Sedang Membaca
Ngaji Kitab Idhahul Mubham: Pengantar Praktis Logika Islam
Avatar
Penulis Kolom

Santri Putri di PP TPI Al-Hidayah, Al-Ishlah, Al-Amanah Plumbon Limpung Batang.

Ngaji Kitab Idhahul Mubham: Pengantar Praktis Logika Islam

Idah al-Mubham

Salah satu kitab manṭiq (logika) yang sering digunakan sebagai bahan ajar di berbagai pesantren di Indonesia ialah kitab Īḍāḥ al-Mubham karya Syaikh Aḥmad al-Damanhūrī (1101-1192 H.), dosen di Universitas al-Azhar Kairo pada masanya. Kitab ini tak lain merupakan syarḥ (penjelas) dari kitab Sulam al-Munauraq yang berbentuk nazam yang ditulis oleh salah satu kubbār al-ṣūfiyyah yang saat itu masih berusia berusia 21 tahun, Syaikh ‘Abd al-Raḥmān al-Akhḍarī.

Kendati materinya yang cenderung berisikan penalaran-penalaran atas suatu hal, dan prasyarat-prasyarat intelektual yang diformulasikan oleh pengarangnya sendiri, serta pertimbangan-pertimbangan lainnya, lantas pada umumnya Īḍāḥ al-Mubham dikaji oleh para santri yang terhitung telah dewasa secara akademik di pesantren, atau dengan kata lain telah dinyatakan lulus dari pembelajaran-pembelajaran tingkat sebelumnya berdasarkan kurikulum yang ditetapkan. Di Pondok Pesantren TPI Al-Hidayah Plumbon, Limpung, Batang, sendiri, Īḍāḥ al-Mubham dikaji di kelas tiga tingkat ‘Ulya, diampu oleh Gus H. Za’imuddin Ahya’, M.Ag.

Berdasarkan susunannya, kitab ini terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan bab dan sub bab yang menjadi pembahasannya. Adapun setiap bagiannya itu, setidaknya mencakup definisi, klasifikasi pembahasan, hingga contoh-contohnya. Termasuk juga ke dalamnya pembahasan-pembahasan yang barang kali menjadi persoalan tersendiri di kalangan ulama pada umumnya. Di bagian pengantar (mukadimah) misalnya, Syaikh al-Damanhūrī turut membahas persoalan perdebatan cara memuji Allah yang selama ini ditemukan perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hal tersebut.

Dalam hal ini, Syaikh al-Akhḍarī nampak menggunakan redaksi (الحمد لله) “al-ḥamd lillāh”, kemudian oleh Syaikh al-Damanhūrī dijelaskan, bahwa susunan al-jumlah al-ismiyyah tersebut menyiratkan makna tetap (al-ṡabāt) dan abadi atau selamanya (al-dawām). Maka, menurut Syaikh al-Damanhūrī, selayaknya digunakan redaksi pujian yang nisbatnya relevan dengan Żāt Allah swt. yang Maha Abadi. Sedang tidak digunakannya susunan al-jumlah al-fi’liyyah oleh Syaikh al-Akhḍarī—begitu pula ulama yang lainnya, lebih lanjut menurut Syaikh al-Damanhūrī, demikian karena redaksi pujian dinisbatkan kepada seorang hamba yang memuji-Nya, sebagaimana lazim bagi manusia yang bersifat temporal atau terbatas dengan ruang dan waktu.

Barang kali kepadatan sajian yang terdapat dalam Īdāḥ al-Mubham itulah yang menjadi salah satu faktor dipilihnya kitab tersebut sebagai bahan daras dalam disiplin ilmu manṭiq di berbagai pesantren di Indonesia. Hal ini mengingat bahwa kitab ini terbilang ringkas, hanya sekitar 20-30 an halaman, dibanding dengan kitab-kitab dengan disiplin serupa yang lainnya, seperti Syarḥ Isāgūjī, Hasyiah al-Ḥafnā ‘alā Isāgūjī, Mi’yār al-‘Ilm, dan lain sebagainya.

