Merayakan Tahun Baru Imlek, mengingatkan kita bahwa etnis Tionghoa pernah menjadi kaum minoritas pada waktu Orde Baru. Selama berpuluh tahun, kebebasan religi dan budaya mereka dipasung, dikebiri dan dilarang untuk dipertontonkan kepada publik. Sesuai catatan sejarah, sering kali terjadi kekerasan kolektif berupa kerusuhan yang seringkali menempatkan masyarakat etnis Tiongkok sebagai korban utama. Seringkali sentimen anti Tiongkok tersebut dimanipulasi dalam bentuk tekanan politik, tindak kekerasan, atau diskriminasi yang dikemas dalam bentuk nasionalisme atau ekonomi non pribumi.
Dengan Inpres no 14/1967, rezim Orde Baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk Imlek. Selama beberapa puluh tahun, kebebasan religi dan budaya mereka dibatasi dan bahkan juga dilarang untuk dipertontonkan kepada publik.
Mereka baru mendapatkan kembali kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres No 14/1967 dan ditindaklanjuti oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mengeluarkan Keppres No 19/2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Maka mulai tahun 2003, Imlek secara resmi diakui keberadaannya di masyarakat Indonesia.
Disatu sisi, dalam realitas sosial orang-orang Tionghoa memang senantiasa mendapat stigma dan citra negatif. Padahal dalam realitas kultural, mereka ikut berperan dalam pembentukan dan pengembangan kebudayaan bangsa.
Berdasar sejarah, Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa dipimpin oleh Raden Patah, seorang raja keturunan Tionghoa (Denis Lombard, 2000). Di bidang pertanian, orang-orang Tionghoa mewariskan pengetahuan, teknologi pengolahan dan peralatan pertanian, serta cara pembuatan makanan. Mereka juga mewariskan teknologi kelautan dan pembuatan kapal serta alat dan senjata dari logam, mewariskan keahlian dan karya-karya dalam bidang seni kriya, terutama batik yang bahkan kemudian didaku sebagai seni Jawa (Rustopo, 2006). Mereka menjadi unik ketika beberapa diantaranya bahkan diberi gelar kehormatan, dijadikan penasihat raja, masuk dalam lingkungan keraton. Realitas sosial ini jelas bertolak belakang dengan realitas kultural.
Kho Ping Hoo
Contoh lain, dari Solo, kota yang pernah disebut Pigeaud sebagai tempat renaissance kebudayaan dan kesustraan (Jawa), muncul nama Asmaraman S(ukowati) Kho Ping Hoo, penulis yang mampu membangkitkan minat baca masyarakat melalui cerita silat (cersil) karyanya yang populer sampai kini. Selama 30 tahun berkarya (1960-1990), Kho Ping Hoo (KPH) menghasilkan lebih dari seratus judul karya seperti Bu-Kek Sian-Su, Pendekar Super Sakti, Pedang Kayu Harum, Pendekar Budiman dan lainnya. Pembacanya dari semua lapisan masyarakat, rakyat kecil, selebritas hingga intelektual dan pejabat tinggi serta bukan terbatas kalangan etnik Tionghoa, tetapi kebanyakan justru pribumi. Mulai dari bintang film Suzana, pengarang Ashadi Siregar sampai dengan BJ Habibie (mantan presiden RI), berterus terang mengagumi karya-karya KPH.
Menurut Ardus M. Sawega (ed.) (2012), meski bersetting Tiongkok daratan, cerita-cerita silat KPH terasa tidak asing bagi pembaca di Tanah Air, karena sesungguhnya ia bermain dalam alam pikir Indonesia, atau bahkan Jawa. Hal ini terasa pada falsafah atau ajaran kebaikan hidup melalui tokoh-tokohnya. KPH juga membumi dengan menghasilkan novel bertema sejarah Indonesia seperti Badai Laut Selatan dan Darah Mengalir di Borobudur (pernah dipentaskan berulangkali dalam bentuk sendratari Jawa dan disiarkan dalam bentuk sandiwara radio pada pertengahan 1970-an), selain roman percintaan, perjuangan bahkan cerita detektif. Bisa jadi dengan gaya narasi lokal itu, menginspirasi pengarang-pengarang pribumi untuk melahirkan kisah-kisah kepahlawanan legendaris seperti Nagasasra Sabukinten, Bende Mataram, Senopati Pamungkas dan lainnya.
