Sedang Membaca
Laku Spiritual Sahal al-Tustari di Tengah Budaya Konsumerisme

Mahasantri Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo dan Pengajar di PP. Salafiyah Dawuhan.

Laku Spiritual Sahal al-Tustari di Tengah Budaya Konsumerisme

kisah hikmah islam

Sebagaimana lumrahnya orang muslim, anak-anaknya sudah terbiasa untuk dipondokkan agar mencari ilmu, atau minimal dimasukkan ke madrasah. Demikian pula, Sahal al-Tustari oleh keluarganya ingin dikirim ke pondok untuk menuntut ilmu.

Kita tahu bahwa Sahal al-Tustari saat masih kecil sudah menjalani kehidupan spiritual di rumahnya sendiri dan dipandu langsung oleh pamannya sendiri, Muhammad bin Sawwar. Bahkan ia mengalami kenikmatan dalam laku spritualnya tersebut. Maka tatkala hendak dipondokkan ia sedikit enggan dengan alasan khawatir tidak lagi melakukan amalan yang pernah diberikan pamannya.

Namun keluarganya terus mencari cara agar Sahal al-Tustari mau belajar di madrasah. Setelah melakukan perundingan antara Sahal dan keluarganya maka keduanya memutuskan suatu kesepakatan agar Sahal tetap belajar di madrasah meski tidak berasrama di sana. Artinya Sahal tetap bisa pulang setiap hari (atau lebih dikenal dengan istilah nyolok: madura red).

Sahal pun menjalani kegiatan barunya yaitu belajar agama dengan sungguh-sungguh hingga mampu menghafalkan al-Qur’an di saat berumur enam atau tujuh tahun. Sedangkan kegiatan lamanya yakni menjalani laku spiritual tetap dilaksanakan bahkan ditingkatkan dengan cara berpuasa terus-menerus. Dan menu buka puasanya hanya roti dari gandum (makanan biasa). Fase ini dijalani hingga berumur dua belas tahun.

Setahun kemudian, ketika Sahal menjelang kematangan umurnya, ternyata mengalami krisis spiritual dan ada kemuskilan yang dihadapi dirinya. Ia pun berinisiatif untuk menanyakan kemuskilan yang dialami kepada ulama-ulama Basrah. Dengan tekad yang kokoh akhirnya ia berpamitan kepada keluarganya untuk mengarungi kehidupannya ke Basrah. Setelah sampai di Basrah, Sahal pergi ke satu ulama ke ulama lain yang tinggal di Basrah dalam rangka mencari jawaban dari kemuskilannya.

Baca juga:  Allah, Rahim, dan Kasih Sayang

Namun sayang, dari sekian banyak ulama yang ada di sana tidak satupun  memberi jawaban yang memuaskan bagi Sahal. Akan tetapi, Sahal tidak putus asa untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang menggelisahkan dirinya itu, maka dia memutuskan untuk pergi ke daerah Abdan di kota Iran.

Di sana dia menemui seorang ulama yang dikenal dengan Abu Habib Hamzah bin Abdillah al-Ubbadani. Ia pun menceritakan dan bertanya soal kemuskilan yang selama ini diemban. Dan akhirnya ia mendapatkan jawaban yang memuaskan serta berhasil membuat jiwanya tenang nan damai.

Maka ia memutuskan untuk berguru padanya dan tinggal di sana. Sehingga ia berhasil mengambil banyak hikmah dari nasehat gurunya tersebut dan menteladani gurunya. Setelah dirasa cukup, Sahal pun pulang ke daerah asalnya yaitu daerah Tustar. Di sana ia kembali menjalani laku spritualnya. Bahkan kebiasaanya tetap dijalani yaitu berpuasa dan terus-menerus makan sederhana. Menurut ungkapannya sendiri, dia cuma membutuhkan satu dirham dalam satu tahun. Dengan cara membeli gandum (yang paling murah) kemudian diolah menjadi roti. Dari roti itu hanya secuil untuk dimakan saat sahur tanpa lauk-pauk dan bumbu (garam).

Merasa sudah terbisa dengan itu, kemudian ingin meningkatkan kembali dangan cara berpuasa selama tiga hari dan tidak berbuka pada satu malam saja. Kemudian hari ditingkatkan lagi menjadi puasa lima hari, kemudian puasa tujuh hari tanpa henti, kemudian dua lima hari berpuasa tanpa henti dan tidak makan sama sekali. Kondisi seperti itu berjalan hingga dua lima tahun. Imam Ahmad pun menceritakan bahwa tidak pernah melihat Sahal al-Tustari makan garam (makanan enak) hingga beliau wafat.

