Sedang Membaca
Tujuh Ajaran Humanis Sufistik dari Sunan Drajat

Sedang menempuh studi di UIN Sunan Ampel Surabaya, Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Tujuh Ajaran Humanis Sufistik dari Sunan Drajat

Sunan Drajat (1470-1533) merupakan satu dari sembilan Waliyullah yang sering kali dianggap sebagai pilar utama dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Sunan Drajat merupakan putra dari Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang memiliki nama asli Raden Qasim atau Raden Syarifuddin. Dia di didik dengan baik oleh di pesantren milik ayahnya, yakni Pesantren Ampel Denta.

Setelah mendalami ilmu keagamaan, Sunan Drajat di utus oleh ayahnya untuk menyebarkan ajaran agama Islam di daerah pesisir Pulau Jawa. Sunan Drajat memilih wilayah pesisir pantai Lamongan sebagai tempat untuk melakukan dakwahnya. Sunan Drajat dikenal memiliki jiwa sosial yang besar dan sangat peduli terhadap kondisi fakir miskin pada saat itu. Maka tidak mengherankan ajaran-ajaran Sunan Drajat pada memiliki corak yang humanistik.

Sunan Drajat memiliki visi penyebaran Islam yang khas, yaitu dengan cara mengupayakan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai terlebih dahulu. Jika kesejahteraan itu telah dirasakan masyarakat, ia melanjutkannya dengan memberikan pengajaran dan pemahaman mengenai Islam. Upaya yang demikian di rasa sangat efektif karena masyarakat tidak lagi memikirkan masalah kehidupannya dan dapat dengan tenang beribadah kepada Allah SWT.

Sunan Drajat memiliki tujuh ajaran dasar yang dikenal dengan sebutan “Pepali Pitu”. Pertama, membuat senang hati orang lain (memangsun resep tsaying suasama). Upaya pertama ini bertujuan untuk menciptakan suasana persaudaraan dengan penuh kerukunan dan ketentraman. Dengan metode demikian, Sunan Drajat dapat dengan mudah berkomunikasi dan melancarkan dakwahnya dengan masyarakat.

Baca juga:  Buya Syafii Menggugat

Kedua, selalu mengingat Allah dan waspada saat dalam keadaan bahagia (jroning suka kudu eling lan waspodo). Sunan Drajat mengisyaratkan kepada masyarakat untuk tidak melupakan Allah SWT saat mereka berada dalam kondisi senang. Di samping itu, ia juga mengajarkan masyarakat untuk selalu waspada terhadap sifat-sifat tercela yang justru dapat muncul saat manusia dalam kondisi senang.

Ketiga, tidak berputus asa dalam menggapai cita-cita (laksitaning subrata tan nyipta marang pringga bayaning lampah). Sunan Drajat juga mengajarkan kepada para pengikutnya untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh dalam mengejar cita-cita mereka tanpa berputus asa, baik cita-cita tersebut dalam rangka mengejar profesi maupun cita-cita luhur untuk menjadi manusia yang baik (insan kamil).

Keempat, berjihad memerangi hawa nafsu dalam diri (meper hardaning pancadriya). Sunan Drajat juga mengajarkan kepada masyarakat untuk melawan hawa nafsunya sendiri. Pemenuhan terhadap hawa nafsu semata mengantarkan manusia terhadap sifat-sifat yang tercela, seperti serakah, rakus, dan lain-lain. Pemenuhan hawa nafsu dapat membuat manusia semakin menjauh dari Allah SWT.

Kelima, diam untuk mendapatkan ketenangan dan tenang untuk mendapatkan kebebasan yang mulia (heneng hening henung). Upaya kelima ini merupakan langkah yang dapat di sebut sebagai meditasi. Sunan Drajat menganjurkan kepada masyarakat untuk diam dengan diiringi dzikir kepada Allah dari pada melakukan perbuatan yang mengantarkan mereka pada hal-hal yang bersifat tercela atau maksiat.

Baca juga:  Andries Teeuw dan Khazanah Sastra di Indonesia

Keenam, menggapai kemuliaan dengan sholat lima waktu (mulya guna panca waktu). Sunan Drajat mengisyaratkan kepada masyarakat untuk menegakkan sholat yang merupakan kewajiban sehari-hari umat Islam. Dengan sholat, ketenangan pada poin sebelumnya juga dapat di capai dengan sempurna.

Ketujuh, menerapkan empat ajaran kemanusiaan (catur piwulang). Adapun empat ajaran kemanusiaan tersebut adalah wenehono teken marang wong kang wuto (berikan tongkat pada orang yang tidak bisa melihat), wenehono pangan marang wong kang keluwen (berikan makan pada orang yang kelaparan, wenehono payung marang wong kang kaudanan (berikan payung atau keteduhan pada orang yang kehujanan), dan wenehono sandang marang wong kawudan (berikan pakaian pada orang yang telanjang).

Empat ajaran tersebut memiliki makna filosofis lain seperti anjuran untuk memberi kesejahteraan terhadap masyarakat miskin, memberikan pemahaman akhlak yang baik terhadap orang yang tidak tahu malu, menjadi atau memberikan perlindungan kepada orang yang mengalami penderitaan.

Tujuh ajaran dari Sunan Drajat tersebut sepertinya masih relevan jika di terapkan pada era saat ini. Selain ajaran tersebut berfokus pada aspek spiritual dari individu, ajaran tersebut juga bersifat humanistik karena juga mengandung kepedulian terhadap ranah kehidupan sosial.

Di samping itu, ajaran-ajaran Sunan Drajat juga mengandung unsur tasawuf dengan corak klasik dan modern. Sebagaimana yang dapat diketahui bahwa corak tasawuf klasik berfokus pada spiritual individu saja, sementara corak tasawuf modern berfokus pada lingkup sosial kemasyarakatan. Dengan demikian, ajaran dari Sunan Drajat dapat dikatakan sebagai ajaran yang mengandung kedua unsur tersebut.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
2
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top