Pada tahun 2003 silam, waktu menjelang Maghrib, kami berempat -aku, istri, almarhum Abah dan Umik- sampai di depan halaman teras pondok Bumi Sholawat di Tulangan Sidoarjo. Kami langsung mengambil tempat duduk dengan beberapa tamu lain yang juga sudah antri menunggu. Sambil menunggu Kiyai keluar dari ndalem, saya celingukan melihat seputaran halaman teras pondok, dan saya melihat ada mobil opel blazer yang sudah siap keluar dari area parkirnya. Seketika saya berpikiran, jangan jangan Kiyai akan segera tindak. “Apes tenanan iki, bisa bisa ndak bisa sungkem sama kiyai, padahal sudah jauh-jauh datang dari Malang.”
Belum habis dan berlanjut gumaman hati saya, Kiyai yang kami tunggu tunggu akhirnya keluar dari ndalem. Beliau, Gus Ali -panggilan akrab beliau- sambil terlihat tergesa tetap menemui tamu-tamu beliau yang sudah menunggu antri. “Ngapunten, kulo bade tindak dateng medunten, bade ngisi pengajian ten Pamekasan -mohon maaf, saya akan segera ke Madura karena mengisi pengajian di Pamekasan-.”
Benar juga tebakan saya sebelumnya, setelah melihat mobil opel yang sudah siap keluar dari parkir, padahal sebelumnya saya belum pernah tahu kendaraan beliau itu apa.
Giliran kami, Gus Ali ngendikan ke Abah, “Panjengan saking pundi? -Bapak darimana?-”
“Saking Malang Gus -Dari Malang Gus-” jawab Abahku.
“Wonten perlu nopo -ada perlu apa?-”
“nyuwun bantuan barokah pindungo mawon Gus -mohon bantuan berkah doanya saja Gus-“. Seketikanya Gus Ali mengangkat tangan beliau dan langsung berdoa, dan kami pun mengaimininya.
Setelah selesai berdoa, Abah dan saya bersalaman ke beliau dan sambil “menempelkan bisyaroh” sebagai sedekah kami ke pondok beliau.
Tanpa disangka, beliau memanggil bojoku, “eh..cah ayu…rene nyedek -Eh..anak ayu, kemari-”
Istriku terhentak dan nderodok karena tiba tiba ditimbali Kiyai. Sebagai santriwati yang pernah mondok, kalau dipanggil kiyai pasti akan muncul grogi terlebih dahulu, karena bukan hanya kuatir didukani -dimarahi- tapi bisa jadi diberikan kepercayaan yang kadang dianggap melebihi kapasitasnya.
Istriku mendekat, dan 2 amplop bisyaroh yang saya dan Abah berikan ke beliau tadi malah diberikan kepada istriku. Kaget? Iya jelas, tapi juga kami semua senang. Bukan karena amplop tadi kembali lagi, tapi kami yakini ada isyarat baik yang kami dapatkan setelah sowan ke beliau. Saya memaknai, bahwa Gus Ali memberi pesan kalau sumbu rejeki keluarga mu itu ya ada pada istri mu. Muliyakan dan bahagiakan dia, maka rejeki dan hidupmu akan makin berkah.
——–
Gus Ali Masyhuri adalah ulama’ yang dikenal cukup nyentrik sekaligus sangat bersahaja. Beliau bukan hanya ‘alim dalam urusan keagamaan, tetapi juga sangat ‘alim dalam urusan sosial kemasyarakatan. Saya mengenal beliau bukan hanya sebagai kiyai saja, tetapi juga dari beberapa tulisan beliau di beberapa media masa. Menariknya, beliau juga sangat piawai membuat analisa pertandingan sepak bola dan dituangkan dalam bentuk tulisan.
Cara beliau menyampaikan dakwah khas dengan pendekatan yang sangat merakyat. Isinya dikemas dengan bahasa sederhana dan diselingi cerita humor membuat audiens yang mendengarkan ceramah beliau tidak akan segera beranjak dari tempat duduknya masing masing. Gus Ali sangat memahami situasi sosio-psikologi dari masyarakat yang menjadi pendengar di setiap ceramah beliau.
Gus Ali berupaya memahamkan, bahwa setiap pitutur yang disampaikan benar benar akan keluar dari hati beliau yang terdalam, karena dengan ini beliau meyakini pitutur tersebut akan terserap masuk dari telinga lantas terendap dalam relung hati yang dipituturi. Beliau bukan tipikal kiyai yang hanya pandai merangkai kata dan bermain dengan liukan lidah, tetapi beliau selalu menyampaikan dengan bahasa kalbu dan apa adanya.
Ada beberapa kata kunci -key words- di setiap kali beliau memberikan ceramah. Jika sudah berkali kali muncul kata “catet, understand, password kali ini”, maka itu menjadi pertanda ada bagian penting yang menjadi intisari ceramah beliau.
Gaya santai dan selingan humor menjadikan suasana ceramah beliau selalu diwarnai dengan ger-geran, merupakan tanda bahwa memahami agama itu tak perlu melulu serius. Memahami agama diperlukan suasana santai dan cair, agar penyerapannya menjadi sangat mudah. Gus Ali sering berpesan, janganlah sampeyan-sampeyan semua bersumbu pendek, sehingga mudah terbakar dan marah dalam menyikapi banyak hal.
Kecintaan beliau terhadap Rasulullah menjadi bagian terpenting dalam setiap pikiran dan gerak amalan beliau. Tak pernah luput dari setiap ceramahnya selalu mengajarkan bagaimana kecintaan kepada Rasulullah adalah hal yang sangat penting. Ajakan bersholawat kepada Rasulullah menjadi trade mark beliau dalam berdakwah, namun tidak hanya berhenti pada ucapan sholawat saja, tetapi juga lelaku yang diselaraskan.
Kecintaan kepada Rasulullah terus dibumikan beliau dan oleh karenanya pesantren dan semua lembaga pendidikan beliau dilabeli sebagai “Bumi Sholawat”. (RM)