Sedang Membaca
Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (5): Qurratul ‘Ain
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Syekh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (5): Qurratul ‘Ain

Img 20200522 Wa0002

Tarekat Syekh Yusuf dapat dikenali melalui namanya, Khalwatiyah. Namun, bagaimana dengan mazhab fikihnya? Atau dengan pertanyaan mengenai dia Sunni atau Sufi?

Jawaban atas pertanyaan di atas dapat dilihat dalam karya ini saat beliau menyebut nama beliau dengan as-Syafi’i dan al-Asy’ari, pengikut mazhab fikih Imam Syai’i dan mazhab teologi Sunni Asy’ariyah.

Ia terletak di halaman 53 v. hingga 74 v. dari manuskrip Or. 7025. Judul nama Syekh Yusuf terdapat pada pembukaan kitab. Kitab berjudul Qurratul ‘Ain (Penyejuk Mata) mengingatkan kita pada doa yang terdapat pada surah al-Furqan ayat 74:

“Wahai Tuhan kami karuniakan kepada kami istri dan keturunan yang menjadi penyejuk mata kami.” Artinya, Jadikanlah mereka orang-orang yang saleh lagi taat sehingga itu menggemberikan kami. Sungguh sedih apabila seorang melihat keluarga dekatnya menjadi pelaku kejahatan dan kemaksiatan.

Karya ini ditulis sebagai jawaban atas permintaan sebagian sahabat beliau. Mereka bertanya mengenai suatu yang masih samar. Permintaan seperti ini sering terjadi pada banyak kitab ulama di Nusantara. Dan para ulama yang dimintai demikian, seringkali tidak dapat menolak karena mereka yang meminta butuh penjelasan, butuh penerang jalan agar tidak keliru arah.

Demikian pula Syekh Yusuf, merasa wajib memenuhi permohonan sahabat beliau. Meskipun demikian dengan kerendahhatian yang luar biasa beliau merasa bukan ahli untuk menjelaskan masalah ini, juga bukan ahli mengarang kitab. Namun kitab ini lahir karena pertolongan Allah Swt.

Tampaknya pertanyaan itu begitu penting dan sukar. Syekh Yusuf hingga menjelaskan bahwa sebelum mengambil keputusan untuk mengarang kitab yang disebutnya sangat ringkas, beliau shalat istikharah, memohon petunjuk agar diberikan pilihan terbaik, berkali-kali. Dalam banyak hal salat istikharah untuk menulis kitab diberikan dalam kondisi yang memang genting. Kita bisa menyebutkan bagaimana Kiai Sholeh Darat dari Semarang juga melakukan shalat istikharah berkali-kali untuk mengambil keputusan apakah tafsir beliau akan dicetak dan disebarkan terlebih dahulu atau menunggu hingga karya ini selesai.

Baca juga:  Abdullah al-Misri, Sang Cendekiawan

Pada umumnya para ulama tidak menyebarkan karya kecuali telah selesai. Tafsir tidak dicetak dan disebarkan sebelum khatam 30 juz. Namun istikharah Kiai Sholeh berkata lain. Beliau diberi isyarah bahwa lebih baik untuk segera menyebarkan karya tersebut.

Syekh Yusuf akhirnya menyusun karya ini setelah istikharah yang berkali-kali itu. Dalam permualaan kitab, Syekh Yusuf menekankan keterkaitan zikir lisan berupa kalimat thayyibah dengan zikir akan alam kauniyah, berupa permenungan. Zikir semacam ini memperluas horison kita. Bahwa zikir tidak hanya mengucap dengan lisan, yang memang sangat penting itu. Namun zikir juga mencakup segala tindakan yang bisa mengantarkan pada kesadaran akan kehadiran al-Haq. Oleh sebab itu, kata Syekh Ibnu Athaillah, bahwa hakim adalah zakir (orang yang berzikir), ahli fiqih adala zakir, bahkan penyair adalah zakir.

Syekh Yusuf kemudian mengingatkan akan pentingnya kesempurnaan dalam amal dan permenungan atau keyakinan. Dalam bahasa lain, pentingnya keseimbangan antara syariat dan hakikat. Bila engkau ingin, keseimbangan antara lahir dan batin agama Islam. Syekh Yusuf mengutip ucapan para arif:

من تفقه ولم يتصوف فقد تفسق ومن تصوف ولم يتفقه فقد تزندق ومن تفقه وتصوف فقد تحقق

Siapa yang memahami ilmu syariah (fikih) namun tidak memahami ilmu hakikat (tasawuf) maka dia fasik; siapa yang memahami ilmu hakikat namun tidak memahami ilmu syariah maka dia zindik; namun siapa yang memahami ilmu syariah dan ilmu hakikat maka dia telah menjadi sempurna dalam keyakinannya.

Hal ini menjadi demikian penting pada sufi yang sering dinilai sebagai “spekulatif”. Dalam bahasa lebih kasar, tidak berdasarkan ajaran Al-Qur’an atau sendi-sendi syariah lainnya. Namun Syekh Yusuf menolak hal ini. Dengan mengutip Sulthanul Awliya’ Junaidi al-Baghdadi, Syaikh Yusuf menetapkan, “Jalan Tasawuf kami diikatkan pada al-Kitab (Al-Qur’an) dan Tradisi Nabi saw.”

