
Ketika teknologi kecerdasan buatan (AI) menyusup ke hampir setiap aspek kehidupan manusia, satu pertanyaan mengemuka: bagaimana bentuk dan makna iman di era algoritma?
Jika dalam sejarah panjang umat manusia iman selalu terikat pada intuisi, wahyu, atau pengalaman spiritual, kini kita dihadapkan pada entitas non-manusia yang mampu mengolah data, meniru emosi, bahkan memproduksi “kebijaksanaan”—tanpa kesadaran, apalagi iman. Apakah manusia masih bisa beriman dalam dunia yang makin dikuasai oleh logika mesin?
Makna Iman
Filsafat agama sejak awal memang tidak tunggal dalam memaknai iman. Kierkegaard, misalnya, mengartikan iman sebagai lompatan eksistensial ke dalam paradoks, suatu bentuk keberanian untuk percaya kendati tak ada bukti empiris. Sebaliknya, dalam pemikiran teologi naturalis, seperti Paul Tillich, iman dipahami sebagai “ultimate concern” atau kepedulian tertinggi manusia yang bersifat transenden. Dalam konteks ini, iman bukan sekadar keyakinan pada doktrin, tetapi kesetiaan ontologis terhadap makna terdalam dari keberadaan.
Masuknya AI dalam kehidupan manusia mengguncang banyak fondasi lama. Kini kita hidup dalam sistem yang memungkinkan pemodelan probabilistik atas perilaku manusia. Keputusan-keputusan kita—termasuk yang bersifat moral dan spiritual—dapat diprediksi dan dimanipulasi melalui big data dan algoritma prediktif. Dalam dunia seperti ini, iman yang selama ini diasosiasikan dengan kebebasan eksistensial dan ruang misteri, seolah-olah direduksi menjadi serangkaian respons neuro-elektrik yang dapat dikuantifikasi.
Tantangan Baru
Di sinilah iman menemukan bentuk tantangan barunya. Dalam pemikiran Jean-Luc Marion, iman adalah respons terhadap yang “tidak dapat direduksi”, yakni pengalaman akan kehadiran yang melampaui kategori. Maka dalam dunia yang dibanjiri kepastian statistik, iman justru menjadi bentuk perlawanan terhadap determinisme data.
Iman adalah ruang keterbukaan terhadap yang tidak bisa dimodelkan. Ketika AI menyajikan prediksi, iman menolak untuk tunduk sepenuhnya pada apa yang tampak logis.
Hal ini juga menghidupkan kembali diskursus mengenai hubungan antara wahyu dan pengetahuan. Dalam era modern, pertanyaan seperti “apakah Tuhan bisa dibuktikan?” digeser oleh pertanyaan baru: “apakah Tuhan perlu diproses oleh mesin?”
Dalam konteks ini, refleksi Simone Weil terasa relevan. Ia menekankan pentingnya perhatian (attention) sebagai bentuk doa terdalam. Di tengah distraksi digital dan teknologi instan, perhatian mendalam terhadap keberadaan justru menjadi praktik spiritual yang paling radikal.
Humanisme Teknologi
Humanisme teknologi—sebuah pendekatan yang memadukan nilai-nilai kemanusiaan dengan kemajuan digital—dapat menjadi landasan konseptual bagi iman masa kini. Dalam pendekatan ini, iman tidak lagi dilihat sebagai oposisi terhadap rasionalitas, melainkan sebagai jendela lain menuju pemaknaan.
Yuval Harari dalam Homo Deus mengisyaratkan bahwa manusia abad 21 lebih percaya pada algoritma daripada Tuhan. Namun justru dari sini iman memperoleh dimensi reflektif baru: bukan sebagai sistem dogma, tapi sebagai kesadaran kritis akan keterbatasan mesin dan kedalaman eksistensi.
Filsuf, teolog, dan paleontolog Prancis, Pierre Teilhard de Chardin, membayangkan bahwa evolusi manusia akan mencapai titik omega: kesadaran kolektif spiritual yang terhubung melalui teknologi. Gagasan ini, meski dianggap utopis oleh banyak kalangan, memberikan satu arah alternatif: bahwa iman bisa bertransformasi seiring kemajuan teknologi, bukan musnah karenanya. AI tak harus menjadi antagonis iman, melainkan partner dialog dalam pencarian makna.
Tentu ini bukan tanpa risiko. Kecenderungan AI untuk meniru pengalaman religius—dari aplikasi doa otomatis, chatbot rohani, hingga deepfake tokoh spiritual—menimbulkan pertanyaan teologis yang belum pernah kita hadapi sebelumnya. Apa yang terjadi jika seseorang mengalami “pertobatan” karena disapa oleh avatar digital yang meniru suara seorang nabi? Apakah iman tetap sahih jika dituntun oleh mesin?
Iman Sejati
Dalam hal ini, penting kiranya mengingat kritik Slavoj Žižek bahwa ideologi paling efektif adalah yang bekerja tanpa disadari. Jika AI menjadi sumber otoritas baru tanpa kita sadari, maka iman akan tergusur menjadi sekadar sistem input-output yang dikendalikan mesin. Maka, perlu ditegaskan bahwa iman sejati adalah kesadaran reflektif, bukan reaksi instan terhadap stimulus digital.
Implikasi praktisnya cukup luas. Gereja, masjid, wihara, dan pusat-pusat spiritual perlu membangun literasi digital berbasis teologis. Umat tidak cukup hanya dibekali ayat atau doa, tetapi juga kesadaran kritis untuk membedakan pengalaman religius dari manipulasi visual dan afektif. Dalam dunia di mana video palsu bisa mengatasnamakan Tuhan, maka iman yang sehat adalah iman yang peka terhadap konteks teknologi.
Pada titik ini, kita mungkin bisa memahami ulang makna wahyu. Bukan lagi sekadar naskah suci yang turun dari langit, tetapi sebagai percikan kesadaran yang hadir dalam keberanian manusia untuk menolak kepalsuan dan memilih yang otentik. Iman bukan ditentukan oleh siapa yang berkata, tetapi oleh kedalaman relasi kita dengan yang transenden.
Jika iman kehilangan dimensi kedalaman spiritualnya dan hanya menjadi bagian dari konsumsi digital, maka ia kehilangan daya subversifnya terhadap dunia. Justru dalam era AI ini, mistik—yakni pengalaman transenden yang tak dapat dijelaskan—menjadi oasis tempat iman bisa tumbuh secara eksistensial.
Maka, iman hari ini bukan menolak teknologi, tetapi mendudukkannya secara proporsional. Iman bukan bertentangan dengan AI, tetapi menolak disamakan dengannya. Di tengah dunia yang makin bergantung pada presisi, akurasi, dan efisiensi, iman hadir sebagai ruang keberanian untuk memilih yang tidak efisien: kasih, pengampunan, pengorbanan, dan pencarian makna.
Iman di era AI bukanlah nostalgia akan masa lalu, melainkan keberanian untuk merumuskan masa depan. Sebab ketika algoritma semakin sempurna meniru kehidupan, justru di sanalah kita diuji: masihkah kita bisa percaya pada yang tak terlihat, mencintai yang tak pasti, dan berharap pada yang tak bisa diprediksi? Jika jawabannya ya, maka iman masih hidup—dan AI belum bisa menggantikan Tuhan.