونسآء
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan
dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” كنتم خير أمة أخرجت للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Dan beberapa sabda Nabi Muhammad :
ما خاب من استخار ولا ندم من استشار ولا عال من اقتصد
“Tidak akan merugi orang yang beristikharah dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah serta tidak akan
sengsara orang yang berhemat.” يوم من أيام إمام عادل أفضل من عبادة ستين سنة
“Sehari dari seorang pemimpin adil lebih baik daripada ibadah
selama enam puluh tahun.”
لا فضل لعربي على عجمي، ولا لعجمي على عربي، ولا لأبيض على أسود، ولا لأسود على أبيض الا
بالتقوى، الناس من آدم، وآدم من تراب
“Orang Arab tidaklah lebih istimewa dari non-Arab (‘Ajam), tidak pula non-Arab lebih istimewa dari orang Arab, dan yang berkulit putih tidak lebih istimewa dari yang berkulit hitam,
tidak pula yang berkulit hitam lebih istimewa dari yang berkulit
putih, melainkan karena ketakwaan semata. Manusia berasal dari Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah.”
الناس كأسنان المشط
“Manusia laksana gigi-gigi sisir”
إن الدين النصيحة إن الدين النصيحة إن الدين النصيحة. قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال:لله ولكتابه
ولنبيه ولأئمة المؤمنين وعامتهم
“Sesungguhnya agama adalah nasihat, agama adalah nasihat, agama adalah nasihat.” Para Sahabat bertanya: bagi siapa
wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: bagi Allah, kitab-Nya,
Nabi-Nya, para pemimpin kaum mukmin dan rakyat mereka.”
أفضل الهاد من قال كلمة حق عند سلطان جائر
“Jihad paling afdal adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang sewenang-wenang.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib berkata, “ولا تكن عبد غيرك وقد جعلك الله حرا /Jangan sudi diperbudak oleh orang lain karena Allah menjadikanmu merdeka.”
Tepat setelah pelantikannya sebagai khalīfah, Sayyidina
يا أيها الناس، قد وليت عليكم ولست بخيركم، فإن أحسنتAbu Bakar berkutbah, “ فأعينوني، وإن أسأت فقوموني أطيعوني ما أطعت الله ورسوله، فإن عصيته فلا طاعة لي عليكم
/Wahai manusia, aku telah menjadi pemimpin kalian padahal diriku bukan orang terbaik di antara kalian. Bila aku berbuat baik, maka bantulah; bila aku berbuat salah tegurlah. Patuhi aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau aku durhaka, maka tiada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku.”
Demikianlah beberapa ayat-ayat Alquran, Hadis dan ātsār para sahabat di atas, yang menjadi sumber rujukan bagi prinsip dasar dalam Islam, sekaligus pada waktu yang sama menjadi asas bagi sistem demokrasi.
Esensi demokrasi itu kedaulatan berada di tangan rakyat, dalam pengertian bahwa rakyat adalah pemilik kehendak dan kewenangan, sementara pemimpin atau penguasa hanya bertindak sebagai perwakilan dalam mewujudkan kehendak dan menjalankan kewenangan yang dilimpahkan oleh rakyat; rakyatlah yang memilih dan menentukan pemimpin/hakim, meminta pertanggungjawaban, bahkan bila perlu melengserkannya.
Namun, kedaulatan rakyat tidak lantas menegasikan kedaulatan Allah. Penyeru demokrasi tidak menolak otoritas Tuhan atas manusia. Yang mereka tolak hanya otoritarianisme tiranik. Demokrasi dalam konteks negara kita adalah demokrasi Pancasila yang secara fundamental tentu berbeda dengan demokrasi liberal Barat, yang menjadikan undang-undang harus dilaksanakan dan dipatuhi meskipun bertentangan dengan norma-norma masyarakat menyangkut keluhuran akhlak. Sementara dalam demokrasi Pancasila, kedaulatan rakyat tidak mutlak, tetapi harus seiring dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan dan sila-sila lainnya. Di atas itu semua, sistem demokrasi, termasuk apa yang disebut sistem demokrasi Islam, tidak memiliki domain persoalan haram dan halal karena hal tersebut adalah murni hak prerogatif Allah . Wilayah kewenangan demokrasi berada dalam persoalan dunia dan politik yang tidak memiliki acuan Alquran, Sunah; atau singkatnya, persoalan-persoalan yang hukumnya ditentukan oleh takaran maslahat dan mafsadat.
Prinsip kedaulatan rakyat dengan berpegang pada suara mayoritas harus bersamaan dengan menjaga hak-hak minoritas, dalam artian terciptanya aturan-aturan umum yang berlandaskan suara mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat harus disertai dengan adanya jaminan konstitusional dan perundang-undangan yang melindungi kebebasan dan hak-hak kelompok minoritas.
Pada mulanya, saya berpikir bahwa syariat tidak membahas tentang persoalan ini: tidak menetapkan dan tidak pula menafikannya. sehingga yang dijadikan tolah ukur keabsahannya adalah kemaslahatan umat yang berbeda-beda sesuai konteks waktu dan tempat. Akan tetapi, pembahasan ini mempunyai berkaitan erat dengan permasalahan ijmā‘ (konsensus). Salah satu pembahasannya adalah bahwa ijmā‘ dapat terjadi dalam urusanurusan duniawi, seperti mengatur tentara, strategi perang, dan dan urusan-urusan rakyat lainnya. Dalam urusan duniawi, orang-orang yang ber-ijmā‘tidak harus mujtahid yang memahami syariat berikut prinsip-prinsipnya. Nabi Muhammad ` bersabda, “أنتم أعلم بأمر دنياكم/ kalian lebih mengetahui urusan duniawi kalian.”
