Sedang Membaca
Kisah Karna dan Produksi Kesadaran Kritis
Purnawan Andra
Penulis Kolom

Pegawai negeri sipil pada Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Lulusan Seni Tari Institut Seni Indonesia Surakarta

Kisah Karna dan Produksi Kesadaran Kritis

Peringatan Hari Pendidikan masih saja menyisakan banyak persoalan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Mulai dari masalah klasik tentang kurikulum, guru honorer, beasiswa hingga keadil-merataan dan aksesibilitas terhadap sarana-prasarana edukasi.

Seperti halnya hari-hari ini kita disuguhi berita perundungan (bullying) yang dilakukan siswa terhadap siswa lainnya di sekolah. Anak-anak kita terancam oleh tindak kekerasan yang bahkan terjadi di institusi pendidikan (sekolah, madrasah ataupun pondok pesantren).

Perundungan (dari asal bahasa Inggris, bully – bullying) berarti menggertak atau mengganggu orang yang lemah. Secara konsep, bullying merujuk perilaku agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan berulang-ulang terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah, untuk menyakiti korban secara fisik maupun mental (Zakiyah, 2017).

Tindakannya bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik (menampar, memukul, menganiaya, menciderai), verbal (mengejek, mengolok-olok, memaki), juga mental atau psikis (memalak, mengancam, mengintimidasi, mengucilkan) atau gabungan antara ketiganya (Olweus, 1993).

Saya jadi teringat cerita pewayangan ketika Karna direndahkan dan diejek sebagai anak kusir oleh para pembesar kerajaan Astina, Resi Krepa dan Bhisma. Karna dianggap tidak pantas mengikuti dan diusir dari arena pertandingan antar murid padepokan Sokalima asuhan Mahaguru Durna, yang notabene adalah putra-putra kerajaan yaitu Pandawa dan Kurawa.

Baca juga:  Bedug: Dari Tambur Perang hingga Polemik Dua Ulama

Hal ini menjadi salah satu sebab kenapa kemudian Karna memilih berpihak kepada Kurawa dan pada akhirnya nanti, memilih untuk saling membunuh dengan Arjuna, adiknya. Epos kemanusiaan itu seakan membuktikan bahwa kisah perundungan rupanya sudah berlangsung sejak lama.

Masalah Global

Meski zaman telah berubah, namun tradisi kekerasan telah mengakar dan tidak bisa hilang karena perubahan zaman. Justru di era multimedia saat ini, masyarakat tumbuh dan berkembang dalam tensi tinggi. Hal ini diamplifikasi dengan ujaran-ujaran kebencian di berbagai platform digital.

Ahmad Arif (2023) menulis perundungan bukan problematika khas Indonesia tetapi masalah global yang bisa ditemukan di seluruh dunia. Studi multinasional yang dilaporkan di jurnal European Journal of Public Health (2005) mengungkapkan betapa umum perundungan dan seberapa konsisten pengaruhnya.

Perundungan yang terjadi di sekolah memiliki dampak sangat serius, baik dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek berupa perasaan tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan rendah diri, bahkan dapat menyebabkan stres yang mengakibatkan korban bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan perilaku dan emosional.

Di negara yang lebih bebas dalam penggunaan senjata api seperti di Amerika Serikat, banyak kasus penembakan di sekolah yang dilakukan remaja yang sebelumnya dirundung teman-temannya. Sementara itu, di Jepang dan Korea Selatan, perundungan di sekolah menjadi pemicu tingginya bunuh diri di kalangan anak-anak dan remaja.

Baca juga:  Digitalisasi Dakwah dan Belajar dari Ceramah Ustazah Oki

Pendidikan Humanisme

Refleksi tersebut mengingatkan kita bahwa fitrah sekolah sebagai sebuah institusi pendidikan adalah organisasi sosial pembelajaran yang memperlakukan individu sebagai pribadi dalam sistem yang dibangun sebagai dasar bertindak dalam praksis harian, sehingga kultur edukatif benar-benar hadir dan menjiwai seluruh proses pendidikan (Soedjatmoko, 2009). Pendidikan berfungsi mengembangkan empati dan toleransi, suatu hal penting yang sangat diperlukan dalam masyarakat dewasa ini.

Sekolah seharusnya menjadi ladang tumbuh dan iklim kesempatan untuk berkembang menjadi cerdas, berkepribadian, berkarakter dan humanis. Sebagai sebuah lembaga ilmiah, sekolah semestinya menjadi tempat bagi seluruh civitas academica untuk mematangkan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosialnya.

Karena konsep pendidikan yang sesungguhnya bukan sekadar masalah teknis didaktik-metodik, tapi juga tentang nilai, moral, budi pekerti, hal-hal yang bersifat humanisme. Pendidikan adalah wahana “produksi” kesadaran kritis: kesadaran sosial, kelas, gender dan lainnya.

Oleh karena itu pendidikan humanisme harus menjadi satu kesatuan dalam paradigma pendidikan. Pendidikan humanisme membangun pribadi yang sadar batas-batas personalnya demi kehidupan bersama yang mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, kebersamaan, tanggungjawab dan toleransi. Praktik toleransi menjadi cara yang efektif dalam menumbuhkembangkan kesadaran untuk menghargai orang lain.

Faktor budaya memegang peranan penting karena dalam kebudayaan terletak nilai-nilai edukatif yang dapat digali. Kita mengenal toleransi dalam konsep tentang tepa selira, welas-asih. Dan bila kita bisa menjadikannya sebagai budaya dari dunia pendidikan, maka siswa, guru dan seluruh elemennya tidak hanya menguasai aspek pengetahuan teknis-praktis dan rasionalitas teknokratik belaka tapi berakar pada basis logika kulturalnya. Hal ini akan membuatnya tidak mengalami kehampaan jiwa, ketidakpedulian terhadap keadilan dan merosotnya solidaritas sosial.

Baca juga:  Mazhabisme dan Wahabisme

Pendidikan semacam ini tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi lebih dari itu, menanamkan kebiasaan (habituation) tentang konsep “sebaiknya” sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang terbaik untuk kepentingan bersama. Dengannya, toleransi menjadi dasar nilai-nilai perilaku manusia, termasuk pembiasaan keseharian di sekolah, yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, dan sesama manusia,

Dengannya diharapkan kasus-kasus perundungan tidak akan terjadi lagi di dunia pendidikan. Institusi pendidikan bisa menjadi tempat yang aman untuk tumbuh dan berkembang sehingga anak-anak terlindungi dan Indonesia bisa maju dan berkualitas.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top