Setelah daulah Abbasiyah dipegang oleh Khalifah al-Mutawakkil (847-861) kelompok Mu’tazilah sedikit demi sedikit mulai terkikis pengaruhnya dalam kenegaraan. Paham teologi kenegeraan berubah, dari teologi yang dikembangkan oleh kelomopk Mu’tazilah berubah menjadi teologi Sunni yang disahkan oleh pemerintah setempat. Perubahan ini bukannya tanpa alasan yang jelas, kelompok Sunni yang sudah mengkonsolidasikan diri untuk merebut pengaruh pemerintah sudah mencengkram keras di segala lini.
Di satu sisi kelompok Sunni mempertahankan sistem rasional dalam mencari suatu kebenaran dan mencapai puncaknya pada masa Abu Hasan al-As’yari (873-936 M) atau yang sering dikenal sebagai al-As’yari. Ia dilahirkan di Basra pada tahun 873 M dan di sini ia belajar di bawah bimbingan al-Jubai seorang Mu’tazilin. Sebagai seorang murid yang sangat dihormati, ia sering disuruh menggantikan al-Jubai dalam setiap pengajarannya dalam memberikan khotbah ataupun pengajaran kepada murid-muridnya di kala berhalangan dan sudah diproyeksikan kelak menggantikan posisis al-Jubai.
Di pihak lain al-Jubai mempunyai seorang putra yang cerdas bernama Abu Hasyim, yang pada kenyataannya, dialah yang menggantikan ayahnya kelak, bukan al-As’yari. Mungkin persaingan dikedua belah pihak yang nantinya membuat al-As’yari membelot dari Mu’tazilah pada tahun 912. Serta tidak dipungkiri bahwa paham teologi yang dikembangkan oleh Mu’tazilah tidak sejalan lagi dengan apa yang dicita-citakan oleh al-As’yari. Sehingga di masa akhir khayatnya al-Asy’ari membela secara mati-matian kaum intelektual yang berafiliasi dengan paham Sunni.
Selain alasan politis yang membuat al-Asy’ari keluar dari Mu’tazilah, terdapat juga alasan teologis yang bersifat subtil yang membuat al-As’yari berani menentang paham Mu’tazilah yang selama ini ia yakini. Motif teologis berakar dari ketidakpuasaan kelompok Mu’tazilah yang di Basra terhadap usaha-usaha untuk memberikan dalil-dalil rasional tentang ragam nasib atau takdir manusia. Dengan mengemukakan pendirinya lebih jauh, rupanya al-As’yari sampai pada kesimpulan bahwa wahyu sebagai pembimbing kehidupan yang lebih tinggi dari pada akal (W. Montgomey Watt, 1987:100).
Dengan begitu, al-As’yari memutuskan untuk keluar dari Mu’tazilah dan bergabung dengan mereka yang secara sangat ekplisit menempatkan wahyu dalam kedudukan yang lebih tinggi dan mengabdikan dirinya sebagai pengikut Ahmad bin Hambal (780-855 M). Di samping motif semata-mata bersifat teologis al-As’yari mungkin kecewa dengan Mu’tazilah yang sudah lagi tidak sesuai dengan situasi baru yang menyebabkan Mu’tazilah hanya menjadi kelompok teologi akademik yang telah mundur ke menara gading, mengasingkan diri dari tekanan, dan kegetangan waktu.
Dengan kata lain, pikiran-pikiran Yunani yang mereka perankan bagi para filosof kurang begitu Yunani, bahkan kadang-kadang menyimpang jauh dari agama yang dianut oleh masyarakat awam sehingga sulit untuk diterima secara luas. Konsolidasi paham Sunni yang sudah saya jelaskan ditulisan sebelumnya (baca: https://ibtimes.id/masa-masa-islam-awal-3-konsolidasi-paham-sunni/), mengandung arti bahwa ada kelompok besar orang-orang yang telah menerima seperangkat dogma yang sangat jelas, dan tidak lagi ada harapan bagi diterimanya secara luas paham-paham semacam Mu’tazilah yang bersebrangan dengan Sunni.
Situasi ini jelas sangat berkaitan dengan titik baliknya al-As’yari dari Mu’tazilah menjadi Sunni. Namun ada cerita-cerita yang beredar dilingkungan masyarat Islam mengenai mimpinya yang menyebabkan ia berpindah haluan. Dalam mimpi-mimpinya pada bulan Ramadhan Nabi Muhammad muncul tiga kali kepada al-As’yari. Pada kesempatan pertama beliau menyeru kepada para teolog untuk mendukung apa yang terkait pada beliau, yakni terkait Sunnah. Al-As’yari yang kecewa pada teologi Mu’tazilah yang bersifat rasional kemudian berpaling kepada Sunnah.
