Rayanda al Fathira
Penulis Kolom

Saya adalah mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan.

Masjid Mewah: Perlu atau Nafsu?

masjid

Pada zaman sekarang ini, pembangunan menjadi hal yang sangat dikedepankan. Dapat kita lihat betapa maraknya semangat pemerintah Negara kita terhadap pembangunan infrastruktur. Betapa banyaknya dana yang digelontorkan demi menyukseskan proyek-proyek besar di bidang pembangunan. Tak bisa kita pungkiri memang, betapa pembangunan menunjukkan kemajuan sebuah peradaban.

Tak pelak, begitu pula dengan rumah-rumah ibadah. Karena saya Muslim, kita ambil saja contohnya rumah ibadah umat Islam, Masjid.

Masjid juga mengikuti perkembangan pembangunan negeri ini. Terlihat dari betapa banyaknya Masjid megah di Indonesia saat ini. Bahkan dengan mudah, ketika kita mengetik “Masjid termewah di Asia Tenggara” paling tidak akan ada 4 Masjid yang berasal dari Indonesia.

Tak usah melihat se-Asia Tenggara, coba perhatikan saja di lingkungan tempat kita tinggal, ada berapa Masjid full AC dengan kemewahan yang tak kalah hebat pula.

Ya, kita sama-sama tahu bahwa Masjid adalah rumah Tuhan, rumah Allah. Maka tak ada salahnya kan jika kita mengindahkan rumah Allah.

Persis, tak ada yang salah pada itu. Hingga suatu ketika saya berjalan-jalan ke sebuah Masjid di kota rantauan saya di kota Medan. Masjidnya indah, sejuk, menenangkan. Tempat yang sangat pas untuk duduk khusyuk sembari berzikir, merenung dosa, hingga menghafal Al-Quran.

Saat itu bulan puasa, dan ketika beberapa menit menjelang berbuka, pengurus Masjid mengambil pengeras suara dan maju ke depan bersama beberapa orang. Sepertinya sebuah keluarga.

Lalu diumumkanlah bahwa keluarga tersebut menyumbangkan sejumlah uang—yang angkanya cukup besar—untuk pembangunan Masjid tersebut.

Yang membuat dahi saya sedikit mengkerut bukan karena keluarga tersebut mengumumkan jumlah sumbangannya di depan banyaknya orang yang akan berbuka puasa di Masjid tersebut, bukan. Yang membuat saya menggulirkan pandangan dari bubur ayam di depan saya menuju langit-langit Masjid adalah; Masjid ini tak sedang membangun hal besar apa-apa—hanya sebuah teras—dan selain itu, semuanya sudah sangat mewah. Letaknya pun di dalam komplek perumahan elite. Dan untuk kita tahu, infaq setiap jumat Masjid itu pun tak tanggung-tanggung banyaknya.

Baca juga:  Khutbah Jumat: Hari Santri dan Menafsir Ulang Makna Resolusi Jihad

“Lalu akan semewah apalagi Masjid ini?”

Saat terngiang pikiran itu, “Teman seperburuan bukaan” saya, Mail namanya, menyentuh bahu saya dan berbisik

“Kenapa orang-orang banyak sekali yang menyumbang untuk pembangunan Masjid. Kenapa mereka gak nyumbang ke orang-orang kelaparan di luar sana aja?”

Ah, pikiran kami bertemu. Mail, kau memang sohibku.

Akan seindah apa lagi langit-langit Masjid itu, sederas apa lagi tiupan AC-nya, selembut apalagi sajadahnya. Masjid itu luar biasa begitu pula dengan segala fasilitasnya.

Lalu Mail berkata lagi

“Ya, wajar juga tapi ya. Kan itu sedekah jariah. Dan ada juga dalil pendukungnya Ray. ‘Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian…’”

“At-Taubah ayat 18”

Sambung dia dengan sigap bak peserta cerdas cermat.

Aku setuju bahwa menyumbang untuk pembangunan Masjid adalah sedekah jariah. Dan itu termasuk 3 amalan yang pahalanya tidak akan pernah terputus. Tapi sedekah pada orang yang membutuhkan juga penting kan?! Ada berapa banyak keluarga yang bingung akan berbuka dengan apa ketika puluhan juta digelontorkan dari sebuah keluarga untuk Masjid mewah di kawasan perumahannya itu. Ada berapa banyak pula lambung yang hanya tersentuh air putih sembari menunggu waktu imsak tiba.