Baca juga:  Kifayatul Mubtadi’in: Kitab Sunda Ditulis di Makkah, Diterbitkan di Kairo (1924)

Ilmu manṭiq, demikian yang menjadi pembahasan pokok dalam dua kitab ini, didefinisikan oleh oleh Syaikh al-Akhḍarī dan dijelaskan lebih lanjut oleh Syaikh al-Damanhūrī, dengan “aturan-aturan (qānūn) atau kaidah-kaidah (qawā’id) yang dapat menjaga akal dari kesesatan berfikir—atau dalam istilah filsafat disebut dengan falacy (gayy al-khaṭā)—dan mampu menyingkap pengetahuan-pengetahuan yang secara intrinsik terdapat di dalamnya”. Dengan mempelajari ilmu manṭiq, seseorang dapat berpikir dengan logis (coheren), dan dengannya pula akan dapat dikuasai ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat spekulatif atau yang membutuhkan penalaran.

Kemudian, setelah dibahas perihal definisi (ta’rīf), relevansi, hingga signifikansi ilmu manṭiq, dibahas juga perihal klasifikasi hukum mempelajari ilmu tersebut beserta kriteria-kriterianya di kalangan para ulama Islam. Yakni, sebagaimana telah lazim diketahui, setidaknya terdapat tiga pendapat perihal hukum mempelajari ilmu manṭiq. Pendapat pertama ialah dilarang (al-man’u) mempelajarinya, dikemukakan oleh Syaikh al-Nawawī dan Syaikh Ibn Ṣalāḥ.

Pendapat kedua ialah diperbolehkan (al-jawāz) mempelajarinya, dikemukakan oleh mayoritas ulama, di antaranya Imam al-Gazālī. Bahkan Imam al-Gazālī dalam hal ini menandaskan bahwa seseorang yang tidak menguasai ilmu manṭiq maka ilmunya tidak dipercaya, lantaran tiadanya piranti-piranti berpikir yang dapat menjaga dasar-dasar dari suatu ilmu tersebut. Sedang pendapat yang ketiga ialah pendapat yang masyhur dan terverifikasi (ṣaḥīḥ), yakni dengan diperinci: apabila seorang pelajar memiliki kecerdasan, intensifitas berpikir, dan telah menguasai dasar-dasar pengetahuan dari Al-Qur’an dan hadis, maka diperbolehkan. Sedangkan jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan.

Menurut Syaikh al-Damanhūrī, adanya perbedaan pendapat tersebut dikarenakan keberadaan ilmu manṭiq yang kerap diasosiasikan dengan filsafat Barat, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Ṭawāli’ al-Baiḍāwī. Adapun ilmu manṭiq yang telah dimurnikan dari unsur-unsur filsafat Barat, seperti halnya Muḥtaṣar al-Sanūsī, al-Syamsiyyah, dan begitu pula Īḍāḥ al-Mubham ini, maka tidak ada perdebatan perihal kewenangan mempelajarinya.

Baca juga:  Tiga Kisah Viral tentang Mimpi Para Sufi dalam Kitab Nasaih al-‘Ibad dan Usfuriyyah

Selanjutnya, klasifikasi ilmu baru bagi makhluk (al-ḥadīṡ) menjadi bagian dari materi pertama yang dibahas di dalam kitab syarḥ ini, sebagaimana juga menyesuaikan dengan runtutan pembahasan yang ada dalam Sulam al-Munauraq. Ilmu baru (‘ilm al-ḥadīṡ)  yang dimaksudkan di sini ialah ilmunya (pengetahuan) makhluk yang akan menjadi objek pembahasan ilmu manṭiq.

Dijelaskan, ilmu baru tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu taṣawwur (konsepsi) dan taṣdīq (persepsi). Hematnya, taṣawwur merupakan pengetahuan terhadap makna satuan (mufrad), sedangkan taṣdīq ialah pengetahuan terhadap relasi antar makna satuan tersebut. Dengan demikian, sebagai konsekuensi logisnya, taṣawwur menjadi prasyarat tersendiri untuk dapat mengetahui taṣdīq.

Untuk dapat mengetahui taṣawwur itu tadi, dibutuhkan suatu penjelasan terhadapnya, atau yang diistilahkan dengan al-qaul al-syāriḥ. Adapun untuk mengantarkan kepada suatu taṣdīq, dibutuhkan sebuah ḥujjah (argumentasi) yang nantinya akan dapat ditarik suatu natījah (kesimpulan).

