Dalam kehidupan lebih mutakhir, Bonjol diperkenalkan melalui dunia astronomi atau ilmu falaq. Sebuah kota yang terletak pada posisi lintang 0 derajat, persis di bawah garis khatulistiwa. Maka dibangunlah Tugu Khatulistiwa berupa bola equator. Dekat bola equator itu ada garis lurus dengan goresan cat sebagai tanda lintasan matahari. Sebuah jembatan penyeberangan terhubung dengan bola dunia di seberang jalan. Saya pikir itu jalur masuk ke dalam bulatan berwarna biru itu, semacam planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Tapi seorang pedagang kaos keliling bilang itu tak bisa dimasuki, atau sudah tak bisa dimasuki. Tinggallah benda itu sebagai dekorasi yang hilang fungsi.
Di area yang sama, terdapat museum Tuanku Imam Bonjol dengan gerbang semen berupa dua pedang panjang bersilang. Ada pula patung Sang Imam sedang berkuda. Pedang di tangan kanan, tali kekang di tangan kiri. Baik kuda maupun jubahnya dibuat sama putihnya. Baik tangan Tuanku maupun kaki depan sang kuda sama-sama terangkat ke udara menggambarkan suasana heroik dan dramatik. Di Bonjol, astronomi bersanding dengan sejarah, betapa pun keduanya tampak tak bertegur sapa.
Entah kenapa keunggulan astronomi dengan garis khatulistiwa sebagai ikon kota seolah kehilangan daya tarik. Semacam realitas terberi yang tak perlu lagi dikaji. Toh keseharian kita berada di bawah panas matahari, mungkin begitu anggapannya. Ini sama dengan rendahnya minat generasi kita pada studi gunung berapi meski kita berada di negeri cincin api. Pun sejarah. Aroma kesunyian meruap dari lantai Museum Imam Bonjol saat saya masuki. Menggurit ironi dan paradoks negeri berlatar sejarah penting ini.
Sungguh pun demikian, nama Bonjol tetap santer di antero Tanah Air. Bukan lantaran posisinya tepat di bawah garis edar matahari. Tapi karena “gerhana” sosial-politik pada awal abad ke-19 yang mencuatkan bayang-bayang panjang paradoks Bonjol! Sebuah paradoks yang muncul dari arena Perang Padri dengan mengambil Bonjol sebagai basis terkuatnya, juga pimpinan terkuat, tetapi memiliki hal-hal yang seolah bertolak belakang atau kontradiksi dengan kenyataan. Inilah yang menarik untuk dicermati.
Sebagaimana disinggung awal, Bonjol dikenal saat, atau apabila, dilekatkan dengan nama seorang imam besar kaum Padri, Tuanku Imam Bonjol. Di luar itu, kajian-kajian tentangnya lebih banyak soal kedatangan orang luar untuk ikut berjuang bersama Padri Bonjol, atau menceritakan tentang bentang alam serta Benteng Bukit Tajadi. Yang pertama bersifat “alamiah” terkait kontur tanah Bukit Barisan dan yang kedua masih terhubung dengan kebesaran siempunya nama; benteng pertahanan Imam Bonjol. Gugusan Bukit Tajadi membuat Bonjol berada pada posisi yang ideal; kampung yang memiliki lahan pertanian untuk logistik pangan, benteng alam dan benteng buatan yang aman untuk perlindungan.
Ada hikmahnya kekalahan pertama Peto Syarif melawan Datuk Sati yang anti Wahhabi itu. Setelah kekalahan tersebut Peto Syarif dan pengikutnya membangun pemukiman kedua di kaki Bukit Tajadi. Kampung baru itulah yang dinamakan Bonjol, sebutannya konon berasal dari sebuah tonjolan Bukit Tajadi. Sang Imam dalam memoarnya menyebut tonjolan atau benjolan itu sebagai simbol kebaikan melawan kejahatan. Lebih lengkap, Dobbin mengutip De Stuers,”Bahwa benteng (baca: kampung) ini didirikan untuk mempertahankan pranata Islam yang benar, untuk melawan tindakan yang jahat atau tindakan di luar hukum, dan untuk menganjurkan kepada semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang tidak adil, tidak benar dan tidak baik.” (Dobbin, 1983: 259-260).
Pernyataan di atas tentu saja normal jika bukan normatif. Namun apabila diletakkan dalam konteks zaman ketika Paderi bergerak, pernyataan itu bisa saja punya tendensi. “Islam yang benar” mengandung intensi berbeda, karena Islam itu pada intinya sudah benar bahkan merupakan kebenaran itu sendiri bagi yang percaya. Implikasi berbeda akan muncul jika ia sengaja dinyatakan kembali. Apalagi dengan penekanan tertentu. Boleh jadi itulah Islam versi Wahabi—yang menjadi bibit kemunculan Padri, meski Padri sendiri konon berasal dari sebutan untuk Pidie, Pidier, pelabuhan haji terbesar zaman dahulu, di Aceh.