Praktik Kebudayaan
Kebudayaan memang tidak hanya menjadi karya seni, estetika dan nilai-nilai moral/kreatif. Ia tidak hanya menunjuk pada nilai-nilai universal yang intrinsik dan abadi, tetapi dalam konteksnya bisa dipahami sebagai sebuah praktek logika yang menunjuk pada seluruh peta relasi sosial. Pemikiran ini diperlukan dalam semangat rekonstruktif-kualitatif konsep-konsep umum yang berlaku sebelumnya, untuk mengkritisi tendensi yang berusaha mempertahankan aturan-aturan yang mereproduksi kelas dan ketidaksamaan lainnya, termasuk antara pribumi dan non pribumi, seperti yang kerap terjadi di negara ini.
Dalam konteks KPH, karyanya dianggap populer, barang hiburan dan tidak pantas sebagai objek kajian sastra. Pandangan ini, menurut Ajidarma (2012), memaksa kita memasuki isu ‘seni tinggi’ dan ‘seni populer’, tempat yang satu seperti merendahkan yang lain. Kebudayaan menjadi situs perjuangan ideologi, tempat kelompok terbawahkan berjuang melawan pembebanan makna dalam wacana yang merupakan representasi kepentingan kelompok dominan. Kondisi ini membuat kebudayaan selalu hadir ideologis, dan juga politis—dalam arti bahwa selalu melibatkan terdapatnya suatu kepentingan, termasuk proses hegemoni.
Artinya, KPH termasuk dalam konteks pengingkaran dalam suatu konstruksi nilai sosial yang hanya akan mendukung kelompok dominan secara intelektual dan moral sebagai lebih “berbudaya” dibanding kelompok yang lain. Proyek identitas itu seolah merupakan kondisi alamiah (bahwa sudah kodrat KPH berada di luar “susastra”) yang ironisnya juga didukung oleh institusi pendidikan dan kesenian, media massa, dan intelektual organik (kritikus sastra).
Semestinya, hasil karya keturunan etnis Tionghoa yang berkualitas bisa dipahami juga sebagai salah satu contoh refleksi persoalan kontekstual dalam kehidupan sosial budaya kita. Bagaimanapun juga, ia adalah suatu ekspresi potensial dari suatu kelompok masyarakat yang telah mencapai kualitas intelektualitas etis dan estetis. Ia juga menyediakan refleksi simbolik aspek sejarah, filsafat, politik, estetika hingga religiusitas. Simbolisme didalamnya menyediakan kiblat dan menguraikan hakikat peradaban berupa struktur logika kearifan hidup yang kontekstual terhadap perubahan dan keragaman. Ia tak hanya romantisme imaji dan narasi, namun basis logika yang membuka ruang pemaknaan.
Ekspresi budaya, termasuk karya seni (sastra), memang bisa menjadi sarana artikulasi ide dan pemikiran. Ia bisa hadir pada peta sejarah yang lebih luas. Pun berperan positif untuk menciptakan paradigma zaman ketika mampu merepresentasikan kondisi aktual dan faktual masyarakat. Potensinya menjadikannya senjata ampuh yang mampu menarik khalayak lebih luas untuk terlibat, termasuk dalam membentuk identitas. Ia bisa menjadi sebuah dokumen budaya yang berguna untuk lebih memahami Indonesia, menjadi media yang relevan mengidentifikasi berbagai problem nasion, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Pemahaman ini berpotensi menjadi semacam “mekanisme referensial” terhadap proses belajar memahami dan keterbukaan sekaligus introspeksi kemanusiaan. Kemampuan semacam itulah yang nantinya akan mampu membangun sebuah masyarakat multikultural yang berbudaya dan beradab di seluruh Indonesia.