Sedang Membaca
Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (2): R.Ng Yasadipura II, Centhini, dan Sintesis Mistik
Raha Bistara
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Pujangga Kesusastraan Islam Jawa (2): R.Ng Yasadipura II, Centhini, dan Sintesis Mistik

Whatsapp Image 2021 11 02 At 22.52.45

Pada masa Sultan Agung (1615-1644) rekonsiliasi antara Islamik dan tradisi kerajaan Jawa begitu sangat masif, ini terbukti dengan lahirnya kesusastraan sufi yang begitu melimpah, salah satunya Sastra Gending. Namun, gerakan rekonsiliasi ini tidak dilanjutkan oleh penerus selanjutnya dan bahkan antara ulama beserta jaringannya lebih banyak berseteru dengan pihak di dalam dinding keraton dalam hal ini Amangkurat I.

Setelah beberapa dasawarsa perang sipil yang merugikan seluruh lapisan masyarakat Jawa akhirnya timbul kembali rekonsiliasi antara keraton Mataram dan kesadaran Islamik yang digawangi oleh Ratu Pakubawana I (w. 1732). Ratu Pakubawana memerintahkan penulisan kembali versi baru dari karya-karya yang diyakini memiliki kekuatan magis besar selama pemerintahan Sultan Agung tersebut. Bagi Ricklefs puncak ekspresi simbolik dari Sintesis Mistik adalah munculnya kitab dan tokoh yang dipandang agung, dalam hal ini adalah Serat Centhini (M. C. Ricklefs, 2013:40)

Serat Centhini, adalah karya  agung yang lahir dari rahim beberapa pujangga Keraton Surakarta sekaligus atas perintah Pangeran yang di kemudian hari menjadi Raja Pakubawana IV. Dari ke tiga penggurat Serat Centhini salah satunya adalah R.Ng Yasadipura II seorang carik di Pengging sekaligus sebagai Pojangga Keraton Surakarta pada masa Pakubawana IV, V, VI, dan VII.  Sebagai pujangga tentunya, Yasadipura II tidak diragukan lagi menyoal sastra Islam. Sebab sang pujangga produk asli dari Gerbang Tinatar Ponorogo, pesantren yang diasuh oleh Kiai Ageng Imam Besari.

Ajaran Islam berupa ilmu sarengat dan sufistik ditambah dengan pelajaran bahasa dan sastra Arab didapatkan di pesantren ini, yang membuat sang pujangga sudah menjadi resi terkait kesusastraan Islam yang adiluhung. Bahkan kita bisa melihat betapa produktifnya sang pujangga dalam kesusastraan Islam, seperti Bima Suci, Serat Ambiya, Serat Musa, Serat Sana Sunu, dan yang paling fenomenal adalah Serat Centhini.  Bahkan bagi Nancy K. Florida Centhini lahir dalam ladang kesusastraan Islam yang disebut Suluk yang sebelumnya belum pernah dikenal dalam kesusastraan Jawa (Nancy K. Florida, 2020:32)

Baca juga:  Ulama Banjar (156): KH. Mugeni Hasar

Serat ini (Centhini) ditulis hampir 200.000 bait dalam bentuk tembang macapat mulai dari Maskumambang sampai Pocung yang isinya begitu beragam dan merupakan subjek persoalan analisis yang nyata dan begitu jelas menggambarkan masyarakat Jawa di mana Islam menjadi titik sentralnya. Dalam hal ini aspek Islam sangat kental terdapat dalam budaya Jawa, salah satunya terlihat dalam aktivitas sastra ini. Gambaran ini mendeskripsikan mengenai proses islamisasi budaya Jawa yang menimbulkan persinggungan langsung dengan budaya lokal sehingga memunculkan Islam Jawa.

Sang Prabu Wali Kalipah// Patih nayaka luwih// Pra langgeng tyas raharja// Panekar mratah prayogi// Punika kang dumadi// Paliyu seolah rahayu// Mila mungkin andadra// Rahardaning kang nagari// Temah suka sukur sanggyaning kawula (Serat Centhini, 1986, 3:306)

Artinya: Sang Raja seorang Wali Kalipah// Patihnya menteri cemerlang// Para Pembesar berbudi luhur// Pelayannya semua baik-baik// Inilah yang menjadi// Berlangsungnya jalan kebahagiaan// Maka semakin meningkat// Kebahagiannya yang negara// Sehingga bersukaria kawula semua.

