Nuzula Nailul Faiz
Penulis Kolom

Mondok di PP Nurul Ummah Yogyakarta dan mahasiswa di Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Pemikiran Sosial Keagamaan Kuntowijoyo

Kuntowijoyo merupakan sejarawan, sastrawan, budayawan, aktivis serta sosiolog terkemuka, yang dibuktikan dengan berbagai karya yang menyumbangkan pemikiran berharga dalam bidang-bidang tersebut, serta diakui oleh lembaga-lembaga terkait, yang tertuang dalam berbagai penghargaan yang ia raih.

Pak Kunto lahir di Yogyakarta, pada tahun 1943. Pendidikan kecil dan menengahnya ia selesaikan di Klaten. Kemudian, ia melanjutkan studi strata satu di Yogyakarta. Setelah meraih gelar Ph. D. dari Columbia University dalam kajian sejarah pada tahun 1980, ia kembali ke Indonesia dan mengajar di tempat almamaternya dulu, Universitas Gajah Mada.

Pak Kunto dikenal sebagai intelektual yang produktif. Dalam bidang kajian sosial keagamaan sendiri, ia menghasilkan beberapa karya, yang merupakan kumpulan dari kolom-kolom yang ia tulis untuk berbagai media cetak waktu itu. Buku-bukunya terkait kajian ini antara lain, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (1985), Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991), Muslim Tanpa Masjid: Mencari Metode Aplikasi Nilai-Nilai Al-Qur’an pada Masa Kini (2001), serta Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (2004)

Berangkat dari buku-buku itu, para ilmuwan sosial memetakan pemikiran Kuntowijoyo dalam kajian sosial keagamaan itu dalam beberapa konsep pemikiran, yang sebenarnya antar satu sama lain saling berhubungan.

Ilmu Sosial Profetik

Istilah Ilmu Sosial Profetik (ISP) merupakan istilah yang diperkenalkan Kuntowijoyo dalam esainya “Ilmu Sosial Profetik: Etika Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial” yang menjadi penutup dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid. Secara bahasa, ISP ini terdiri dari tiga kata, yakni ilmu yang berarti susunan pengetahuan dalam bidang tertentu secara sistematis, sosial yang berarti masyarakat, serta profetik yang berarti kenabian. Secara istilah, Ilmu Sosial Profetik didefinisikan sebagai ilmu sosial yang menjadikan nilai-nilai normatif Islam sebagai landasan keilmuanya sehingga dapat diaktualisasikan dan menjadi petunjuk perilaku dan aksi sosial (Leprianida, 2009).

Baca juga:  Tafsir Al-Fatihah Kiai Suhaimi Rafiuddin, Jejak Intelektual Murid Kiai Shaleh Lateng

Ilmu Sosial Profetik bisa lahir dari pemikiran Kuntowijoyo dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, perdebatan seputar teologi oleh dua kelompok Islam yang kemudian berujung pada pertentangan. Kedua, kenyataan objektif ilmu sosial yang didominasi oleh paradigma positivisik, dan sekuleristik, serta fakta sosial yang belum mencerminkan nilai-nilai ilahiah (Maskur, 2012). Ketiga, refrensi intelektual Kuntowijoyo dalam ilmu sosial dan Islam, serta pengamatanya pada keadaan muslim di negaranya.

Mengenai refrensi intelektual, Kuntowijoyo dalam merumuskan Ilmu Sosial Profetik dipengaruhi oleh Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Iqbal dalam bukunya, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, memperkenalkan istilah etika profetik untuk menjelaskan sunah Nabi Muhammad SAW. yang ketika mencapai puncak spiritualitas dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, justru kembali ke dunia untuk menuntaskan tugas kerasulanya untuk memperbaiki masalah-masalah kemanusiaan. Sementara itu, Garaudy memperkenalkan istilah filsafat profetik, yang berangkat dari kegelisahan tidak memuaskanya filsafat barat yang hanya terombang ambing dalam dua kubu yang tak berkesudahan, idealis dan materialis.

