David D. Harnish dengan orientasi orisinal pada etnomusikologi Indonesia dan Anne K. Rasmussen dengan landasan etnomusikologi dunia Arab, setelah presentasi pada konferensi etnomusikologi pada tahun 2005 dan 2006, keduanya terdorong untuk mengoordinasikan sejumlah besar karya para sarjana terkemuka. Tujuannya ialah untuk lebih menjelaskan dan mengontekstualisasikan subjek musik dan Islam di antara berbagai budaya Indonesia.
Buku Divine Inspirations: Music and Islam in Indonesia (2011) yang diterbitkan oleh Oxford University Press ini dibagi ke dalam empat bagian. Sebagian besar babnya mengacu pada wacana mengenai “diperbolehkannya musik”.
Bagian I, dengan judul Ketegangan dan Perubahan (Tension and Change), membicarakan ihwal eksplorasi pemeliharaan seni tradisional untuk melestarikan seni tersebut.
Bagian II, Mistisisme dan Pengabdian (Mysticism and Devotion), memaparkan tentang praktik musik, komunitas, dan konteks yang berfokus pada teks-teks Arab Islam dan spiritualitas Islam.
Bagian III, Arus dan Wacana Global (Global Currents and Discourse), membahas gerakan nasional dan transnasional serta artikulasi gagasan dan perdebatan kontemporer mengenai musik dan Islam di sebagian besar wilayah Indonesia.
Bagian IV, Dunia Pertunjukan Kontemporer (Contemporary Performative Worlds), berkonsentrasi pada isu-isu seperti musik modern dan populer, musik hibrida baru, dan performativitas secara keseluruhan.
Gamelan dan Wayang: dari Jawa sampai Lombok
Pada bagian pertama dalam buku ini, terdapat dua penulis, yakni Sumarsam dan David D. Harnish. Sumarsam membicarakan ihwal gamelan dan wayang kulit sebagai proses islamisasi, sedangkan Harnish berfokus pada lokalisasi adat “Waktu Telu” di Lombok.
Pertunjukan gamelan, menurut Sumarsam bertujuan untuk menarik orang supaya masuk Islam. Kangjeng Sunan Kalijaga, seorang wali keturunan Jawa menyarankan untuk memanfaatkan salah satu aspek budaya Jawa yang dicintai dan dianggap sakral oleh masyarakat, yakni gamelan agar berhasil membujuk orang untuk masuk Islam.
Gamelan tersebut akan ditempatkan di dekat masjid dan akan dimainkan dengan sangat lantang, sehingga banyak orang yang datang ke masjid untuk melihat dan mendengar gamelan. Orang-orang yang datang ke masjid tersebut akan diterima ke dalam Islam, lantas mereka disuruh membersihkan dan mensucikan dirinya sebelum salat (disebut wudu). Setelah bersuci, mereka akan diajari membaca syahadat kalih—dalam bahasa Arab, syah hadadtin.
Para wali memutuskan bahwa gamelan akan dimainkan pada minggu festival keagamaan garebeg untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Gamelan itu disebut gamelan sekaten–istilah yang berasal dari kalimat syah hadadtin.
Sementara itu, Harnish memusatkan perhatiannya pada musik dan agama di Lombok, khususnya pada kelompok etnis Sasak, yakni “Waktu Telu”–agama Islam “tradisionalis”. Menurutnya, di Lombok ada pergesekan pemeluk agama, yakni Waktu Telu dan Waktu Lima.
Dalam adat Waktu Telu, telah memelihara seni pertunjukan atas konteks ritual dalam mempertahankan adat, baik hukum adat dan tradisi. Sementara itu, dalam Waktu Lima telah meneliti bentuk pertunjukan musik sebagai penyimpangan atau gangguan dari Islam.
Dari penelitian Harnish terhadap komunitas Sasak di Lombok tersebut, gamelan dipertunjukkan untuk upacara pertanian dan siklus hidup, pesta besar untuk menghormati kaum bangsawan, dan acara-acara ritual lainnya.
Untuk memahami perkembangan kontemporer, Harnish menyelidiki peran bekas penjajah, Hindu Bali dan Belanda, dalam membangun sikap terhadap praktik keagamaan kreatif. Harnish juga menjelaskan kebijakan seni pemerintah dan sikap lokal.
Proyek pemerintah yang paling ambisius dan sukses, menurutnya adalah mengubah gamelan gendang beleq (gendang besar) dari ansambel tradisionalis menjadi bentuk yang dapat mewakili seluruh Lombok dan melambangkan modernisme. Manifestasi aspek kesenian lokal dari gaya transnasional terdapat empat gaya musik Islami, yakni zikrzamman, burdah, hadrah, dan qasidah rebana.
Bagi keduanya–Sumarsam dan Harnish, selain gamelan, pertunjukan wayang juga merupakan simbol islamisasi. Kedua seni tersebut sudah ada jauh sebelum agama Islam hadir, bisa dibuktikan bahwa pada dinding candi-candi Jawa kuno terdapat gaya penggambaran manusia. Wayang diabstraksikan dari bentuk manusia dan narasinya memasukkan tema-tema sufi.
Bersambung…