Sedang Membaca
Pengalaman Seorang Santri, Supaya Cepat Membaca, dan Memahami Kitab Kuning
Moh. Syahri
Penulis Kolom

Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Ma'had Aly Al-Hikam Malang, Pernah Nyantri di pondok Pesantren Darul Istiqomah Batuan Sumenep

Pengalaman Seorang Santri, Supaya Cepat Membaca, dan Memahami Kitab Kuning

Whatsapp Image 2021 09 13 At 18.00.25

Banyak sekali dari kita masih kesulitan dalam membaca dan memahami kitab yang berbahasa Arab. Termasuk saya pribadi. Ternyata, untuk bisa membaca dan memahami kitab yang berbahasa Arab tak cukup hanya bisa memahami ilmu Nahwu dan ilmu Sharaf.

Begitu banyak orang yang memahami Nahwu-Sharaf namun seringkali gagal memahami isi kitab itu sendiri. Bagaimana ini bisa terjadi? Tentu saja banyak faktornya.

Membaca literatur Arab klasik tanpa harakat, seperti kitab Fathul Qarib, Safinatunnajah, Kifayatul Awam dan kitab-kitab gundul lainnya menjadi ciri khas santri. Seperti yang dikatakan guru saya al-alim allamah KH. Abdul Hadi al-Hafidz, “Kamu, kalau mengidolakan para sahabat, para ulama terdahulu ya harus membaca karyanya, dan karya yang otoritatif adalah karya yang berbahasa arab. Masak mondok bertahun-tahun belum bisa membaca kitab.” begitulah kira-kira motivasi beliau ketika ngaji tafsir di pesantren mahasiswa Al-Hikam Malang.

Hari ini banyak sekali buku terjemahan yang diringkas atau secara keseluruhan dari kitab ulama klasik terdahulu, namun tak semua bisa menerjemahkan dengan baik dan benar sesuai konteks dan paradigma disiplin keilmuan. Banyak sekali penerjemah hanya menerjemahkan kitab secara tekstualis saja. Hasilnya bukan membantu dalam memahami kitab tapi malah semakin tidak paham dan mengaburkan pemahaman yang benar dari kitab aslinya. Bahkan sebagian penerjemah mengurangi terjemahannya dari teks kitab aslinya.

Baca juga:  Tasawuf Ibnu Arabi dalam Keris Jawa

Berdasarkan pengalaman pribadi yang kebetulan juga jadi pedagang buku berbagai genre mulai dari terjemahan nasional hingga internasional, terkadang saya menemukan kejanggalan terhadap buku terjemahan yang saya baca. Baik dari sisi konten maupun konteks. Bukan hanya saya, setelah saya konfirmasi ke guru atau ke teman yang lebih paham dari saya ternyata memang benar ada sedikit kesalahan dan typo.

Apakah itu sebuah kesalahan yang disengaja atau tidak, tentu saya tidak paham dan tak mau berpikir sejauh itu. Namun, manakala kita terlalu mengandalkan buku terjemahan maka potensi kesalahpahaman dalam memahami bacaan literatur kitab klasik itu ada. Karenanya dibutuhkan konfirmasi dan pemahaman sendiri secara komprehensif baik itu melalui guru, atau bacaan langsung ke sumber primer.

Menurut guru saya, KH. Abdul Hadi al-Hafidz, orang yang memahami Nahwu Sharaf hanya 20 persen bisa membaca dan memahami isi kitab. Tidak bisa secara keseluruhan.

Saya masih ingat betul dulu ketika saya akan masuk kampus dan pesantren melalui jalur beasiswa tahun 2017 dulu. Salah satu orang yang menguji bacaan kitab saya adalah KH. Abdul Hadi al-Hafidz.

Pesan beliau ketika saya mengakhiri bacaan dengan kalimat “Wallu a’lam bisshawab” “teruslah membaca kitab dengan kemampuanmu, membaca kitab itu butuh keterampilan, keterampilan itu harus terus diupayakan”.

Baca juga:  Kita Masih Berbahasa Indonesia dengan Buruk Sekali Secara Akademis

Selain itu, kata beliau, harus banyak menguasai kosa kata, serta ditopang dengan kemampuan dan wawasan lain. Menjadi penting pengalaman membaca kitab di depan guru itu, yang salah diperbaiki yang sudah benar semakin ditashih kebenarannya. Sehingga pola pikir dan pemahaman akan kitab itu tidak serampangan, konstruktif dalam menyusun pemahamannya dan tentu saja tidak sesat.

Karenanya, menurut beliau kunci dan rahasia untuk cepat membaca dan memahami kitab selain memang harus memahami kaidah bahasa Arab seperti nahwu dan sharaf juga harus tekun mengulang bacaan kitab yang akan dipelajari. Misal, kitab Fathul Qarib, maka tekuni dan baca berulang-ulang kali kitab itu.

Jika kesulitan karena tebal halaman yang cukup banyak dan bisa memakan waktu maka ambillah 10 lembar atau satu bab pembahasan saja. Kemudian yang 10 lembar atau satu bab pembahasan itu diulang-ulang.

Menurut beliau, kalau kita bisa memahami 10 lembar atau satu bab pembahasan dalam satu kitab maka itu akan memudahkan kita ke belakang dalam membacanya. Karena dalam satu kitab nyaris hampir sama susunan kalimat dan redaksinya. Jadi, bacaan ke belakang itu menjadi lebih mudah karena ditopang oleh pemahaman 10 lembar tadi.

KH. Abdul Hadi mengajak kita untuk menekuni satu bacaan agar kita mudah membaca kitab yang tanpa harakat atau istilah lain “kitab gundul” dengan Istiqomah mengulang-ulang sampai benar-benar paham. Ini selaras dengan apa yang dikatakan Najwa Shihab di berbagai forum literasi “Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca. Cuma satu buku. Cari buku itu. Mari jatuh cinta,”.

Baca juga:  Selama Ramadan, Teras Kiai Said Gelar Diskusi

Rahasia dan kunci dari KH. Abdul Hadi al-Hafidz ini sebenarnya pernah disampaikan guru saya di Sumenep tentu saja dengan kalimat dan redaksi yang berbeda, yaitu KH. Hafidhi Syarbini (Rais Syuriah PCNU Sumenep). Saya pernah mencoba dan hasilnya nyaris bisa dikatakan berhasil. Dan waktu itu saya coba menekuni satu kitab Kasyifatussaja (Syarah kitab Safinatunnajah).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top