Sedang Membaca
Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (1): Yasadipura I: Pujangga Sepuh Sang Renaisans Sastra Islam
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (1): Yasadipura I: Pujangga Sepuh Sang Renaisans Sastra Islam

Whatsapp Image 2021 11 02 At 22.52.45 (1)

Abad ke-18 menjadi titik balik bagi kesusastraan Jawa karena dianggap mengalami era baru yakni “kelahiran kembali” atau renaisans di Keraton Surakarta. Sebuah kelahiran kembali yang dianggap memberikan dampak yang cukup signifikan dalam mengembalikan sastra kuno yang bernafaskan pra-Islam. Renaisans ini dianggap sebagai puncak dari kesusastraan Jawa karena para pujangga Islam beralih menerjemahkan kesusastraan kuno seperti Kakawin dalam bentuk macapat.

Bahkan Theodore Piegud menegaskan renaisans ini adalah suatu pembelokan yang begitu tajam para pujangga Jawa yang tadinya mengkaji sastra Islam yang asing berubah mengkaji sastra Jawa Kuno seperti Kakawin pada Keraton Surakarta yang dianggap sebagai kelahiran kembali sastra Jawa Klasik (Pigeuad, 1:236). Bagi saya ini adalah penilaian yang serampangan dan tidak menjeluk begitu mendalam terhadap para pujangga Jawa Islam yang mengurai kembali kesusastraan Jawa Klasik. Mungkin juga ini adalah penilaian seorang Javanolog yang mendapatkan traumatik tersendiri atas lahirnya Perang Sabil.

Pujangga Keraton Surakarta, Yasadipura I, dielu-elukan sebagai bapak renaisans tersebut. Bahkan dari Yasadipura I akan melahirkan trah pujangga Islam dalam tradisi kesusastraan Islam Jawa yang akan dibahas dalam tulisan saya berikutnya. Kita semua paham dan sepakat bahwa Yasadipura I adalah seorang santri taat yang menjalankan ritual-ritual Islam secara ketat. Di antara beberapa karya kesusastraan Jawa Yasadipura I yang dianggap sebagai masa renaisans Jawa Klasik adalah Bharatayuda, RamayanaNiti Sastra dari sastra Jawa Kuno, dan Bima Suci.

Yasadipura sepuh, yang dianggap sebagai bapak renaisans dilahirkan pada 9 September 1729 di Desa Pengging, Jawa Tengah tidak jauh dari letak Keraton Surakarta. Ayahnya, Kiai Padmanegara seorang keturunan generasi ketujuh kesultanan Pajang, dikatakan sebagai seorang santri. Ibundanya, Maryam seorang anak ulama yang bernama Kalipah Caripu. Dengan begitu terang sudah Yasadipura I adalah keturunan darah biru seorang Islam Jawa saleh.

Baca juga:  Hasil Psychohistory Azyumardi Azra: Gus Dur Sosok yang Immortal

Seperti halnya sang ayah, Yasadipura merupakan seorang santri yang sebenarnya. Menginjak usia 8 tahun ia dikirimkan ke daerah Bagelen-Kedhu sebagai cantrik untuk mempelajari bahasa Arab dan huruf Jawa di pesantren Kiai Honggamaya, teman kakek dari pihak ibu. Sewaktu pencarian ilmu agama di Pesantren Honggamaya, keraton Mataram Kartasura sedang mengalami perang yang cukup pelik, yakni Geger Pecinan. Sehingga sekembalinya dari pesantren, sang pujangga tidak lantas langsung ke Keraton tetapi menyusul rajanya yang sedang dalam pelarian di Ponorogo, tetapnya di kediaman Kiai Ageng Imam Besari.

Pengabdiannya terhadap Keraton Surakarta amatlah besar, sampai dia mengabdi pada tiga generasi raja Keraton  Surakarta, yang terakhir sampai wafatnya pada 1803, masih mengabdi pada raja Pakubawana IV (1788-1820 M). Ia menjadi Pujangga subur yang menorehkan banyak karya sastra epik yang bernafaskan Islam dan beberapa mengunggit sastra Jawa Kuno yang sudah diejawantahkan di atas.

