Kiai Muhammad Salih bin ‘Umar as-Samarani, atau dikenal dengan Kiai Soleh Darat, pergi haji bersama ayahnya pada sekira 1835 (Munir 2008, 44). Pada masanya, kapal-kapal yang hendak ke Makkah harus singgah lebih dahulu ke Singapura.
Persinggahan ini sangat logis dikarenakan pemerintahan jajahan Inggris Raya memberikan aturan yang lebih longgar bagi mereka yang hendak haji daripada pemerintahan jajahan Belanda yang mengeluarkan “Resolusi 1825” untuk membatasi orang-orang di bawah kekuasaannya untuk pergi haji (baca Politik Haji: Imaji dan praktik kolonial di Nusantara). Sejarah hidupnya membuktikan bahwa perjalanan haji ini memberikan berkah baginya di kemudian hari.
Di persinggahan yang cukup singkat itu, Kiai Soleh berhasil menjalin persahabatan dengan orang-orang Jawa di Singapura yang memiliki percetakan-percetakan besar. Ian Proudfoot (1993, 25) mencatat bahwa Singapura masa itu sedang menjadi pusat percetakan bagi masyarakat Muslim Nusantara. Proudfoot juga mencatat (1987, 1-11) bahwa empat penerbit paling aktif di Singapura di masa itu berasal dari pesisir Jawa, yaitu Haji Muhammad Siraj Rembang, Haji Muhammad Zain Pati, dan Haji Muhammad Arsyad Semarang.
Hal ini menjadikan tidak mengherankan bahwa kitab-kitab Kiai Soleh yang ditulis setelah kembali ke Semarang sekira 1870 dicetak di percetakan-percetakan Singapura (Umam 2011, 165). Ambil sebagai contoh kitab Majmuàtus Syariatil Kafiyat lil ‘Awwam yang dicetak secara beruntun di Singapura di percetakan Haji Muhammad Siraj (1892), lalu ke percetakan Haji Muhammad Sidik (1894). Pada akhir abad ke-19 menuju ke awal abad ke-20, percetakan Muslim di Singapura mundur sehingga akhirnya percetakan kitab Majmuat dipindah ke dua percetakan di Bombay, India, yaitu percetakan Muhammadi (1899) lalu ke percetakan Karimi (1906).
Selama sekira 35 tahun berada di Makkah, Kiai Soleh dikabarkan tidak menulis kitab satu pun. Beliau hanya memfokuskan diri mengkaji bersama para ulama di sana, seperti Syeikh Ahmad bin Zayni Dahlan (w. 1886) yang darinya beliau mendapat ijazah kitab Ihyaʼ ʻUlumiddin Imam al-Ghazali, dan Syaikh Muhammad al-Muqri al-Misri al-Makki yang mengajarinya kitab fikih Umm al-Barahin. Namun, setelah kembali ke Nusantara, Kiai Soleh mulai menulis karya-karya yang ditujukan bagi masyarakat awam.
Hal ini dikarenakan Kiai Soleh melihat bahwa masyarakat Muslim Jawa kala itu belum mengetahui bagaimana menjalankan ibadah Islam dengan benar. Hal ini diperparah lagi karena mereka tidak mengerti bahasa Arab. Oleh sebab itu, sebagian besar kitab-kitab Kiai Soleh adalah panduan “manual” menjalankan ibadah ritual yang ditulis dalam bahasa Jawa “rendah” (ngoko) yang merupakan bahasa sehari-hari masyarakat awam. Menurut beliau bahwa ilmu yang bermanfaat itu tidak harus ditulis dalam bahasa Arab dan masyarakat Jawa pada umumnya lebih butuh tuntunan ibadah ritual yang wajib daripada pelajaran bahasa Arab (Soleh As-Samarani 1900, 2).
Salah satu kitab yang ditulis untuk memenuhi kebutuhan awam akan tuntunan ibadah ritual adalah kitab Manasik al-Ḥajj wa al-‘Umrah. Kitab ini merupakan ringkasan bab haji pada kitab Majmu’atus Syari’at. Catatan Proudfoot (1993, 36) menyebutkan bahwa kitab ini telah dicetak di Singapura melalui percetakan Haji Muhammad Amin sebanyak dua edisi. Namun sayang, Proudfoot tidak melengkapi catatannya dengan tahun penerbitan dan jumlahnya. Catatan lebih lengkap mengenai kitab ini ia berikan ketika kitab tersebut dicetak di percetakan al-Karimi, Bombay, India (Proudfoot 1994, 13).
Di Bombay, kitab ini dicetak pada 1907, sebanyak 5.000 eksemplar, dan dijual dengan harga $ 0,05. Saiful Umam (2011, 147) meyakini bahwa kitab ini pasti telah sukses dalam percetakan sebelumnya sehingga mengundang permintaan pasar yang besar. Oleh sebab itu, ia dicetak ulang dengan jumlah yang cukup fantastis untuk ukuran percetakan dengan sistem litografi (cetak batu).