Unsur-unsur yang dirumuskan Kuntowijoyo dalam ilmu sosial profetik bersumber dari ajaran normatif Islam, yakni QS. Ali Imran ayat 110. Hal ini berangkat dari kerangka berpikir Kuntowijoyo yang berpendapat Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam sebagai kumpulan teori-teori besar (grand theory) yang perlu dirumuskan menjadi teori-teori tingkat menengah. Ia menekankan, perlunya merumuskan konsep-konsep normatif dalam Islam sebagai teori. Ini juga merupakan ciri dari periode ide yang ia dapat melihatnya pada geliat generasi muda Islam secara optimistis.

Baca juga:  Ulama Banjar (203): KH. Ahmad Zuhdiannor

Sebagaimana yang ia anjurkan, berangkat dari pembacaan terhadap QS. Ali Imran ayat 110, ia merumuskan unsur-unsur dalam Ilmu Sosial Profetik. Dalam ayat tersebut disebutkan, ada tiga ciri agar umat Islam dapat dikatakan sebagai umat terbaik (the chosen people), yakni amar ma’ruf (memerintahkan/menganjurkan kebaikan), nahi munkar (mencegah keburukan), serta iman (percaya) terhadap Allah. Ketiga hal tersebut, oleh Kuntowijoyo, diterjemahkan dalam arti yang punya social significance, untuk dirumuskanya dalam Ilmu Sosial Profetik. Sehingga menjadi humanisasi, liberasi dan transendensi. Relasi humanisasi, liberasi, dan transendensi dalam teori tersebut dipandang sebagai hal yang bersifat integral, yakni antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Humanisasi sebangun maknanya dengan amar ma’ruf karena ajaran-ajaran kebaikan yang dianjurkan agama bertujuan untuk memanusiakan manusia. Hal ini misalnya tercermin dalam perintah mendirikan clean government,  atau membangun keamanan sistem sosial. Nahi munkar diartikan sebagai liberasi, karena hal-hal yang ingin dihilangkan dalam usaha pembebasan juga merupakan perkara munkar yang dilarang oleh agama, seperti penindasan dalam membela nasib buruh dan melawan penjajah. Sementara transendensi merupakan padanan yang berarti lebih umum daripada terminologi iman billah, yakni perjalanan di atas atau di luar dalam arti teologis.

Ilmuisasi Islam

Secara bahasa, istilah ilmuisasi Islam bisa diartikan sebagai upaya untuk merumuskan Islam menjadi segenap pengetahuan yang sistematis. Sedangkan yang dimaksud Kuntowijoyo dalam istilah ini adalah upaya untuk memahami Al-Qur’an dalam basis epistemologis. Kuntowijoyo menekankan perlunya memposisikan Al-Qur’an sebagai cara berpikir, maka untuk menalar suatu fenomena, diperlukan cara bernalar ala Al-Qur’an (Rochmatul Anwar, 2017). Metode untuk mencapainya ia namakan strukturialisme transendental yang ia jelaskan panjang lebar dalam pengantar buku Muslim Tanpa Masjid.

Objektivikasi Islam

Objektivasi Islam yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo ialah proses penerjemahan nilai-niai internal Islam ke dalam kategori-kategori objektif, melalui eksternalisasi ajaran normatif Islam. Objektivasi yang dimaksudkan oleh Kuntowijoyo adalah juga merupakan kongkritisasi dari keyakinan internal. Sebuah perbuatan disebut objektif jika perbuatan tersebut dirasakan efeknya  oleh keseluruhan manusia bahwa seolah-olah hal tersebut ialah kejadian yang bersifat natural.

Baca juga:  Ulama Banjar (52): KH. Hasyim bin H. Jahri

Objektivasi seperti ini digagas oleh Kuntowijoyo bertujuan untuk menghindarkan diri umat Islam dari dua hal, yaitu sekularisasi dan dominasi. Sekularisasi yang dimaksudkan disini ialah pemisahan antara ilmu dan agama, sedangkan dominasi ialah penguasaan massa oleh kelompok tertentu dengan cara yang tidak adil (dehumanis). Dengan demikian, arah orientasi dari proses ini adalah perwujudan nilai-nilai keislaman ke dalam perbuatan, sehingga yang non Islam sekalipun dapat merasakan manfaatnya tanpa harus menyetujui nilai- nilai asalnya. Asumsi ini mempertegas bahwa, Islam adalah agama universal yang tidak dikhususkan hanya pada satu bangsa, wilayah, atau negara, tapi untuk seluruh manusia pada semua agama dan keyakinan.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top