Sedang Membaca
Polemik Ulama dan Khalifah (4): Imam Malik bin Anas dan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur
Nur Hasan
Penulis Kolom

Mahasiswa Islamic Studies International University of Africa, Republic Sudan, 2017. Sekarang tinggal di Pati, Jawa Tengah.

Polemik Ulama dan Khalifah (4): Imam Malik bin Anas dan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur

Whatsapp Image 2021 02 09 At 21.30.26 (1)

Suatu ketika Imam Malik ditanya tentang para pemberontak, “Bolehkah mereka dibunuh?

Imam Malik menjawab, “Boleh. Jika mereka memberontak orang seperti Umar bin Abdul Aziz.

Mereka kembali bertanya, “Jika tidak sepertinya?

Biarkan mereka membalas dendam kepada orang dzalim untuk orang dzalim, kemudian Allah akan membalas dendam mereka berdua.

Sebagaimana dijelaskan Abdul Aziz al-Badri dalam karyanya Al-Islam baina al-Ulama wa al-Hukkam, bahwa Imam Malik bercerita sebuah hadis dimana beliau diceritai oleh fulan bin fulan, bahwa penghuni kuburan ini telah berkata, sedangkan manusia mendengar, seakan-akan di atas mereka ada burung. Mereka antara diam tidak bergerak, untuk menjaga hati dan akalnya, dan antara menulis di atas kertas yang dikatakan oleh imam tentang sabda Rasulullah Saw, “Tidak ada talak bagi orang yang terpaksa.

Ketika beliau berbicara tentang hadis tersebut, tiba-tiba banyak orang mendiskusikan masalah itu hingga masalah itu menyebar di tengah-tengah masyarakat yang ada di Madinah. Mereka yang mendengar tentang hadis tersebut pun melakukan takwil pada hadis tersebut dengan cara yang sulit dan pelik. Setiap kelompok menemukan pemikirannya sendiri, dan mereka memegangnya kuat-kuat karena di dalamnya ada hukum syari’at yang dijadikan sandaran untuk melakukan suatu pekerjaan.

Baca juga:  Bangsa yang Lahir dari Cahaya

Hingga akhirnya orang-orang yang menentang Abu Ja’far Al-Manshur menemukan sandaran dalam hadis tersebut, yaitu sandaran kuat untuk menarik dukungannya terhadap pembaitan Al-Manshur. Karena hadis itu seperti yang mereka yakini berbicara tentang masalah keterpaksaan, karena mengkiaskan baiat dengan talak, sehingga mereka berkata, “Tidak ada baiat bagi orang-orang yang terpaksa.” Sedangkan pendukung Muhammad bin Abdillah bin Hasan menemukan dasar untuk melegitimasi pemberontakannya terhadap pemimpin yang memerintah waktu itu.

Adapun orang-orang di pemerintahan Al-Manshur dan para Gubernurnya berpendapat bahwa menyebarkan hadis tersebut sangat berbahaya bagi mereka, dan bagi keberadaan mereka. Maka dari itu, mereka berusaha melarang Imam Malik berbicara tentang hal tersebut. Al-Manhsur kemudian melarangnya untuk meriwayatkan hadis tersebut, dan orang yang bertanya tentang hadis itu dipanggil, dipampah di hadapan orang banyak dan dipukul.  

Akan tetapi Imam Malik tidak mau melakukannya. Mereka kemudian mengancam Imam Malik, namun tidak dipedulikan karena Imam Malik percaya bahwa Allah Swt mewajibkan kepada para ulama untuk mejelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan tidak menutup-nutupinya.

Akhirnya Imam Malik pun dipanggil, dan diajak musyawarah serta klarifikasi. Sebelum dia berbicara, ternyata orang-orang kerajaan mencaci, menghina dan menghujatnya dengan segala macam hujatan.

Dan ketika Ja’far bin Sulaiman menjadi Gubernur Madinah, orang-orang yang bersama Imam Malik mendatangi Ja’far sambil berkata, “Tidak beriman orang yang membaiatmu.” Dan di masa Ja’far inilah, perselisihan yang terjadi di antara penduduk Madinah semakin besar. Dan mereka yang hasud dengan Imam Malik melaporkan bahwa beliau berfatwa agar tidak bersumpah karena terpaksa.

Baca juga:  Tempat Bersejarah di Tanah Suci dan Arab Saudi (3): Maqôm Ibrahim

Setelah mendapat berbagai info miring, Ja’far bin Sulaiman juga sempat ingin membunuh Imam Malik, tetapi ada yang berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru, karena dia hadapan khalifah sangat mulia dan dipercaya.

Ja’far bin Sulaiman kemudian memfitnah Imam Malik, dengan mencacat kemuliaan dan kepercayaannya di hadapan khalifah. Setelah itu, tiba-tiba datang utusan Al-Manshur yang tidak menghormatinya lagi dan mencambuknya sebanyak tujuh puluh kali, yang menjadikannya terkulai setelah dihukum.

Dan ternyata sosok yang membuat Imam Malik seperti itu adalah sepupu khalifah, dan Al-Manshur juga tahu akan hal itu. Hukuman itu sendiri diketahui, dan disetujui oleh Al-Manshur, karena dia pasti tahu segala sesuatu yang terjadi di wilayah kekuasaannya, khususnya para pembesarnya. Dan ketika Imam Malik sembuh dari lukanya, dia diminta mau bertemu dengan Ja’far di Mina pada musim haji.

dan ketika Ja’far bin Sulaiman bertemu dengan Imam Malik, dia berkata, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain dia, saya tidak akan melakukan hal bodoh seperti dulu lagi dan tidak akan menyuruh apa yang saya tidak ketahui. Penduduk Haramain tetap dalam keadaan baik selama kamu berada bersama mereka. Sesungguhnya saya adalah saudaramu, dan pengaman mereka dari kesusahan. Allah telah mengangkat bencana besar yang akan menimpa mereka karenamu. Mereka adalah orang yang paling cepat terfitnah. Saya telah memerintahkan kepada Ja’far bin Sulaiman agar datang dari Madinah ke Irak dengan naik unta. Saya juga telah memerintahkan agar perjalannya di persempit, dan tuduhannya juga diperberat dan saya pasti akan menjatuhkan hukuman kepadanya beberapa kali lebih berat dari hukumanmu.

Baca juga:  Sisi Manusiawi Rasulullah Saw (2): Laknat Kanjeng Nabi yang Membawa Rahmat

Mendengar ucapan penyesalan dari Ja’far, Imam Malik lalu berkata, “Semoga Allah memaafkan Amirul Mukminin, dan menghormati kedudukanya. Saya telah memaafkannya karena kedekatan mereka kepada Rasulullah dan kedekatannya denganmu.

Polemik Imam Malik dengan Ja’far bin Sulaiman, tepatnya ketika Ja’far bin Sulaiman menjadi gubernur tidak lain adalah adanya pihak ketiga yang tidak suka dengan Imam Malik. Yang kemudian membuat Ja’far salah paham karena tidak tahu kebenarannya. Oleh karena itulah, seorang pemimpin tidak seharusnya gegabah dalam menerima informasi yang bisa berpotensi menghadirkan sebuah konflik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top