Di antara negara-negara di lingkungan Uni Eropa, Jerman termasuk yang menghadapi masalah stagnasi vaksinasi Covid-19 dalam beberapa waktu terakhir ini — tertahan di angka 62% dari total populasinya. Hal ini terjadi meskipun berbagai varian vaksin diberikan secara cuma-cuma tanpa perlu membuat perjanjian di berbagai lokasi publik seperti stadion bola, supermarket, bahkan di dalam kereta.
Demikian juga berbagai bentuk “reward and punishment” yang diberikan oleh pemerintah untuk mendorong kenaikan angka tersebut tak kunjung memberikan hasil. Bila melihat penuhnnya restoran, pusat perbelanjaan, atau juga fasilitas publik, seakan orang-orang cenderung “lupa” bila masa pandemi masih berlangsung. Sebagian bahkan sudah berbincang soal libur Natal dan Tahun Baru.
Pemerintah pun tak habis pikir. Muncul strategi untuk mempersempit protokol 3G menjadi 2G dalam interaksi di ruang publik, disamping tetap menjaga prokes standar. 3G membatasi interaksi antar individu kecuali bagi orang-orang yang sudah sembuh dari Covid-19 (Geniessen), tervaksinasi penuh (Geimpft), atau hasil tes antigen menunjukkan negatif (Getestet). 2G bermaksud meninggalkan metode tes antigen sepenuhnya, dengan tujuan antara tes berbayar setelah sebelumnya gratis.
Pendekatan lain yang dipilih oleh pemerintah Baden-Württemberg, misalnya, adalah tak lagi membayarkan kompensasi gaji yang hilang bagi pekerja yang mengalami karantina sebab hasil tes PCR-nya positif sekembalinya dari area beresiko. Singkatnya, pemerintah mencoba mempersulit ruang gerak anggota masyarakat yang belum kunjung divaksin hingga angka vaksinasi mencapai minimal 85%.
Atas langkah-langkah tersebut, pemerintah maupun warga Jerman yang terkenal demokratis dan “play by the book” itu pun terpecah setidaknya dalam tiga kelompok: (1) yang sudah divaksin, mencapai 62%, (2) yang tak bersedia divaksin sama sekali, menurut RKI hanya sekitar 5 hingga 10%, dan (3) sisanya, yang belum yakin apakah harus segera divaksin, sekitar 33 hingga 28%.
Sementara wakil rakyat, baik tingkat nasional dan lokal disibukkan dengan pemilihan Kanselir yang baru pengganti “Mutti” Merkel, mereka masih juga berdebat soal pembatasan akses di ruang publik bagi dua kelompok terakhir tersebut — sebagian cenderung mendorong agar pemerintah lebih otoriter, sebagian lagi masih juga membebaskan pilihan tersebut pada masyarakat.
Di sisi yang lain, kekerasan kepada penganjur protokol kesehatan, seperti petugas SPBU atau kasir supermarket, diketahui meningkat. Sesuai protokol yang berlaku, mereka tentu saja menolak melayani pelanggan yang tak mau menggunakan masker saat memasuki ruang tertutup. Satu kasus bahkan berujung pada meninggalnya seorang petugas SPBU di Trier pasca ditembak seorang pelanggan setelah ia diingatkan untuk menggunakan masker.
Bila laju vaksinasi Jerman masih tetap stagnan pada angka 62% hingga libur Natal dan Tahun Baru, ditambah dengan laju penularan yang kembali meningkat (ditengarai disebabkan oleh varian Delta), bukan tidak mungkin Jerman akan mengalami puncak gelombang penularan keempat. Bila benar demikian, tak heran kiranya bila pemerintah kembali menerapkan strategi lockdown sebelum musim liburan berlangsung.
Di hari peringatan Jerman Bersatu yang ke-31 ini, apakah mungkin pemerintah dan warga Jerman dapat bersatu dalam melawan pandemi Covid-19 yang ternyata masih juga menyisakan resiko besar meski sudah berlangsung hampir dua tahun yang lalu?