Sedang Membaca
Khazanah Kuliner Serambi Mekkah: Kopi Pancong dan Budaya Jamuan ala Aceh

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Khazanah Kuliner Serambi Mekkah: Kopi Pancong dan Budaya Jamuan ala Aceh

Serambi

Pagi sekitar pukul 7.30 kami datang ber-enam ke sebuah kafe di Kota Banda Aceh. Meskipun tak berpendingin ruangan di tengah cuaca Kota Banda Aceh yang pasti terik dan sumuk, para pengunjung pun sudah banyak yang menempati kursinya. Mereka datang dengan tujuan serupa dengan kami, yakni sarapan pagi.

Kami berenam, bersama pasangan masing-masing. Dipertemukan sebagai saudara karena talian pernikahan dari Abang istriku yang menikah dengan perempuan Aceh dan menetap di Aceh sejak tahun 2004. Pasangan satunya adalah ipar dari Abang iparku, yang menikah dengan sesama orang Aceh. Kunjungan kami ke Kota Serambi Mekkah ini sudah keempat kalinya.

Menjadi tradisi baik bagi keluarga Aceh, jika terdapat keluarga jauh yang datang, pasti mereka secara bergiliran menjamu tamu tersebut. Perjamuan itu bisa di rumah atau di luar rumah. Seperti pagi ini, kami dijamu untuk sarapan di kafe ini.

Menjamu tamu apalagi saudara sudah menjadi khazanah atau kekayaan budaya yang dimiliki oleh warga Aceh. Jika itu dilakukan di luar rumah, maka warung kopi atau bahasa modernnya kafe akan menjadi pilihan utama. Ada juga restoran, tapi itu menjadi pilihan minimalis.

Kenapa kafe? Karena di kafe inilah banyak khazanah yang tersimpan erat di sini, dan akan menjadi kenangan yang melekat bagi tamu yang hadir. Di dalam kafe terdapat kekayaan kuliner bernama kopi yang menjadi lokomotif dari aneka kekayaan kuliner lain sebagai pelengkapnya.

Aceh sangat tersohor dengan kenikmatan kopinya. Mulai dari aroma, rasa, dan segala pernak pernik penyajiannya akan membekas dalam. Jenis kopi dari Arabica, Robusta, atau campuran keduanya bisa dihidangkan dalam bermacam bentuk berupa secangkir kopi. Mulai dari kopi pahit, kopi hitam, dan sanger.

Baca juga:  Inspirasi Dakwah Milenial Mba Ienas (3)

Bubuk kopi diseduh dengan cara tradisional oleh seorang lead barista, dengan mencampur bubuk kopi dimasukkan dalam sebuah saringan panjang lantas dituangkan air panas. Campuran keduanya oleh tangan kiri barista diangkat hingga mentok di atas kepala, lantas aliran air panas yang sudah menjadi air kopi itu dibiarkan mengalir di cangkir hingga memenuhi seisi cangkir atau tiga perempatnya yang disebut sebagai kopi pancong.

Membayangkan barista mengangkat tinggi-tinggi saringan kopi saja sudah bergeleng ini kepala. Tentu tak bisa dibilang ringan mengangkat saringan yang masih penuh bubuk kopi dan air panas itu. Bagi yang belum terbiasa pasti lengan tangan kirinya akan berefek”kemeng”. Bagi yang sudah terbiasa akan berefek otot lengan menjadi kuat.

Campuran bubuk kopi dan air panas akan terasa begitu kuat baik aroma dan rasanya, jika kebagian saat campuran yang pertama. Bagi penikmat kopi sungguhan yang paham proses ini akan banyak memilih campuran bubuk dan air panas itu di campuran pertama. Meskipun ia harus menunggu waktu campuran pertama itu datang.

Selain dengan seduhan tradisional, kopi juga bisa diseduh dengan mesin, demikian biasanya disebut, bukan diseduh secara modern disebutnya. Biasanya output kopi yang diseduh dengan mesin ini adalah kopi espresso atau espresso sanger. Kopi sanger disuguhkan dalam cangkir yang atasnya berisi kopi tanpa ampas dan bawahnya berisi susu kental manis. Campuran keduanya sengaja tidak diaduk oleh barista, sehingga nampak wujud bagian atas dan bawahnya, dan memberikan keluasan bagi penikmat kopi merasakan sensasi adukan mandirinya.