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (9): Hujjah Ahlussunnah Wal jamaah

Agama Islam datang untuk mendidik manusia. Manusia terdiri dari ruh dan jasad. Tidak disebut manusia jika hanya terdiri dari satu. Kesempurnaan pendidikan Islam ditujukan kepada dua hal ini. Syariah (lebih spesifik fikih) mendidik lebih banyak tentang aspek “jasad” manusia, sedangkan hakikat mendidik utamanya aspek rohani manusia. Syariah adalah aspek lahir bagi hakikat. Sedangkan hakikat adalah aspek batin bagi syariah. Oleh sebab itu, Insan Kamil adalah yang mampu menyempurnakan kedua aspek dalam dirinya.

Keseimbangan, yang maknanya dekat sekali dengan keadilan, menjadi kata kunci dalam kehidupan yang membahagiakan. Usaha untuk meraih keseimbangan harus dilakukan pada seluruh sendi kehidupan, termasuk kehidupan rohani seseorang. Syekh Yusuf memberikan satu contoh yaitu pada sikap takut dan harap kepada Tuhan. Apakah seseorang harus takut atau penuh harap pada Tuhan?

Jawabannya adalah keduanya sekaligus dalam kesembangan. Sifat takut absolut bertentangan dengan ayat “janganlah engkau berputus-asa pada rahmat Tuhan”. Sifat harap absolut juga bertentangan dengan ayat “tidak ada yang merasa aman dari makar (siksa) Allah kecuali kaum yang rugi”. Jadi seorang hendaknya takut secara lahir dengan melaksanakan seluruh ibadah, dan penuh harap ampunan dalam batin. Seorang hendaknya takut dalam maqam harap, dan berharap dalam maqam takut.

Keseimbangan ini akan melahirkan seorang yang bersyukur atas segala ketaatan yang Tuhan berikan, dan menjadi seorang yang penuh dosa bisa memiliki cahaya lilin harapan akan ampunan Tuhan. Dalam konteks hubungan antar manusia, keseimbangan ini melahirkan kiai-kiai yang memberikan kabar gembira akan ampunan pada umat, dan melihat penuh harap akan kebaikan seorang pendosa pun, tidak memandang para pendosa secara rendah. Dan masyarakat menangkap pesan ini dengan penuh harapan akan kasih dan sayang Tuhan, apalagi mereka yang diberi julukan buruk sebagai masyarakat.

Baca juga:  Sabilus Salikin (65): Wadzifah al-'Ammah Tarekat Sa'diyyah

Keseimbangan ini juga harus muncul dalam hubungan agamawan (ulama) dan pemangsa tampuk kepemimpinan (umara). Para pemimpin bertugas menciptakan kondisi masyarakat yang stabil sehingga ulama dapat menjalankan tugas mereka, yaitu mengembang ajaran agama di masyarakat.

Pada sisi lain, ulama juga harus mendidik masyarakat yang saleh, sehingga bisa menjadi anggota masyarakat yang ikut andil menjaga stabilitas. Syekh Yusuf mengutip “Pedang adalah kawan dari Al-Qur’an”. Maksudnya adalah kekuasaan politik (umara) dapat menunjang tersebarnya ajaran Al-Qur’an yang disampaikan oleh ulama.

Keseimbangan selanjutnya terkait dengan keyakinan muslim pada sifat-sifat Allah. “Penyucian” (at-tanzih) dan “Penyamaan” (at-tasybih) harus berjalan bersama-sama dalam koridor keimanan kita akan sifat-sifat Allah. Allah tidak serupa dengan makhluknya namun bukan berarti tidak bisa diberikan sifat yang sacara lahiriah sama dengan makhluk. Penyucian jangan sampai menjadikan seseorang mu’atillah, yaitu mereka yang mengingkari sifat-sifat Tuhan terutama yang dibahasakan seperti sifat-sifat manusia seperti melihat, mendengar, “tangan Allah berada di atas tangan mereka”, “bukan engkau Muhammad yang melempar ketika engkau melempar, tapi adalah Allah yang melempar”, dan lain sebagainya.

Namun penggunaan sifat-sifat yang sama digunakan oleh manusia untuk Allah bukan berarti Allah mutlak sama dengan makhluknya. Hal ini akan menggelincirkan seseorang menjadi mujassimah, yaitu meyakini secara harfiah sifat-sifat Allah sehingga Allah menjadi makhluk. Na’uzubillah. Keseimbangan tanzih dan tasybih inilah yang menjadi kunci keimanan yang benar mengenai sifat-sifat Allah tersebut.

Semua keseimbangan ini akan mengantarkan kita pada cara mengikuti Rasulullah saw (ittiba’) yang benar. Ittiba’ yang imbang antara sisi lahiriah dan sisi batiniah Rasulullah saw. Bukan seperti ittiba’ yang digemborkan sebagian kelompok di negeri kita sekarang yang hanya menekankan sisi lahiriah semata. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top