Baca juga:  Mistisisme dalam Dunia Islam (1): Definisi, Pendapat Tokoh, hingga Pengendalian Diri

Sahal al-Tustari tidak ujuk-ujuk mampu menjalani kehidupan seperti itu, beliau juga mengalami proses yang panjang. Suatu Ketika, beliau ditanya mengenai awal mula prosesnya tersebut. Beliau menjawab bahwa dirinya mengatur dan memberi batas dalam mengkonsumsi makanan. Beliau mangatakan sebagaimana dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin [3/86]

وَسُئِلَ سَهْلٌ عَنْ بِدَايَتِهِ ، وَمَا كَانَ يَقْتَاتُ بِهِ فَقَالَ : كَانَ قُوتِي فِي كُلِّ سَنَةٍ ثَلَاثَةَ دَرَاهِمَ ، كُنْتُ آخُذُ بِدِرْهَمٍ دِبْسًا ، وَبِدِرْهَمٍ دَقِيقَ الْأَرُزِّ ، وَبِدِرْهَمٍ سَمْنًا ، وَأَخْلِطُ الْجَمِيعَ وَأُسَوِّي مِنْهُ ثَلَثَمِائَةٍ وَسِتِّينَ أُكْرَةً ، آخُذُ فِي كُلَّ لَيْلَةٍ أُكْرَةً أُفْطِرَ عَلَيْهَا . فَقِيلَ لَهُ : فَالسَّاعَةَ ? كَيْفَ تَأْكُلُ قَالَ : بِغَيْرِ حَدٍّ وَلَا تَوْقِيتٍ

“Sahal ditanya soal awal proses laku spritualnya. Apa makanan pokokmu? Aku menghabiskan tiga dirham selama tiga tahun. Dengan cara membeli madu seharga satu dirham dan tepung satu dirham kemudian minyak samin satu dirham lagi. Setelah itu, aku memproses dengan cara dicampur semuanya dan dijadikan 360 bulatan dengan ukuran yang sama. Setiap hari aku mengambil satu bulatan untuk dimakan. Kondisi sekarang?. Aku makan tanpa kadar dan tanpa waktu tertentu”

Keterangan beliau ini sesuai dengan keterangan yang lain ketika ditanya dengan persoalan yang sama. Imam al-Ghazali dalam bab [3/94] yang lain mengutipnya sebagai berikut;

Baca juga:  Ngaji Rumi: Kisah Mistis Ahadits Matsnawi, Kitab Induk Para Pengkaji Rumi

حُكِيَ عَنْ سَهْلٍ أَنَّهُ قِيلَ لَهُ : كَيْفَ كُنْتَ فِي بِدَايَتِكَ ؟ فَأَخْبَرَ بِضُرُوبٍ مِنَ الرِّيَاضَاتِ مِنْهَا أَنَّهُ كَانَ يَقْتَاتُ وَرَقَ النَّبْقِ مُدَّةً ، وَمِنْهَا أَنَّهُ أَكَلَ دِقَاقَ التِّينِ مُدَّةَ ثَلَاثِ سِنِينَ ، ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ اقْتَاتَ بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ فَقِيلَ لَهُ : فَكَيْفَ أَنْتَ فِي وَقْتِكَ هَذَا فَقَالَ ؟ : آكُلُ بِلَا حَدٍّ وَلَا تَوْقِيتٍ

“Sahal ditanya, bagaimana kondisi awal hidup spiritualmu? Aku menjawab bahwa aku menjalani banyak macam latihan diantaranya adalah menjadikan daun sidar (sayuran) sebagai makanan pokonya. Dan memakan ranting tin selama tiga tahun dan makanannya hanya mengahabiskan tiga dirham selama tiga tahun. Kondisimu sekarang bagaimana? Aku makan tanpa batasan dan waktu”

Imam al-Ghazali menafsiri jawab Sahal yang terakhir, yaitu “makan tanpa batas dan waktu tertentu” bukan berarti makan banyak. Justru tanpa batas dan waktu itu menunjukan bahwa Sahal lebih sedikir lagi dalam mengkonsumsi makanan. Laku spiritual akan pentingnya lapar sebagaimana dilakukan oleh Imam Sahal tidaklah mudah namun bukan berari mustahil. Akan tetapi setidaknya kita bisa membendung budaya konsumerisme yang sangat gencar di zaman ini.

 

.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top