Beberapa hari kemudian beliau muncul lagi ke pada al-As’yari menanyakan sejauh mana perintah untuk mendukung segala sesuatu yang terkait dengan diri beliau. Sebelum mimpi yang kedua al-As’yari masih menggunakan metode rasional dalam membuktikan pembenaran-pembenarnnya terhadap ajaran yang selama ini diyakini. Namun, setelah mimpi yang kedua ia menghentikan metode rasional dan menyakinkan dirinya untuk mengkaji Sunnah dan Tafsir al-Quran.
Beberapa hari kemudian nabi muncul untuk yang ketiga kalinya dan kembali menanyakan sejauh mana perintahnya telah diikuti. Namun semuanya merasa senang ketika beliau berkata “Saya tidak menyuruh anda untuk menghentikan argumen-argumen rasional, tetapi untuk mendukung Sunnah”. Atas dasar ini kemudian al-As’yari menyusun konsep teologi baru yang dapat digambarkan sebagai pendukung wahyu dengan menggunakan akal. Teologi ini yang nantinya diikuti oleh sebagain besar umat Islam diseluruh dunia yang dikenal dengan kelompok Ahlussunah wal Jama’ah.
Pembentukan teologi baru yang bisa diterima khalayak umum baik para cendekiawan muslim dan masyarakat awam, membuat teologi yang dibentuk al-As’yari memiliki banyak pengikut. Mereka bisa merasakan ghirah keislaman baru dalam tatatan teologi yang dikembangkan oleh al-As’yari. Teologi ini secara pasti sebagai tandingan terhadap teologi Mu’tazilah yang pure bersifat rasional. Beberapa gagasan mengenai teologi yang dikembangkan oleh al-As’yari secara ekplisit yang berafiliasi dengan Imam Ahamd bin Hambal.
Mengenai paham tentang al-Quran, al-As’yari sepenuhnya sepakat dengan Ahmad bin Hambal yang menyatakan bahwa al-Quran bukanlah suatu ciptaan melainkan sebagai sabda Tuhan. Oleh karena itu seperti sifat-sifat Tuhan yang lain maka bersifat kekal dan dalam pengertian tertentu berbeda dengan intinya. Kemudian dalam masalah antropomorfis dalam al-Quran, jelas al-As’yari sangat bertentangan dengan Mu’tazilah yang selalu menggunakan permisalan. Bagi al-As’yari kalau soalnya seperti ini ayat tersebut harus diterima secara utuhnya tanpa bila kaifa.
Terkait masalah keakhiratan al-As’yari bertolak belakang dengan Mu’yazilah selalu memberikan kiasan terhadap hal ini. Bagi al-As’yari hal ini tidak perlu ada kiasan harus diterima secara utuhanya dan tidak perlu dijelaskan dengan menggunakan kiasan (Abu Hasan al-As’yari, 1986:17). Sedangkan mengenai kehendak bebas, kaidah umunya Tuhan menciptakan kehendak manusia dan manusia hanya bisa menerima. Kasb dipahami sebagai hubungan manusia dengan perbuatannya, di mana kemahakuasaan Tuhan begitu sangat diperhatikan. Dengan begitu manusia selalu bertanggung jawab atas segala perbuatannya.
Munculnya teologi baru yang sangat mendukung kelompok Sunni dengan pendayagunaan akal, membuat Mu’tazilah terpojok dan terpuruk dalam sisi sudut teologi Islam. Keterbukaan paham Sunni kepada semua golongan, membuat ia bisa diterima oleh mayoritas umat Islam. Sampai saat ini, umat Islam di dunia mayoritas mengikuti pola keberagaman yang dikembangkan oleh Sunni, walaupun di sisi yang lain ada kelompok-kelompok kecil yang beragama secara Mu’tazilah.
Daftar Bacaan
Al-Hasan al-As’yari, Abu. al-Ibanyah ‘an Ushul ad-Diniyah, Mesir: ath-Thaba’ah al-Munirah, (tanpa tahun)
Montgomery Watt, W. Islamic Theology and Philosopy, Skotlandia: Edinburgh University Press, 1979.