Sialnya, pada era sekarang pun penilaian atas pernyataan semacam itu masih terbawa-bawa, untuk tak mengatakannya kian kentara. Alergi kita atas ungkapan “yang baik dan benar” tak bisa disembunyikan, baik sebagai bentuk anti-kemapanan (non-mainstream), kritisisme, maupun kembali ke konteks zaman ketika monopoli kebenaran tak terelakkan. Ruang-ruang publik bahkan domestik hendak direbut dan diberi kebenaran tunggal, atas nama golongan atau kelompok. Pada saat sama, pihak yang tidak terima juga merebut ruang-ruang itu dengan pemaknaan masing-masing yang tak kalah lantangnya merebut kontestasi
Kenyataan ini selaras dengan gerhana yang irisannya pada benda-benda jagad raya—bintang, bulan, bumi dan matahari—menyuguhkan persfektif dan cara pandang berbeda. Gerhana: matahari yang tertutup bulan, atau bulan terhalang bumi? Bayang-bayangkah yang menutup cahaya atau cahaya yang menimbulkan bayang-bayang? Sesuatu yang alamiah, natural dan bahkan sunatullah sebenarnya. Namun ketika perspektif itu dipertentangkan, maka hilanglah ruang-ruang inklusif tempat kita bisa melihat keindahan jagad raya secara bersama-sama. Apalagi, dalam konteks Bonjol sebagai kota yang memiliki khazanah astronomi dan matahari, ternyata tidak punya planetarium atau teropong yang memadai sehingga kekayaan jagad raya tak terkuak sains dan teknologi. Tinggal misteri.
Museum Perdamaian
Demikianlah, gerhana sosial-politik abad ke-19 masih sering terjadi dan mungkin akan terus terjadi. Di satu sisi, status “kota khatulistiwa” tak berhasil diinisiasi atau menginisiasi Bonjol jadi kota yang banyak dikunjungi. Padahal sekarang apapun bisa “dijual” untuk pariwisata, lihatlah destinasi baru tumbuh di mana-mana. Bonjol malah tercecer. Beberapa fasilitas yang dulu sempat dibangun, merana dalam tempias debu jalan trans Sumatera.
Dalam Museum Imam Bonjol saya merasakan paradoks yang sama. Museum yang lengang. Koleksinya lebih banyak merujuk masa kemudian, seperti perhiasan dan mata uang. Selain bedil dan senapan laras panjang, tersimpan senjata tajam, mulai tombak, pedang hingga kelewang. Alat-alat domestik keluarga Minangkabau ditampilkan tak kalah banyak. Semua ditata di etalase kaca di dalam dua ruangan utama di lantai atas. Jika diperhatikan saksama, koleksi terbesar museum ternyata benda-benda adat, hal yang dulu memicu orang-orang Padri bangkit menggugat. Mulai daster, ikat kepala, tongkat hingga pakaian kebesaran para datuk atau penghulu. Bahkan di halaman museum terdapat petunjuk destinasi peninggalan purbakala Pasaman, seperti Candi Tanjung Medan.
Apakah ini bentuk normalisasi sejarah? Sejarah dibuat normatif demi nilai harmonis? Apakah ini salah satu fungsi museum: meminimalisir efek gesekan masa lalu?
Sejumlah pertanyaan sehubungan dengan itu bisa terus diajukan. Tapi mungkin kita perlu juga memberi ruang renung: jangan-jangan apa yang ditampilkan itu sudah cukup objektif. Tidakkah apa yang ditampilkan mencerminkan kenyataan yang sebenarnya? Bahwa simbol agama dan benda adat akur belaka tapi ditelikung kolonial—lantas diakomodasi buku-buku sejarah kita—sehingga agama dan adat seolah berhadapan?
Entahlah. Yang jelas, paradoks tak serta-merta buruk. Setidaknya dari situ kita bisa melihat lebih jernih. Dalam konteks koleksi Museum Imam Bonjol ini misalnya, jika dibawa ke perspektif lain, mungkin signifikan juga. Imam Bonjol dalam beberapa hal adalah antipoda Tuanku Lintau atau Tuanku Pasaman, maupun Tuanku Rao. Ia menyesali beberapa langkah di masa lalu dan bertindak lebih hati-hati dan manusiawi.