Dalam bab ijmā‘ dijelaskan pula bahwa kesepakatan mayoritas yang berbeda dengan pilihan minoritas bukanlah ijmā‘. Namun, itu tetap dianggap sebagai pedoman (hujjah) dengan mempertimbangkan kemayoritasannya. Dengan demikian, ketetapan suara mayoritas dalam pemilu, misalnya, juga memunyai rujukan dalam syariat islam. Dari aspek akal, syariat, dan realita, manakala umat berbeda dalam persoalan ijtihādiyah yang memuat lebih dari satu pendapat, maka harus ada hal yang mengunggulkan (murajjiħ) salah satunya, yaitu banyaknya jumlah suara yang mendukung karena pendapat dua orang lebih otoritatif daripada pendapat satu orang. Dalam suatu hadis dikatakan, “إن الشيطان مع الواحد، وهو من الإثنين أبعد/Sesungguhnya setan bersama (keputusan) satu orang. Setan lebih jauh dari (keputusan) dua orang.”
Nabi Muhammad ` bersabda kepada Abu bakar dan ‘Umar c, “ لو اجتمعتما على مشورة ما خالفتكما/Kalau kalian bersepakat dalam suatu musyawarah, aku tidak akan berbeda dari pendapat kalian berdua.” Suara dua orang lebih diutamakan daripada suara satu orang, meskipun yang satu itu suara Nabi Muhammad ` selama persoalan yang dibahas tidak ada sangkut-pautnya dengan syariat dan wahyu.
Termaktub dalam Mantiq wa Ushūl al-Fiqh, “Ijmā‘ semacam ini—kesepakatan mayoritas—tidak teoritis belaka. Ini mungkin diwujudkan dalam realitas sehari-hari; dan bisa disamakan dengan sistem demokrasi. ‘Allāl al-Fāsi menyerukan kepada negara-negara Islam untuk menjadikan sistem demokrasi sebagai sarana untuk membangkitkan permusyawaratan islami (syūrā islāmiyyah) dan merealisasikan makna ijmā‘ untuk pertama kalinya.
Kaidah ini, bahwa kesepakatan mayoritas dengan penolakan minoritas dapat menjadi hujah, menjawab pertanyaan tentang kesepakatan untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Apakah ijmā‘ yang dimaksud di sini adalah kesepakatan seutuhnya atau sekadar kesepakatan mayoritas yang disertai adanya penolakan minoritas? Sebab jika diasumsikan bahwa kesepakatan tak mungkin terjadi secara penuh, maka menjadikan Pancasila sebagai dasar negara tidak menjadi persoalan menurut syariat, lebih-lebih jika kuantitas pihak minoritas kecil sekali. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa sesungguhnya Pancasila adalah asas yang telah disepakati, dan negara yang berlandaskan atasnya juga negara yang telah disepakati. Hal ini sebagaimana munculnya Negara Madinah setelah disahkannya perjanjian madinah dan pengakuan dari tiaptiap golongan terhadap isi perjanjian tersebut.
Terlepas dari itu semua, saya memandang bahwa Pancasila dalam hubungannya dengan syariat islam berkisar di antara tiga hal.
- Pancasila tidak bertentangan dengan syariat karena berdasarkan kajian induktif atas teks-teks syariat, tak ditemukan satu ayat atau satu hadis pun yang bertentangan dengan isi Pancasila.
- Pancasila selaras dengan syariat karena berdasarkan kajian tersebut, ditemukan beberapa ayat dan hadis yang sesuai dengan isi Pancasila.
- Pancasila adalah syariat itu sendiri karena dalam teks-teks syariat ditemukan sejumlah ayat dan hadis yang patut menjadi dalil dan landasan bagi masing-masing sila.
Simpulan
Pandangan yang kedua, bahwa Pancasila selaras dengan syariat, dapat menjadi jawaban yang moderat, hingga pada satu titik, Pancasila terentas dari objek perdebatan antara menolak atau menerimanya; di samping menurut syariat, Pancasila, dengan pandangan kedua ini, sudah cukup untuk menjadikannya sebagai dasar negara yang mayoritas penduduknya Muslim.
Bahkan seandainya pendapat pertama yang dipilih, bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan syariat, cukup sudah untuk mengakhiri perdebatan ini karena dalam persoalan-persoalan muamalah, yang menaungi persoalan politik, pada dasarnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya; di samping bahwa yang dijadikan acuan dalam politik adalah mewujudkan maslahat dan menolak mafsadat. Atau lebih singkat, boleh dikatakan acuan utama dalam politik adalah mewujudkan kemaslahatan karena menolak mafsadat adalah bagian dari maslahat. Ibn ‘Aqil menulis, “Politik adalah segala upaya yang membawa manusia lebih dekat dengan kemaslahatan serta membawa mereka menjauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah ` tidak merumuskannya dan wahyu tidak membicarakannya. Siapa yang mengatakan bahwa tidak ada politik kecuali telah dibahas oleh syariat, maka ia salah sekaligus menyalahkan para sahabat dalam syariat mereka.”
Berdasarkan pembahasan, saya dapat menyimpulkan bahwa:
- Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan melihat Pancasila sebagai dasarnya, adalah negara syar‘iy yang sesuai dengan teks-teks dan tujuan-tujuan syariat (nushūsh al-syarī‘ah wa maqāshidihā).
- Pancasila bukan penghalang (māni‘) untuk menerapkan aturan syariat di negara yang berlandaskan atasnya.
- Konsekuensi menjadikan Pancasila sebagai dasar negara adalah seluruh undang-undang negara tidak boleh bertentangan dengan salah satu dari sila Pancasila.
- Republik Indonesia adalah negara kesepakatan yang berdiri di atas asas yang mendapatkan kesepakatan.