Ilmu rasm utsmani pada dasarnya masih menjadi bagian dari pembicaraan besar ilmu-ilmu Al-Qur’an. Rumusan kaidahnya sendiri diambil dari kebijakan yang ditempuh kepanitiaan yang dibentuk di era khalifah ketiga, ‘Utsman bin ‘Affan, tatkala melakukan kodifikasi mushaf Al-Qur’an.
Sejak saat itu, sejarah telah mencatat perkembangan kajiannya hingga kemunculan literatur khusus yang membahas rasm ‘utsmani, dan voila! Terciptalah disiplin ilmu rasm. Setelah empat belas abad lebih berlalu, ilmu ini telah menghasilkan banyak literatur.
Meski begitu, ilmu ini tidak seperti kebanyakan ilmu Al-Qur’an yang lain. Tidak banyak yang berminat kepadanya. Salah satu faktor terbesarnya, karena kerumitan dan banyaknya kaidah yang harus dimengerti dan syukur-syukur, bisa dihafal.
Aliran kajian modern saat ini, jika dicermati, bahkan hanya berkutat pada penerapan kaidahnya saja pada penulisan Al-Qur’an. yang membedakan hanya sasaran penerapannya yang berbeda. Singkatnya, tidak banyak variasi kajian yang dapat dikembangkan.
Jika demikian, adakah dampak yang ditimbulkan? Tentu saja.
Tingkat kerumitan dan kesulitan bidang kajian keilmuan memberi dampak pada peminatan kajian di masyarakat. Karena dirasa sulit, tidak banyak yang akhirnya mendalami kajian rasm Al-Qur’an. Sementara penulisan Al-Qur’an dari hari ke hari semakin meningkat. Jumlah permintaan sebanding dengan luasnya perluasan wilayah Islam dan jumlah kaum muslimin. Karena Al-Qur’an menjadi bahan bacaan wajib, mengingat posisinya sebagai kitab suci, hudan.
Anda bisa membayangkan bagaimana jadinya jika seorang khatthat (penulis) menulis Al-Qur’an tanpa mendasarinya dengan ilmu rasm. Anda mungkin bertanya, bukankah ada beberapa master mushaf Al-Qur’an yang dikirim ‘Utsman ke beberapa wilayah perluasan Islam, sehingga para penulis itu dengan mudah menyalinnya?
Memang benar ‘Utsman telah mengirim beberapa mushaf sebagai bahan acuan penulisan. Tetapi apakah semua penulis mengacu pada mushaf tersebut? Menurut informasi yang diberikan Al-Farmawy penulisan Al-Qur’an kuno justru banyak tidak ditulis dengan meniru master mushaf yang ada. Seseorang yang ingin memiliki salinan dari mushaf Al-Qur’an akan mendatangi mereka yang mau secara sukarela menuliskan Al-Qur’an untuknya. Orang yang dimintai bantuan juga jarang yang menuliskan satu mushaf utuh, paling hanya beberapa surat saja.
Kalaupun benar dilakukan dengan meniru master mushaf yang ada, anda harus tahu, peralatan tulis-menulis dan fasilitas lainnya yang dapat menyokong aktivitas ini sangat terbatas: pencahayaan misalnya. Sehingga perubahan teks sangat dimungkinkan terjadi. Apalagi jika teks salinan ini secara beruntun menjadi acuan salinan edisi berikutnya. Semakin banyak campur tangan dalam setiap penulisan tradisional sangat berpeluang menimbulkan perubahan.
Penulisan tradisional yang bersifat individual semacam ini juga memperkecil peluang penerapan kaidah rasm secara melembaga. Ingat, belum ada semacam Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMA) waktu itu. Pemerintah daerah masing-masing wilayah juga tidak menekankan penerapan kaidah rasm dalam penulisan.
Sehingga upaya tashih, umpamanya, juga dilakukan secara individual alih-alih institusional. Sebagai contoh, gambar yang pembaca lihat di atas merupakan lembar tashih dari salah satu mushaf kuno di Indonesia, Mejene tepatnya. Mushaf itu selesai ditulis pada 27 Rajab 1248 H. atau 20 Desember 1832, satu abad setengah sebelum dibentuknya Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMA). Disana tertulis bahwa tashih mushaf tersebut dilakukan di Mekkah.
Menariknya, dalam sebuah mushaf kuno Indonesia lainnya, upaya tashih mushaf ini bahkan tidak mencakup bidang rasm Al-Qur’an.
Pada mushaf Sumenep, Madura ini, tashih terlihat dilakukan pada penambahan kata yang hilang, al-bayyinaat, dengan tinta merah. Jika mengikuti kaidah rasm ‘utsmani, tashih di atas, begitu juga dengan kata darajaat sebelumnya, masih dianggap menyalahi kaidah rasm. Karena kaidah rasm akan membuang setiap alif jama‘ yang ada pada bentuk jama‘ mu’annats salim. Nyatanya dalam mushaf Sumenep di atas sudah digolongkan bentuk tashih.
Jadi, jika ditanya, mengapa rasm ‘utsmani dalam penulisan Al-Qur’an jarang diterapkan. Mungkin jawaban yang tepat adalah bukan jarang diterapkan, tetapi kurang memadahinya piranti keilmuan terkait sehingga berakibat pada perubahan penulisan dari yang semula ber-rasm ‘utsmani menjadi tidak, dan dari hal yang semula keliru menjadi hal yang biasa dan lumrah, sebagaimana pada kasus tashih mushaf Madura di atas. Allahu a’lam bisshawab.