Sedang Membaca
Makna Moderat dalam Al-Qur’an dan Hadis

Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga yang suka ngopi dan diskusi. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Nurul Ulum, Ogan Komering Ilir Sum-Sel.

Makna Moderat dalam Al-Qur’an dan Hadis

Mengapa Cara Baca Alquran

Kata moderat di dalam diskursus agama Islam bermuara dari bahasa Arab yaitu waw, sin dan tha’. Di dalam bahasa Arab kata “wasatha” memiliki dua cara baca yang berbeda, dengan kandungan makna yang berbeda pula. Merujuk pada kita Lisân al-‘Arab yang sangat masyhur itu, yaitu wasthun, huruf sin dibaca sukun yang memiliki “di antara”.

Kedua kata tersebut dibaca dengan wasatha. Huruf sin dibaca dengan harakat fatha, kata ini mengandung beberapa arti yang saling berdekatan antara lain: pertama ia mengandung arti “sesuatu yang berada antara dua sisi”. Kedua berarti “terbaik” atau “paling mulia” dan ketiga yaitu “adil”.

Dari ketiga arti tersebut penulis mengungkapkan bahwa maknanya saling berdekatan satu sama lainnya, karena sikap adil itu adalah “tidak condong pada salah satu sisi ketika ia berada di antara dua sisi”, kemudian sikap adil juga tidak akan timbul dalam diri kecuali pada diri yang mulia.

Setelah sedikit membahas makna wasatha secara bahasa di dalam bahasa Arab, maka berlanjut kepada makna secara istilah yang termanifestasikan ke dalam Al-Qur’an. Kata yang berasal dari kata ini dibahas di dalam Al-Qur’an pada beberapa objek pembahasan antara lain adalah firman Allah Swt sebagai berikut:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil.” (al-Baqarah [2]: 143)

Baca juga:  Transliterasi, Transkripsi, dan Membaca Alquran

Mengenai ayat ini, Wahbah al-Zuhaily mengatakan di dalam tafsirnya, at-Tafsîr al-Wajîz, “Kami jadikan kalian umat yang terbaik, adil dan sebagai umat yang moderat”.

Dalam memaknai kata wasatha ia menggunakan kata yang sama yaitu adil, terbaik, moderat, hal ini menunjukkan bahwa Islam pada dasarnya memiliki karakter yang moderat atau adil dalam menyikapi suatu hal, dalam hal ini adalah kesaksian terhadap para Nabi terdahulu bahwa mereka telah menyampaikan risalah-Nya kepada umat mereka.

Pada tafsir al-Kassyâf, Syeikh az-Zamkhasyari mengatakan bahwa arti wasatha adalah terbaik. Dikatakan juga bahwa terbaik itu adalah “berada di tengah-tengah”, atau ada juga yang mengatakan bahwa ia mengandung makna adil karena tengah-tengah adalah adil antara semua sisi bukan condong kepada salah satu dari semua bagiannya.

Lalu pada ayat lain Allah Swt berfirman:

“Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wusthaa”. (QS. al-Baqarah [2]: 238)

Untuk memperjelas makna kata wustha yang dimaksud pada konteks ini, maka perlu kiranya sedikit menyebutkan tafsiran ulama tentang ayat tersebut. Salah satunya adalah apa yang dikatakan oleh Imam at-Thabari dalam tafsir Tafsir at-Thabari bahwa salat wustha adalah salat Asar, lalu setelah me-rajjih bahwa salat wustha adalah Asar. Ia mengatakan, “Dikatakan demikian karena letaknya yang berada di tengah-tengah antara salat wajib lima waktu”. Mengapa dikatakan ashar?

Baca juga:  Khilafah dan Fikih Muamalah (Refleksi Pasca Putusan PTUN atas Gugatan HTI)

Karena ia terletak setelah dua salat, subuh dan zuhur, dan juga terletak sebelum dua salat. maghrib dan isya’, itulah yang menjadi alasan atas pendapat tersebut.

Kemudian Imam at-Thabari juga menjelaskan pendapat lain yang mengatakan bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah salat Maghrib. Pasalnya yang dimaksud wustha adalah adil antara dua perkara. Ia mengatakan adil di sini adalah tidak banyak dan juga tidak sedikit jumlah rakaatnya. Dibandingkan dengan salat fardlu lainnya, salat Maghrib itu berada di tengah-tengah, yaitu tiga rakaat sedangkan yang palig sedikit adalah dua dan paling banyak adalah empat rakaat.

Dari kedua pendapat tersebut di atas, meskipun ada perbedaan pada salat apakah yang dimaksud, namun yang menjadi titik fokus adalah perspektif pemaknaan kata wustha tersebut merupakan salat yang berada di tengah-tengah, baik itu pada segi waktu pelaksanaan maupun jumlah rakaat salat tersebut.

Di dalam hadis-hadis Rasulullah saw juga banyak menyebutkan tentang kata wasatha pada beberapa konteks yang berbeda, antara lain seperti halnya hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat seratus tingkatan yang Allah Swt persiapkan bagi para mujahid di jalan Allah, dan jarak antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya itu sebagaimana langit dan bumi, apabila kalian memohon maka memohonlah kepada Allah Swt agar mendapatkan surga Firdaus, karena surga Firdaus adalah surga yang paling tinggi dan mulia tingkatannya.”

Baca juga:  Dekrit Presiden Gus Dur dan Sidang Istimewa Ketua MPR Amien Rais

Di dalam hadis tersebut mengatakan bahwa surga Firdaus adalah surga yang paling mulia, untuk mengungkapkan kata mulia tersebut Rasulullah saw menggunakan kata awsatha. Hal ini sejalan dengan apa yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, bahwa mulia juga merupakan salah satu dari makna wasatha.

Pada hadis lain juga Rasulullah saw bersabda:

“Keberkahan itu berada pada pertengahan makanan, maka makanlah dari pinggir (tepi) dan jangan makan dari tengah makanan”.

Kata wasatha pada hadis itu bagaikan sesuatu yang menjadi titik tengah dan pertengahannya, atau ia merupakan titik tempat bertemunya antara semua sisi yang ada dengan jarak yang sama. Seperti halnya makna pada penjelasan sebelumnya, kata wasatha di dalam dua hadis di atas juga mengandung arti mulia (tinggi) dan pertengahan.

Dengan demikian, maka sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa kita umat Islam dianugerahi jalan yang tidak diperkenankan condong pada satu sisi saja, melainkan harus berlaku adil, moderat, dan sejenisnya. Tidak ekstrim kanan, pun tidak ekstrim kiri. Sebab apabila umat Islam telah condong di antara keduanya, maka pada titik itulah Islam akan banyak disalahpahami dan jauh dari rahmatan lil ‘alamin.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top