Relasi antara pesantren dan keraton pada waktu itu sangatlah kuat, bahkan satu sama lain saling mengisi dan tidak bisa dipisahkan. Begitu juga dengan pujangga ini, karyanya, tidak bisa dipisahkan dengan ajaran-ajaran Islam yang diterima olehnya dalam pendidikan pesantren. Seluruh karyanya ini tersusun dalam tembang macapat yang mencakup tema yang begitu luas. Bahkan sesekali terkenal dengan gubahan karya Klasik Kawi Hindu, ia juga terkenal dengan beberapa karya babadnya (rangkaian sejarah) penting terutama tentang Keraton Kartasura dan Babad Giyanti, di mana sang pujangga juga ikut andil di dalamnya.

Baca juga:  Sepotong Puisi Faruq Juwaidah atas Konflik Palestina-Israel

Ia juga mengarang Serat Menak Amir Hamzah suatu roman sejarah panjang terkait heroik dan kisah asmara Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad saat menyebarkan ajaran Islam melalui perang di berbagai wilayah Arabia. Pada waktu dialih bahasakan oleh penerbit Pustaka pada tahun 1930-an, Nancy K. Florida merasa bahwa sebagian dari karya sang pujangga dihilangkan karena tercium propaganda Islam yang disebut berlebihan (Nancy K. Florida, 2020:26).

Karya sastra Islam yang lain dari sang bapak renaisans ini ada Serat Tajussalatain, sebuah gubahan dalam bahasa Jawa atau dalam bahasa Melayu Hikayat Mahkota Segala Raja-raja. Serat ini berisikan tuntun bagi para raja Islam dalam kacamata Dinasti Surakarta, naskah ini satu-satinya yang wajib menjadi pedoman sampai sekarang bagi raja-raja Dinasti Mataram khususnya di Keraton Surakarta. Tidak hanya perihal etika, dalam kesusastraan sufi sang pujangga juga menorehkan beberapa karya yang dikenal luas dalam tradisi kesusastraan Islam misalnya Suluk Dewaruci dan Suluk Mamunuradi Salikin.

Serat Cebolek, karya yang begitu luar biasa yang begitu menjeluk, bercerita pada latar Pakubawana II, yang memberikan wejangan perihal soal kerajaan Jawa, masalah ortodoksi Islam, masalah Sufisme dan kesusastraan Kawi Klasik. Kita lihat misalnya Menak Sorangan, menak ini yang akan membuktikan bahwa Islam sebagai landasan kehidupan dan tidak bisa dipisahkan dalam tradisi kesusastraan Jawa.

Kang raka pinundhut malih// kinen ngungelna syahadat// Ing ngarsane para katong// mesem Sang Surayangjagat// miayrsa aturira// sari mete wentisipun// Narasati Kewusnendar (R. Ng Yasadipura I, 1982:18).

Baca juga:  Nabi Muhammad dalam Pandangan Hart dan Karen Amstrong

Artinya: kayaknya diambil lagi// disuruh mengucapkan Sahadat// di hadapan para raja// Sang Suryanengjagat tersenyum// mendengar kata-kata itu// sambil memiijit betis// Raja Kewusnendar.

Jelas sudah sastra yang dikembangkan oleh sang pujangga adalah sastra yang bernafaskan Islam, bukan agama pra-Islam seperti yang didengungkan oleh kelompok Javanolog. Di bait di atas begitu jelas, seorang harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Dalam ajaran Islam syahadat menjadi rukun Islam yang pertama, dan bahkan menjadi pengucapan wajib sebagai pengakuan atas dirinya sudah memasuki agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Hal ini juga menjadi tanggal awal bagi manusia ketika ingin menapaki ajaran tangga Islam berikutnya.

Bahkan di bait sebelumnya sang pujangga menyebutkan Lamunana agama Ibrahim lumarati binucala. Artinya untuk meninggalkan agama sebelumnya yang itu memang tidak membawa perubahan pada diri seorang insan. Kita tau bahwa Islam adalah agama penutup dan agama penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Bahkan nabi sendiri memaktubkan dalam perkataannya Innamabuitsu liutammira makarimal akhlak. Hadirnya agama Islam adalah untuk menyempurnakan akhlak dari ajaran sebelumnya yang belum sesuai dengan ajaran ke manusiaan.

Jelas sudah ada kegagalpahaman  dari pada Javanolog yang menganggap sang pujangga sebagai bapak renaisans menyandarkan pada sastra klasik Jawa Kuno yang itu keluar dari galur Islam. Justru sang pujangga renaisans ini menandaskan karyanya dari ajaran Islam yang itu sesuai dengan ke-diri-an orang Jawa, Islam Jawa.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top