Baca juga:  Mendaki Gunung Argopuro: Keindahan Alam dan Cerita Mistis Rengganis

Di setiap perjamuan, kopi bukan hanya secara literal menjadi kekayaan menonjol kuliner Aceh saja, tetapi di dalam setiap cangkir kopi ada dampak berganda selain aroma dan rasa yang dihasilkan. Ketika bibir ini berkali kali menyentuh tepi gelas akan terus mengalir perbincangan yang akan mengikat kekuatan persaudaraan.

Sama halnya dengan kami yang datang di pagi hari ini. Menikmati kopi dan kuliner pelengkapnya, mulai dari makanan berat berupa Nasi Gurih, Mie Aceh, Mie Bangladesh, atau aneka kue kue basah mulai dari kue khas Sigli Bernama kue Pae, kue Putri Mesisik, atau kue Jala. Aneka kue tersebut pasti akan dihidangkan meskipun tanpa diminta. Penghidangannya akan membersamai secangkir kopi dan juga segelas air hangat.

Dalam hal makanan berat, uniknya makanan tersebut dibuat bukan oleh pemilik kafe itu sendiri. Tetapi menghadirkan pedagang makanan yang mangkal permanen di kafe tersebut. Meskipun sistem order dan pembayarannya terpusat menjadi satu.

Pola ini bukan hanya ada di dalam kafe tempat kami datang pagi ini, tetapi hampir semua kafe yang ada di Kota Band Aceh mengadopsi pola yang sama persis. Pola kerjasama ini mencerminkan bahwa pemilik kafe tidak ingin menguasai ladang rejeki secara sendirian, namun mereka berbagi dengan pedagang yang lain, yang tentu ada timbal balik nilai ekonomisnya.

Apakah kafe kafe ini akan menjadi ramai ketika pelancong seperti kami berdua akan banyak yang datang ke kota Aceh saja?. Ternyata tidak. Dalam keseharian, hampir semua kafe di kota ini tak pernah sepi. Lantas siapa pengunjungnya? Ternyata warga lokal dengan segala macam profesi dan kepentingan mengalir setiap hari secara bergantian ikut meramaikan kafe-kefe ini.

Baca juga:  Tower of Silence, Peristirahatan Terakhir Penganut Majusi

Sudah menjadi kebiasaan bagi warga Aceh, ketika lepas Sholat Subuh sebelum melakukan aktivitas lain dimulai dengan nyeruput secangkir kopi. Maka jangan kaget kalau keramaian kafe itu sudah dimulai berbarengan dengan terbitnya fajar pagi.

Keramaian itu terus berlanjut, ketika matahari sudah mulai naik, meninggi, saat jam kantor baru dimulai. Sebelum aktivitas kerja dimulai, kebanyakan mereka akan mampir ngopi. Saat jam kerja aktif pun, banyak pengunjung yang hadir ngopi dan memanfaatkan jaringan wifi untuk bekerja. Dalam hal ini, kafe menjadi semacam co-working space murah yang dimanfaatkan oleh para pekerja.

Keramaian ini terus berlanjut hingga malam. Namun, bukan berarti menghilangkan khazanah syariah yang melekat di provinsi ini. Jangan pernah Anda berharap menemukan kafe buka saat Sholat Jumat dan Sholat Maghrib tiba. Semua kafe tutup total. Apalagi di bulan Ramadhan. Sepanjang waktu puasa tidak akan ada kafe buka, dan baru akan buka setelah Sholat Maghrib atau bahkan tak sedikit yang baru buka setelah sholat tarawih.

Bagi Anda yang pernah berkunjung ke Serambi Mekkah dan penikmat kuliner, dipastikan akan ikut terlarut dengan kekayaan kuliner dan segala dampak yang ditimbulkannya. Saking berdampak, khazanah kuliner yang berwujud kafe ini sudah mulai melebar ke beberapa kota besar lain di Sumatera. Seperti Medan, Pekanbaru, atau Palembang. Sudah banyak ditemui kafe berkhazanah Aceh. Maka tak heran, kalau Aceh sekarang menjajah kota kota besar tetangganya melalui ekspansi kafe-kafenya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top