Nadhlatul Ulama’ (NU) memang selalu menjadi ormas primadona dan seksi dalam setiap momentum politik di Indonesia. Khususnya, di Jawa Timur, banyak kandidat politik, baik eksekutif maupun legislatif, tiba-tiba merasa paling NU. Sepertinya tidak mungkin ada calon yang terpilih tanpa dukungannya. Tidak mengherankan, jika “merasa nahdliyah” bukan hanya diwacanakan oleh aktor-aktor partai yang lahir dari NU saja. Partai-partai nasionalis, demokratis bahkan yang dikenal mayoritas dihuni oleh kader beda ormas pun, juga sering ditemukan berupaya ber-NU ria. Entah apa yang menyebabkan seprimadona itu? Yang pasti, hingga saat ini, penulis yang juga warga nahdliyah Jawa Timur, juga bingung. Pasalnya, pesona NU kadang berlebihan dan memberatkan bahkan menyebabkan pecah belah.
NU Berbudaya Konflik?
Di balik pesona politiknya, tentu ada godaan yang pasti menghantui. “Merasa Nahdliyah” seperti memiliki istri yang amat cantik. Perlu kerja keras untuk menghidupi dan menjaganya. Pesona NU yang lahir dari kebesaran dan kemewahan budaya warganya, telah memikat seluruh mata para aktor politik. Bukan hanya dalam kacamata politik nasional atau pihak eksternal, aktor politik internal NU pun sering goyah iman dan terlibat konflik karena pesona NU sendiri. Jadi, sebenarnya perjuangan para ulama’ dan mu’assis NU terdahulu tidak hanya meninggalkan kemewahan saja, tapi juga mewariskan perkerjaan yang amat berat.
Bayangkan saja, konflik politik perebutan pesona NU terjadi di semua ruang politik. Bukan hanya terjadi antara NU dengan pihak eksternal, juga ada konflik struktural dan kultural internal NU. Mulai dari yang disebabkan fanatisme perbedaan almamater pesantren, kiai atau gus dan ning, hingga perebutan pengaruh di masyarakat akar rumput. Di beberapa daerah di Jawa Timur, pertikaian demikian tidak hanya muncul sebagai konflik struktural saja, namun ada telah berbentuk pertikaian kultural yang bahkan sampai menelan nyawa. Pertikaian demikian tidak mudah diselesaikan, sebab telah menjadi bagian dari warisan yang pada akhirnya dilumrahkan sebagai budaya organisasi. Tidak jarang, kebudayaan onar semacam ini diucapkan dan diakui secara terbuka dengan narasi tanpa bersalah bahwa “NU susah berbaris”.
Parahnya, narasi tentang “NU susah berbaris” didukung dengan dalih, “رحمة أمتي اختالف”. Nalar demikian sebenarnya sangat kacau. Semua tahu bahwa perbedaan menjadi rahmat, jika diartikan sebagai dialektika gagasan, sebagaimana yang ada dalam tradisi bahtsul masail NU. Bukan konflik politik apalagi sampai menelan korban. Tidak tepat, jika konflik yang saat ini terjadi masih dianggap sebagai kekayaan organisasi. Semua pasti paham, bahwa organisasi apapun bentuknya, adalah kumpulan kepala manusia yang berbeda-beda namun tetap bergerak dalam satu visi yang sama. Jika tidak demikian, organisasi akan rapuh dan tentu eksistensi gerakannya melemah. Konsekuensi ini juga mesti terjadi di tubuh NU, jika konflik yang ada malah dilumrahkan, bukan diselesaikan.
Mestinya, setiap konflik perlu dicari akar masalahnya. Bukan dibiarkan, atau malah dijadikan keunikan budaya dengan dalih-dalih yang onar secara paradigmatis. Dalil “perbedaan adalah rahmat”, cukuplah terjadi pada wilayah pertarungan gagasan dan keilmuan dalam memecahkan masalah, bukan untuk melahirkan masalah. Konflik perlu diurai secara tajam dan melahirkan satu argumen holistik yang dapat dipakai bersama guna menguatkan NU. Bukan malah memecah belah.
Jika pun perbedaan itu dibiarkan hidup dalam ruang publik, NU mestinya hanya cukup menjaga agar tetap menjadi pilihan argumentatif warganya dan tidak menjadi sumber perpecahan. Pada titik ini, penulis begitu mengapresiasi semangat PBNU era kepemimpinan Gus Yahya saat ini. Sejak awal menjabat, ia menolak narasi “NU susah berbaris”. Ia menekan seluruh pengurus untuk menanggalkan perbedaan-perbedaan agar dapat berbaris secara rapi. Headline visinya, mendorong NU untuk ikut serta dalam perdamaian dunia. Keren tentunya, dan tampak progresif. Tapi, apakah berhasil? Mari kita urai!
Kebijakan “Sok” Netral
Memasuki musim politik, demi menjaga pesona NU, Gus Yahya dengan tegas memutuskan NU secara kelembagaan memilih jalan netral. Di banyak mimbar, beliau berpidato bahwa tidak ada kandidat yang direkomendasikan NU. Jadi siapapun tidak boleh mengatasnamakan NU dalam kontestasi politik saat ini. Bahkan beliau mengancam, jika ada struktural NU yang terlibat dalam politik, secara tegas akan dipecat. Mendengar hal demikian, mayoritas warga NU tentu menerima dan taat. Pasalnya, semua orang tahu jika konflik di tubuh NU selama ini banyak terjadi karena pencampuran kepentingan pragmatis kelompok politik praksis dan perjuangan NU di akar rumput.