Saya tak membenci orang-orang yang menyumbang ke Masjid, saya hanya sedih pada kenyataan bahwa kita seringkali kurang peduli pada keadaan orang sekitar. Padahal Allah juga memerintahkan hal itu.

Baca juga:  Masjid Tegalsari, Candradimuka Para Tokoh Nusantara

“Tapi kan, Ray. Sering juga kita jumpai sedekah-sedekah yang disalurkan oleh Masjid”

Sahut Mail

Sekali lagi aku setuju dengan fakta yang dikatakan Mail. Tapi kita tahu betapa lambannya proses situ. Ada berapa banyak orang miskin di sebuah lingkungan dan seberapa terbatasnya pula SDM yang dimiliki oleh Masjid untuk menyalurkan hal itu. Dan sepertinya, itu hanya terjadi pada hari-hari tertentu saja. Pengurus Masjid juga mempunyai banyak hal yang harus mereka kerjakan, tidak bisa fokus pada hal itu saja. Sementara setiap harinya ada orang yang kelaparan.

Dan saya tak bisa menemukan landasan berpikir, ketika sepanjang jalan kita bisa dengan sangat mudah menemukan orang yang kesusahan dan kelaparan, tetapi tetap harus menunggu bantuan tenaga dari Masjid untuk menyalurkan bantuan yang kita miliki.

Mail mengangguk sembari mengoper kotak infak–yang pastinya lebih berat dari celengan ayam di kamar kosnya–ke arahku.

Dan utnuk Q.S. At-Taubah ayat 18 tadi, dikatakan bahwa “Yang memakmurkan” ingat katanya, memakmurkan. Arti dari memakmurkan bukan hanya menyumbang uang. Apa jadinya ketika kita menjadi donatur utama sebuah Masjid, tetapi hanya menapakkan kaki ke Masjid ketika pemotongan pita peresmian saja. Apakah dengan begitu Masjid akan menjadi makmur? Apakah ukuran makmur hanya terletak pada seberapa lengkap perabotannya? Tidak. Bahkan sebuah Masjid di pedesaan dengan kipas angin reot yang ketika memasuki waktu Subuh dapat membuat penuh 4 saf sajadah lusuhnya, bisa dikatakan lebih makmur daripada Masjid perkotaan dengan suara imam hafiz Quran plus seorang makmun kakek tua yang kebetulan saja tinggal di sebelah Masjid itu.

Baca juga:  Masjid Raya Bandung, Ikon Kota Sepanjang Masa

Ukuran makmur adalah seberapa bisa kita menghidupkan Masjid.

“Yaa… namanya Masjid itu rumah Allah. Ya wajar kalo dibangun dengan indah kan?!”

Mail dengan segala celetukannya selalu saja kusetujui.

“Tapi apakah benar tujuan kita membangun Masjid semata-mata karena Allah, Il?”

Menggulir matanya ke sudut kiri dan kanan, jelas menunjukkan Mail bingung untuk menjawab pertanyaanku

Allah suka keindahan, maka dari itu kita harus membuat Masjid seindah mungkin.

Tapi, apakah kita boleh menyamakan standar keindahan kita dengan standar indah di mata Allah? Itu pertama.

Apakah benar banyaknya pendingin ruangan, lampu hias besar mengkilap yang menggantung di tengah, hingga sajadah tebal dan lembut itu, semua kita pasang semata-mata untuk mengharap rido Allah?

Atau jangan-jangan itu semua hanya untuk memenuhi hasrat duniawi kita.

Kita yang ingin ruangan Masjid sedingin ruangan kantor besar kita. Sajadah Masjid bisa selembut ambal di kamar tidur kita.

Agar bisa beribadah dengan tenang, kita memasangkan fasilitas luar biasa mewah pada tempat ibadah.

Sekali lagi, bukannya ketenangan itu perihal hati?!

Kesejukan bisa didapat dengan seberapa khusyu kita menghadap sang Ilahi.

Lalu atas hasrat duniawi itu, kita mengkambing hitamkan Allah. Mengatakan bahwa ini semua karena dan untuk Allah. Padahal, kita. Kita yang tak pernah bisa lepas dari maraknya dunia. Mirisnya, bahkan ketika berurusan dengan sang pencipta.

“Tapi, tunggu. Kamu juga memilih solat disini Karena Masjidnya dingin dan suara imamnya enak kan, Ray”

Ah, untuk kesekian kalinya, Mail. Aku memang tak pernah bisa membantah celetukanmu yang datang tak terduga.

“Oiya, jangan lupa dengan sajadah lembut dan bukaan mewahnya, Il.”

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top