Perihal al-qaul al-syāriḥ itu, pernah juga dicontohkan oleh Gus Za’im—panggilan akrab beliau—ketika di kelas, yang dalam hal ini beliau juga mengutip percontohan Kiai Bisri Mustafa Rembang tentang rondo royal. Dijelaskan, bahwa rondo royal itu merupakan sebuah makanan kecil khas Jawa yang berupa tape goreng yang telah dibalut dengan tepung. Selain itu, beliau juga mencontohkan perihal kerudung, yakni dijelaskan, bahwa kerudung adalah kain penutup kepala yang dipakai perempuan. Lantas, agar seseorang dapat mengkonsepsikan rondo royal ataupun kerudung, ia membutuhkan penjelasan (al-qaul al-syāriḥ) seperti demikian terlebih dahulu. Selain itu, menurut beliau, untuk mencapai taṣawwur juga dapat ditempuh melalui perantara grafisasi sketsa atau gambar terkait yang nantinya seseorang akan mengerti apa yang tengah diperbicarakan.

Baik taṣawwur maupun taṣdīq, lebih lanjut menurut Syaikh al-Damanhūrī, keduanya juga tidak terlepas dari klasifikasi naẓarī: membutuhkan pemikiran dan penerungan, dan ḍarūrī: tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan. Termasuk ke dalam naẓarī, seperti yang dicontohkan perihal kerudung tadi. Sementara ḍarūrī, dalam kitab ini dicontohkan dengan logika matematis atau yang sifatnya pasti: satu adalah separuh dari dua, yang sudah barang tentu seseorang tidak membutuhkan pemikiran dan perenungan untuk memahami bahwa satu adalah separuh dari dua.

Baca juga:  Al-Ghazali Menjawab Pertanyaan Seputar Ketuhanan: Benteng Akidah Orang Awam

Kendati sekedar kitab manṭiq yang terbilang ringkas dan padat, dalam kitab ini juga turut disinggung perihal diferensiasi istilah qiyās yang terdapat dalam manṭiq dengan yang terdapat dalam uṣūl al-fiqh. Dijelaskan, sebagaimana juga telah maklum, qiyās dalam disiplin uṣūl al-fiqh didefinisikan dengan menyamakan hukum dari suatu hal dengan hal yang lain karena adanya alasan yang serupa (‘illat al-ḥukm). Sedankan dalam disiplin manṭiq, qiyās lebih dikonotasikan dengan deduksi.

Maksudnya, setiap apapun yang telah termuat ke dalam sebuah qaḍiyyah (proposisi), maka hal tersebut dapat dinisbatkan ke dalam qaḍiyyah itu. Atau dengan kata lain, penisbatan suatu hal secara deduktif diberangkatkan dari setiap proposisi. Seperti contoh: “Setiap manusia akan mati, dan Zaid adalah manusia. Maka Zaid akan mati.” Adanya konklusi (natījah) “Zaid akan mati” itulah yang didapat dari pemahaman deduktif (qiyās) terhadap “Zaid adalah manusia” dari qaḍiyyah “Setiap manusia akan mati”.

Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, perihal materi dasar manṭiq yang termuat dalam Īḍāḥ al-Mubham, mulai dari taṣawwur, taṣdīq, beserta unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, serta contoh-contoh praktis yang mudah dipahami, kiranya dapat kita nilai bahwa kitab ini begitu direkomendasikan bagi para pelajar tingkat pemula yang hendak mempelajari undang-undang berpikir valid, baik santri maupun umum.

Lebih-lebih di dalamnya juga termuat penjelasan-penjelasan tambahan perihal yang berkaitan erat dengan manṭiq, agaknya semakin menjadikan kitab ini cukup argumentatif sebagai bahan ajar dasar bagi siapapun yang hendak menyelami salah satu khazanah keilmuan Islam yang begitu signifikan manfaatnya. Dan semoga, kita sekalian yang sedang atau telah mempelajarinya, dapat memperoleh kemudahan pemahaman terhadapnya oleh Allah swt. serta keberkahan ilmu dari penulisnya, hingga dapat mengantarkan kita pada visi ilmu manṭiq itu sendiri guna mendasari setiap pemahaman kita dalam berbagai disiplin ilmu lainnya.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top