Jelas sudah apa yang guratkan dalam Serat Centhini pupuh Sinom di atas, bahwa hanya Islam yang menjadi titik sentral dengan pemimpinya sebagai Wali Kapilah. Gagasan mengenai Wali Kapilah atau Wali Allah atau seorang khalifah hanya ada di dalam ajaran Islam tidak ada dalam ajaran atau diktat ajaran agama selain Islam. Wali Kapilah dalam Serat Centhini diatribusikan dalam seorang sosok Sultan Agung, raja Mataram Islam ke-tiga yang paling diagungkan.

Baca juga:  Menghidupkan Gus Dur dan Cerita dari Depok

Dalam Serat Centhini juga dikisahkan mengenai Sosok Seh Amongraga yang bernama kecil Jayengresmi anak dari Sunan Giri. Diceritakan dalam Serat Centhini Seh Amongraga memiliki bakat, sifat, dan perilaku membawa ke arah kehidupan mistik. Di antara indikasi yang menunjukkan hal itu seperti bersifat zuhud, sering beruzlah, memiliki karomah dan ma’unah, memiliki kesaktian dan lain sebagainya. Kriteria ini sama persis seperti kriteria seorang sufi yang selalu menjalankan sikap hidup yang asketis.

Sebagai seorang wali, Syaikh Amongraga memberikan petuah dan wejangannya kepada beberapa orang-orang yang dianggapnya paling dekat, salah satunya kepada istri tercintanya, Tambangraras, mengenai soal mistik Islam. Sang Syaikh memberikan wejangan mengenai kesempurnaan hidup seseorang yang harus melalui empat tangga spiritual yakni berupa syri’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat. Keempat tangga ini harus dijalani oleh semua sang salik dalam perjalanannya suluknya. Keempat tangga ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, karena semua saling keterhubungan, bahkan bergantung untuk saling melengkapi. Namun untuk masuk ketangga ketiga dan keempat hanya orang-orang tertentu yang bisa menjalani laku suluk tersebut.

Hakikat seperti yang kita pahami adalah tahap yang sempurna, bisa dicapai dengan mengkal Tuhan melalui pengetahuan yang sempurna. Sedangkan makrifat adalah suluk yang paling tinggi, tahapan di mana manusia telah mencapai Manunggaling kawula Gusti. Dalam tahap ini jiwa manusia sudah menyatu dengan alam semesta dan tindakan manusia sudah menjadi laku spiritual. Bagi Syaikh Amongraga untuk menjadi manusia sempurna manusia harus memegai prinsip-prinsip hidup yang terdiri dari empat suluk itu tadi.

Baca juga:  Ki Hadjar Dewantara: Sekolah dan Sejarah

Bagi sang Syeikh yang disebut sempurna di sini adalah ketika dalam beribadah misalnya tidak hanya mengucapkan bunyi lafal atau lahiriahnya saja, akan tetapi disertai penghayatan yang terdalam. Seperti yang termaktub dalam Serat Centhini jidil 7:

Lamun sira anembah amuji// sajatining puji kawruhana// iku parlu makaripate// yen urung wruh ing ngriku// masih tiron bae kang puji// puji tan praja-paja// sampurnaning kawruh// kang garwa matur nur raga// inggih umbi damba paduka jateni// Ing puji kang sempurna.

Bahkan di akhir Serat Centhini diceritakan Syekh Amongorogo menjadi sosok yang protagonis, bukan sosok yang saleh, seperti menjalankan sarengat Islam, membaca al-Quran dan lain sebagainya. Sebaliknya ia digambarkan sebagai seorang petapa Jawa yang sedang mencari kekuatan gaib untuk membalas dendam kepada Raja Mataram Islam, Sultan Agung, terkait kekalahan ayahnya Sunan Giri.

Sang Syekh diceritakan menjadi seorang tokoh Jawa yang menyimpang yang melanggar syari’at Islam dan agama Nabi Muhammad. Dan penggambarannya lebih kepada tendensi seorang pantheis yang ketika ditarik garis imajiner ajarannya sama seperti yang didakwahkan Syeikh Siti Jenar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top