Kasus kekerasan seksual merupakan kasus yang tidak hengkang untuk dibicarakan. Sebab dalam fenomena yang terjadi, perempuan selalu menjadi korban dalam setiap kekerasan seksual yang terjadi. Minimnya payung perlindungan hukum yang tersedia, tidak berbanding lurus dengan kompleksitas masalah atau kasus kekerasan seksual yang terjadi, sehingga menimbulkan adanya impunitas, keberulangan dan frustasi para korban dalam menuntut hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan.
Sejauh ini, korban mengalami banyak sekali perundungan apabila melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami. Ditambah dengan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat tentang dirinya, semakin menyudutkan korban kekerasan seksual. Alasan itu yang memperkuat para korban untuk mengurungkan niatnya melaporkan kepada pihak yang berwajib.
Selain itu, kasus kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, tidak terkecuali dalam wilayah konflik. Beban korban yang terjajah oleh kelompok/negara/individu lain, kemudian ditambah dengan terjadinya kekerasan seksual pada perempuan, semakin menguatkan kepedihan yang dialami oleh perempuan yang dianggap sebagai makhluk kelas kedua di tatanan masyarakat.
Beberapa kasus kekerasan seksual kepada perempuan di wilayah konflik diantaranya: pertama, 8 Juli 1998, tercatat lebih dari 600 perempuan diperkosa di Aceh yang dilakukan oleh personel militer Indonesia. Di Papua, pemerkosaan terjadi sistematis.Kasus kekerasan seksual banyak terjadi dil wilayah konflik dengan beberapa praktik, antara lain: perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, aborsi secara paksa, sterilisasi secara paksa, pernikahan secara paksa, dan segala bentuk kekerasan seksual yang terjadai kepada perempuan, laki-laki, anak perempuan atau anak laki-laki yang berada di wilayah konflik.
Kebijakan yang mengatur kekerasan seksual terhadap perempuan dalam Statuta Roma tentang mahkamah Pidana Internasional diatur dalam tiga konteks kejahatan, diantaranya: kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan genosida. Dalam kerangka kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 7 (G) statuta menyebur perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, strelisasi paksa dan bentuk-bentuk kekerasan seksual yang setara.
Melihat konteks kebijakan ini, maka perlu ditegaskan kembali bahwa, kekerasan seksual adalah bentuk pelanggaran HAM berat yang perlu penanganan cukup serius. Apabila terdapat kasus demikian, merujuk pada beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi. Baik di lingkungan sekolah, publik, hingga pesantren, seluruh elemen. Mulai dari masyarakat sipil hingga pemerintah, sangat perlu mendorong untuk penanganan kasus kekerasan seksual dikawal sampai tuntas.
Di sisi lain, posisi kasus kekerasan seksual sudah terlihat jelas bertentang dengan Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasa 28 G yang berbunyi:
Pertama, Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Kedua, Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Dengan melihat undang-undang di atas, barangkali kita sudah memberikan kesimpulan awal bahwa, dengan menyadari kehadiran HAM yang melekat dalam tubuh manusia, kekerasan seksual merupakan pelanggaran HAM. Lalu, bagaimana upaya penanganan kasus kekerasal seksual yang terjadi di wilayah konflik?
Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah yakni, meningkatkan kesadaran tentang pentingnya peran dan partisipasi masyarakat dalam penanganan kasus kekerasan seksual khususnya yang terjadi di wilayah konflik. Selama ini, jarang pemerintah yang menyorot kekerasan seksual di wilayah konflik, sebab lebih fokus terhadap konflik yang terjadi di lapangan. Sejak disahkannnya RUU TPKS, menjadi sebuah awal, bagaimana peran masyarakat harus ikut serta untuk berpartisipasi dalam pemberantasan kasus kekerasan seksual di berbagai aspek.
Jika sebelum disahkannya RUU TPKS, para elemen masyarakat sudah berjuang agar segera disahkan, perjuangan selanjutnya yakni, mengawal kebijakan tersebut untuk ditegakkan secara adil kepada pelaku kekerasan seksual, khususnya di wilayah konflik. Tantangan yang terjadi adalah, pemerintah harus mampu meredam amarah yang ada pada konflik tersebut agar tidak berkelanjutan.
Pada waktu yang sama, bagaimana kekerasan seksual yang terjadi di wilayah konflik. Serta harus juga diselesaikan berdasarkan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, kasus kekerasan seksual di wilayah konflik, merupakan permasalahan yang cukup sulit ditangani oleh pemerintah, dan membutuhkan semua elemen untuk memberantas kekerasan seksual yang terjadi.