Itulah sebabnya, kehadiran Bonjol dan Tuanku Imam Bonjol dalam gerakan dan Perang Paderi menurut saya menandai fase sendiri. Terlepas bahwa awalnya mereka kerap bertengkar dengan warga setempat, lalu mengadakan penyerangan teratur ke desa-desa sekitar, namun dalam perkembangannya kemudian, Bonjol justru paling stabil mengontrol keamanan kawasan. Bukan saja lingkup Pasaman dan Agam, juga mencakup Minangkabau bagian timur dan utara hingga Mandailiang dan Angkola.
Ya, Bonjol tumbuh kuat dengan pertahanan di Bukit Tajadi. Pada periode ini, kepemimpinan Imam Bonjol juga sedang matang. Ia tak hanya kuat oleh dukungan pasukan, juga visi dan pandangan persatuan. Penyesalannya atas cara-cara kaum Padri di masa lalu dibuktikannya dengan merangkul daerah-daerah yang dulu dianggap musuh, seperti Koto Tuo asal Tuanku Nan Tuo—guru tarekat yang tak mudah menuding adat itu.
Padri di bawah Imam Bonjol mungkin tak sepenuhnya relevan dikaitkan dengan virus Wahabi jazirah Arab. Meski gagasan Abdul Wahhab dari Najd yang berhasil mendudukkan sekutunya, Sa’ud, dalam dinasti Arabia tak sepenuhnya pula enyah. Tapi Imam Bonjol jelas punya visi dan motivasi sendiri yang agak berbeda dengan pendahulunya. Bila kita merujuk Dobbin kembali, visi dan motivasi itu akan terlihat: Padri bukan semata soal kebangkitan agama, tapi menyangkut juga penguatan ekonomi dan percaturan sosial-politik Minangkabau. Itulah sebabnya kaum Padri punya pelabuhan, sumber daya dan kawasan produksi sendiri, mungkin semacam gilda di Eropa.
Bahwa peristiwa besar awal abad ke-19 itu secara general tetap disebut Perang Padri, dapat dimaklumi karena pimpinan utama dan pimpinan sayapnya kebanyakan dari kaum Padri. Mereka sejak awal memang lebih siap dan mandiri—tanpa dibantu pihak lain seperti halnya kaum adat yang pernah minta bantuan Inggris kemudian Belanda. Kaum Padri tidak. Mereka, seperti tadi disebutkan, bahkan memiliki “gilda”-nya sendiri.
Tapi bisa pula penyebutan Padri terus-menerus bersifat tendensius demi menonjolkan kesan bahwa gerakan mereka tak berubah. Bahwa gerakan mereka masih merupakan kelanjutan cara-cara era Nan Renceh, Tuanku Pasaman alias Tuanku Lintau yang keras tak kenal kompromi. Padahal sejatinya sudah ada pergantian pucuk pimpinan lengkap dengan perubahan visi. Pada periode ini, Imam Bonjol bahkan melakukan upaya keluar dari Bonjol, baik dalam pengertian fisik maupun simbolik. Ia misalnya pernah menyepi ke Lubuk Sikaping. Ketika kembali, ia menerima dengan baik pandangan orang-orang yang baru pulang berhaji. Ada pergeseran pandangan atas Wahabi. Mereka tak mempersoalkan lagi hal-hal tak esensial seperti mengunyah sirih dan tembakau—hal yang sebelumnya jadi alasan Nan Renceh membunuh mak gaek (bibinya) sendiri!
Kalau begitu, Museum Imam Bonjol layak disebut sebagai museum perdamaian. Mendamaikan adat dan agama—dua simpul penting “alam” Minangkabau, yang bertahun-tahun lalu dicerai-beraikan kolonial. Tapi dengan sedikit masygul saya pun tertegun: kenapa kini orang-orang di Sumatera Barat, kampung kelahiran saya ini, gemar kembali menghadap-hadapkan adat dan agama? Apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa siklus yang aus dalam gesekkan sejarah itu kembali diputar, seolah memutar lagu lama sambil menegakkan benang basah? Apakah karena mereka jarang “berziarah” ke museum?
Padahal jelas, heroisme Imam Bonjol dan kekuatan benteng Bonjol tak bisa jadi klaim sepihak, katakanlah pihak Wahabi atau Salafi, yang menganggap “pemurnian” Islam menitis dalam kepahlawanan sang imam. Imam Bonjol diangkat menjadi Pahlawan Nasional justru karena ia terbukti mematahkan mitos-mitos pemurnian itu dengan berafiliasi dengan semua kekuatan di Minangkabau. Sebaliknya tak bisa pula diklaim oleh golongan pluralis bahwa gerakan Imam Bonjol steril dari motif-motif Islam yang menjadi basis spritual dan kulturalnya. Imam Bonjol memiliki motif-motif Islam yang riil, salah satu terejawantah dalam perlawanannya atas kolonialisme!.