Entah sudah berapa puluh milyar jamaah haji datang ke Tanah Haram, sejak disyariatkannya ibadah tersebut. Namun, tidak semua orang mampu dan berkesempatan bahkan menyempatkan diri untuk menuliskan kisah serta pengalamannya. Ibnu Jubair –seperti saya uraikan dalam dua artikel sebelumnya– merupakan seorang di antara sedikit jamaah yang mencatat dengan cermat perjalanan ibadahnya, hingga detail perluasan Masjidil Haram.
Karyanya, yang berjudul Tadzkirah bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar (Pengingat Cerita Tentang Perjalanan) yang di masa kemudian dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair (Kisah Pecrjalanan Ibnu Jubair), merupakan warisan yang bernilai tinggi.
Angel Gonzales Palencia (w. 1949) dalam karyanya berjudul Historia de la Literatura Arábigo-Española yang dalam edisi Arabnya bertajuk Tarikh al-Fikr Al-Andalus” memuji catatan perjalanan Ibnu Jubair ini. “Karya Ibnu Jubair yang merupakan catatan harian pribadinya ini ditulis dengan diksi yang baik, mudah dipahami, dan memiliki cita rasa sastra bernilai tinggi”, tandas orientalis asal Spanyol ini.
Sebelumnya saya menguraikan secara ringkas mengenai perjalanan Ibnu Jubair dari Andalusia ke Jeddah hingga kisah pengalaman ibadah umrahnya yang pertama. Pada bagian ketiga ini saya menyuguhkan catatan etnografis Ibnu Jubair mengenai seluk beluk Masjidil Haram dan kesaksiannya dalam melihat fenomena ibadah kaum Muslim di Makkah saat itu.
Masjidil Haram dan Kakbah
Ibnu Jubair mengamati kondisi Masjidil Haram dan kakbah yang kemudian dituliskannya dengan sangat baik. Ia mengatakan, “Di Baitul Haram terdapat empat rukun. Posisinya seperti persegi empat. Muhammad bin Ismail, seorang anak muda penjaga kakbah yang secara genealogis merupakan keturunan dari Thalhah bin Abduddar sahabat Nabi menuturkan kepadaku:
“Tingginya Kakbah dari pintu Shafa; Hajar Aswad sampai “Rukun Yamani” sekitar dua puluh sembilan dzira’ (+- 1.392 cm). Sedangkan dari tiga sisi lainnya sekitar dua puluh delapan dzira’ (+- 1.344 cm). Perbedaan ini disebabkan permukaan lantainya. Rukun pertama adalah rukun di mana Hajar Aswad berada. Di sanalah dimulainya thawaf. Muthawif (orang-orang yang melakukan tawaf) harus melangkahkan mundur kakinya hingga seluruh badannya persis berada di sisi itu. Posisi kakbah ada di sisi kiri muthawif. Kemudian rukun selanjutnya adalah “Rukun Iraqi” yang berada di sisi utara. Lalu “Rukun Syami”, di sisi Barat. Kemudian “Rukun Yamani” yang berada di sisi selatan. Kemudian kembali ke “Rukun Hajar Aswad”.
Ibnu Jubair juga secara detail menjelaskan berbagai sudut bangunan kakbah dan sekitarnya. Termasuk juga dalam mengulas secara rinci ornamen-ornamennya. Sisi-sisi lain seperti Maqam Ibrahim, Sumur Zam-Zam, dan juga tentang Hajar Aswad tak terlewatkan oleh amatan-amatan pelancong asal Andalusia ini.
Perluasan Masjidil Haram
Satu hal yang juga dicatat oleh Ibnu Jubair terkait dengan Masjidil Haram adalah ihwal perluasan Masjidil Haram. Dalam catatan sejarah perluasan Masjidil Haram sendiri, perluasan yang dilakukan oleh Khalifah Abdullah Muhammad Al-Mahdi adalah perluasan yang kesembilan sejak perluasan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Sepeninggal Nabi, fase perluasan Masjidil Haram selanjutnya terjadi di era Khalifah Umar bin Khaththab (w. 23 H/ 644 M ) di tahun 17 H dengan membebaskan lahan di sekitar Masjidil Haram. Kemudian perluasan kembali dilakukan di era Khalifah Utsman bin Affan (w. 35 H/656 M) pada tahun 26 H, Abdullah bin Zubair (w. 71 H/692 M) pada tahun 64 H, Abdul Malik bin Marwan (w. 84 H/705 M) pada tahun 75 H.
Putera Abdul Malik bin Marwan, Abdul Walid bin Malik (w. 94 H/715 M), meneruskan “program” ayahnya dengan membebaskan tanah sekitar Masjid seluas 2300 M. Lalu pada era Khalifah Abbasiyah Abu Jakfar Al-Manshur (154 H/775 M), lahan yang dibebaskan mencapai sekitar 4700 meter persegi. Proses pembebasan dilanjutkan oleh puteranya, yakni Muhammad Al-Mahdi (164 H/785 M), yang melakukan dua kali perluasan, pada tahun 160 H dan tahun 163 H.
Tentang perluasan yang disebut terakhir, Ibnu Jubair menulis demikian:
Khalifah Al-Mahdi Muhammad bin Abu Jakfar al-Manshur al-Abbasi melakukan perluasan Masjidil Haram. Di dinding sisi barat hingga utara di sana tertulis: atas jasa Amirul Mukminin Abdullah Muhammad al-Mahdi -semoga Allah memberkatinya- dilakukan perluasan Masjidil Haram bagi para jamaah haji pada tahun seratus enam puluh tujuh (Hijriyah).
Mengenai perluasan Masjidil Haram di era Al-Mahdi ini, Muhammad Abd Raqziq berjudul Awraqat al-Masjid al-Haram Minal Abbasiy Hatta Tawassuat As-Sa’udiyyah al-Kubra, mengatakan bahwa kebutuhan perluasan tersebut diawali saat sang Khalifah pergi haji pada tahun 160 H. Ia melihat Masjidil Haram dipenuhi jamaah salat, hingga membeludak.
Kemudian Khalifah Al-Mahdi memerintahkan para pejabat di bawah pemerintahannya untuk melakukan perluasan. Ia secara khusus memasrahkan perluasan Masjidil Haram kepada Qadhi Makkah yang saat itu di bawah kendali Muhammad bin Abdurrahman al-Makhzumi (bersambung). (SI)