M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Fikih Tanah-Air Indonesia (7) Paruhan Hasil Pertanian

Whatsapp Image 2020 03 17 At 8.15.23 Pm

Jika dalam Islam terdapat akad mukhabarah, muzara’ah, dan musaqah (kerjasama pertanian) maka di Nusantara ada akad serupa yang jenisnya bermacam-macam. Di Minangkabau ada kerjasama pertanian “memperduai”, di Minahasa disebut “Toyo”; di Jawa terdapat perjanjian “maro” (separuh banding separuh) dan “mertelu” (satu banding dua); di Sunda terdapat perjanjian “nengah” (setengah banding setengah) dan jejuron (satu banding dua), dan masih banyak lagi.

Dalam sejarah revolusi pertanian di tanah Arab-Islam, mukhabarah, muzaraah dan musaqah adalah instrumen utama pengolahan lahan produktif. Sama halnya dengan kerjasama penggarapan tanah yang telah lama dipraktekkan oleh masyarakat Nusantara. Bedanya masyarakat Arab hanya mengikuti skema setengan banding setengah, sedangkan di Nusantara ada juga skema satu banding dua.

Dalam tradisi pertanian Arab, muzaraah adalah akad kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk menanam, merawat, hingga memanen hasilnya, dengan benih, pupuk, peralatan yang bersumber dari pemilik tanah. Hasil kerjasama pertanian itu dibagi dua antara pemilik dengan penggarap.

Sedangkan muzara’ah adalah akad kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk menanam, merawat, hingga memanen hasilnya, dengan benih, pupuk, peralatan yang bersumber dari pemilik tanah. Hasil kerjasama pertanian itu dibagi dua antara pemilik dengan penggarap.

Adapun musaqah adalah bentuk kesepakatan antara pemilik lahan dengan pihak lain agar tanaman di perkebunan atau persawahan diairi/disirami hingga berbuah. Hasil pertanian itu kemudian dibagi dua untuk masing-masing pihak.

Baca juga:  Cadar Menurut Pakar Hukum Islam

Kerjasama pertanian merupakan kebiasaan petani di tengah keterbatasan modal, akses, dan pengetahuan untuk mengelola lahan produktif. Hanya saja praktek kerjasama ini berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan di masing-masing wilayah. Di kalangan masyarakat Nusantara khususnya, hampir semua mempraktekkan bahwa pemilik lahan menyertakan modal berupa tanah, dan dari penggarap menyertakan modal berupa bibit dan peralatan. Adapun hasil panennya dibagi menurut skema setengah banding setengah atau satu banding dua tiga banding empat sesuai kepekatan dan kebiasaan adat.

Kerjasama pertanian ini dibangun di atas kesepahaman bahwa pemilik lahan pertanian lebih berhak dibandingkan penggarap. Khususnya yang berlaku dalam adat masyarakat Jawa, terdapat istilah “srama” atau “mesi”. Dalam kontek ini, pembagian jatah lebih besar untuk pemilik tanah oleh penggarap dipersepsikan sebagai suatu persembahan yang disertai dengan permohonan (srama), atau mengandung pengakuan bahwa ia berada di tanahnya orang lain (mesi).

Dengan demikian, parohan tanah dalam tradisi masyarakat Nusantara berjalan sebagai bentuk kemurahan pemilik tanah dengan cara mengijinkan orang lain masuk ke dalam pekarangannya. Dengan catatan pihak yang diijinkan masuk itu mau bekerja dengan menanam tumbuh-tumbuhan dan akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemilik tanah.

Dikarenakan paruhan tanah timbul dari kemurahan pemilik tanah, maka bibit, alat pembajak tanah, dan pupuk sangat bergantung yang bersangkutan. Kalau dia menyanggupi maka penggarap cukup berperan sebagai pengolah. Akan tetapi jika pemilik tanah tak menyanggupi dan hanya menyediakan tanah maka penggaraplah yang bertanggungjawab menyediakan benih sekaligus merawatnya.

Baca juga:  Memaknai Kembali Ramadan, Alquran, dan Peradaban

Model kerjasama pertanian ini dapat berjalan harmonis di tengah masyarakat sebab mereka sadar bahwa pemilik tanah berhak mempertahankan kepemilikan dan manfaat tanah yang dimilikinya, daripada pihak lain dan orang luar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top