Konflik internal struktural NU di beberapa daerah kebanyakan terjadi karena ditunggangi kelompok-kelompok politik. Kiai yang berbeda pilihan politik melahirkan ekstremisme dan sentimen santri-santrinya. Padahal aktor-aktor politik yang menunggangi tidak mesti orang NU sendiri. Kebanyakan mereka berasal dari kelompok elit nasional bahkan internasional yang hanya ingin memakai pesona NU untuk menundukkan masyarakat. Garis besarnya, kesepahaman pada keputusan Gus Yahya, sebenarnya karena semua warga NU menginginkan menjauh dari kepentingan konflik politik.
Kesepakatan pada kebijakan Gus Yahya, ternyata pada akhir melemah. Kebijakan tentang netralitas NU tidak benar-benar dilakukan. Warga NU seolah dipertontonkan anekdot politik sok resolutif. Apa tidak lucu, saat Gus Yahya memproklamirkan kebijakannya, struktural atau staf-staf NU dari cabang hingga PBNU, terlihat aktif mendukung bahkan mencalonkan diri dalam kontestasi politik. Tidak terkejut, jika pidatonya dianggap sekedar wacana kampanye kesucian saja, tanpa tindakan yang nyata dan strategi yang matang.
Kebijakan netralitas semestinya bukan hanya dipidatokan. Perlu ada strategi yang dipertimbangkan secara matang. Memilih untuk netral di tengah warga dan pengurusnya sedang asyik berpolitik, tentu tidak mudah. Tidak hanya dapat dilakukan dengan kebijakan dan proses pecat-memecat saja. Setiap kebijakan mestinya melalui proses assessment, baik internal maupun eksternal. Salah satu pertanyaan mendasar sebelum memutuskan netralitas, misalnya, “apakah secara internal pengurus atau elit PBNU telah mampu bersikap dan seutuhnya menjaga netral?”. Ini pertanyaan umum dari internal assessment. Kalau jawabannya, “tidak”, tentu kebijakan netralitas tidak boleh dibuat. Namun, jika jawabannya “telah siap”, kenapa masih banyak terjadi pelanggaran internal?
Resolusi Akar Rumput
Warga NU tentu telah memahami siapa saja elit-elit struktural saat ini. Dari banyak pemberitaan, mereka tahu bahwa banyak elit PBNU yang terlibat dalam proses dukung mendukung bahkan menjadi kandidat politik praksis. Bahkan, bukan hanya elit struktural PBNU dan banom-banomnya saja, masyarakat juga pasti memahami bahwa dari struktural PWNU, PCNU hingga MWCNU, susah untuk tidak terlibat dalam politik praksis. Apalagi di Jawa Timur, para pengurus sangat susah untuk menjaga jarak dari iklim politik. Pasalnya, banyak kiai yang selain menjadi pengurus NU, juga menjadi pengurus partai. Tentu, juga banyak partai yang tidak ingin kehilangan mereka, sebab menjadi magnet pesona NU dalam meningkatkan dukungan.
Kalau assessment pada masalah di atas dilakukan dengan sempurna, kebijakan netralitas tidak akan menghadapi polemik. Masyarakat tidak mungkin protes, jika kebijakan diambil dengan terlebih dahulu menjamin kesiapan struktural internal elitnya. Tidak mungkin akan kehilangan kepercayaan, jika Nyai Mahfudhoh Ali Ubaid (Dewan Pembina PP Muslimat NU), KH. Ali Masykur Musa (Ketua Umum PP ISNU), lebih dahulu dicutikan karena mendukung Paslon 02. Bahkan tidak akan ada warga NU Jawa Timur yang protes dipecatnya, KH. Marzuki Mustamar, sebagai PWNU, jika Eric Thohir sebagai pendukung resmi Prabowo-Gibran, sebelumnya tidak dilantik sebagai ketua Lakpesdam PBNU.
Usaha humoris PBNU yang hanya tampak “sok resolutif” demikian ini, tentu disayangkan seluruh pihak. Kebijakan netralitas tampak hanya alibi untuk lebih mempermahal pesona NU dalam transaksi politik. Semahal apapun pada akhirnya akan ada yang membeli. Tunggu saja, ketika telah ada kelompok politik yang sanggup membayarnya, netralitas akan berubah. Perubahannya tentu dengan dalil. Sebagai warga NU yang baik, mari tunggu dalil-dalil itu, kemudian kita jadikan sebagai perbedaan argumentatif. Nikmati perbedaan elit NU kita, sebagai dialektika dalil saja, tak usah bertengkar dan ikut campur pada masalah mereka. PBNU saat ini sebenarnya tidak mengajak berbaris. Jadi, cukuplah berbaris melalui kebudayaan lokal di daerah masing-masing saja. Minimal, kita tidak ikut bertengkar karena fanatisme kiai dan elit NU yang terjadi dewasa ini. Mari jaga pesona solidaritas masyarakat NU dari akar rumput, agar NU tetap seksi dan tak ternilai harganya sebagai primadona politik.