Sebagaimana sebuah panduan manual, kitab ini berisi tuntunan praktis bagaimana menjalankan ibadah haji. Ia dimulai dengan makna penting dari haji dan umrah bagi seorang Muslim (hlm. 1). Kemudian Kiai Soleh menerangkan tentang keutamaan Baitullah dengan cukup panjang (hlm. 2-22) sebelum akhirnya diikuti rukun-rukun haji (hlm. 23-39). Kiai Soleh juga menjabarkan sepuluh perkara yang harus diperhatikan dalam haji (hlm. 40-41). Selain menekankan pada amal lahiriah, Kiai Soleh juga memasukkan satu bab penting berkaitan dengan amal batiniah ketika haji (hlm. 42-49). Penutup bab dari kitab ini adalah mengenai adab berziarah ke makam Nabi Muhammad Saw.
Rujukan utamanya adalah bab asrārul ḥajj dalam kitab Iḥyāʼ ʻUlūmiddīn Imam al-Ghazali (hlm. 2). Bahkan bisa dibilang, kecuali bab adab ziarah makam, kitab ini adalah saduran dan terjemahan yang mengikuti susunan literal dari bab asrārul ḥajj dengan tambahan keterangan dan contoh faktual dari pengalaman Kiai Soleh sendiri. Keterangan ini memberikan gambaran penting tentang bagaimana praktik haji di masa beliau.
Misalnya, ketika menjelaskan hal kedua dari sepuluh perkara yang harus diperhatikan sebelum seseorang haji, yaitu seseorang dalam perjalanan haji hendaknya tidak membantu terselenggaranya kezaliman. Dalam kitab asalnya, Imam al-Ghazali menerangkan bahwa hal ini mungkin terjadi kepada orang yang haji apabila dia memberikan “uang jalan” kepada sebagian orang-orang badui atau tokoh-tokoh Makkah yang menghadang di jalan-jalan menuju Makkah (Muhammad al-Ghazali, t.th., I:263).
Sedangkan Kiai Soleh Darat menjelaskan bahwa “membantu terselenggaranya kezaliman” di sini terjadi bila seseorang memberikan bea-bea kepada penguasa yang zalim, yaitu pihak Kolonial Belanda, baik selama di Tanah Air maupun pada masa karantina (hlm. 41). Hal ini bisa dimaknai bahwa Kiai Soleh tidak mengakui aturan “Resolusi 1825” dan aturan-aturan ketat lainnya yang menerapkan biaya dan denda tertentu bagi mereka yang hendak haji. Bagi Kiai Soleh, mereka yang membayar bea-bea itu telah melakukan kemaksiatan dan membantu pihak Belanda menghalang-halangi kaum Muslim untuk pergi haji.
Bagian paling menarik dari kitab ini adalah bab adab ziarah kepada Nabi saw. Menurut Kiai Soleh adalah wajib bagi mereka yang haji dan umrah untuk menziarahi makam Nabi saw di Madinah (hlm. 51). Argumen beliau adalah syarat dari sempurnanya iman adalah cinta terhadap Rasul saw sedangkan salah satu bukti dari cinta adalah dengan mengunjungi yang dicintai. Lebih lanjut, Kiai Soleh menerangkan secara rinci bagaimana tata krama ziarah dilakukan bahkan sejak seorang menuju ke Makkah. Beliau menulis (hlm. 51-52):
“Sebaiknya bagi orang yang ziarah Rasul saw untuk memperbanyak membaca selawat selama perjalanannya menuju Madinah. … Ketika seseorang telah dekat ke kota Madinah, sudah terlihat pepohonan kota tersebut, maka hendaknya dia turun dari kendaraannya. Lalu bergantilah dengan pakaian yang bagus. Serta gunakanlah parfum. Lalu jalanlah dengan telanjang kaki tanpa menggunakan alas kaki karena menunjukkan adab kepada Nabi Muhammad saw.”
Adab yang begitu luhur ini mungkin dinilai banyak orang tidak lagi praktis dilakukan di masa kini. Namun bagi mereka yang menjaga ideal adab yang harusnya diperoleh Nabi saw, sikap ini akan diusahakan semampu mereka.
Ketika sampai di makam Nabi saw, Kiai Soleh menjelaskan bahwa satu hal yang paling penting dilakukan oleh seorang Muslim adalah bertawasul kepada Nabi saw. Peziarah hendaknya memohon ampunan kepada Nabi saw karena belum mampu mengikuti tuntunan beliau. Lalu peziarah juga memohon beliau untuk memohonkan ampunan kepada Allah swt (hlm. 52). Bagi banyak orang, mungkin praktik ini dianggap syirik padahal ia adalah praktik yang diperintahkan Allah swt yang menunjukkan kemuliaan Nabi saw. Kiai Soleh melandaskan pentingnya hal ini dilakukan sesuai dengan surah an-Nisa’ ayat 64.
Kitab tuntunan haji yang menekankan bukan hanya kegiatan formalnya, namun juga “ibadah hati” ketika haji yang bisa jadi lebih penting, sudah jarang muncul akhir-akhir ini, bahkan kitab “Tuntunan Haji” dari Kementerian Agama RI tak lepas dari kekurangan ini. Oleh sebab itu, tiada salahnya jika kitab karya Kiai Soleh ini dibaca kembali bagi mereka yang ingin menyempurnakan haji lahir dan batin, bukan?
Judul : Manāsik al-Ḥajj wa al-‘Umrah
Penulis : Muḥammad Ṣāliḥ bin ‘Umar as-Samārānī
Penerbit : Maṭba‘at al-Karīmī
Tempat : Bombay, India
Tahun : 1907
Tebal : 64 halaman