Sedang Membaca
Maqasid Gus Dur dan Pembaruan Fikih Peradaban 
Moh Nur Fauzi
Penulis Kolom

Pengajar di Universitas KH Mukhtar Syafaat Blokagung-Banyuwangi (UIMSYA) dan Pegiat Literasi Darussalam.

Maqasid Gus Dur dan Pembaruan Fikih Peradaban 

Ekaxjjxu8aaj Rh

Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur telah meninggalkan bangsa ini satu dasawarsa lebih. Namun pemikirannya yang cerdas dan bernas seakan tak lekang oleh sang waktu. Pembaruan pemikiran yang digagasnya bisa ditafsir oleh beragam pemikir dan cendekiawan dari pelbagai perspektif dan kompetensi keilmuan. Salah satu di antaranya adalah melalui perspektif fikih politik (al-fiqh al-siyasi). Tulisan singkat ini berupaya untuk mengurai pemikirannya dari perspektif filsafat hukum Islam (Islamic legal theory). Alasan sederhananya adalah dari beragam tulisannya di berbagai media disinyalir menggunakan pendekatan tersebut.

Pemikiran politik Gus Dur dapat dilacak pada beberapa tulisannya yang membahas tentang relasi agama dan negara. Sebagai bangsa yang plural dan multikultural, Gus Dur meyakini bahwa paham dan ideologi nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan peradabanlah yang tak akan usang dan ditinggalkan oleh umat manusia. Dengan agama yang mengajarkan nilai-nilai cinta kasih, peduli sesama, toleran  dan semangat nasionalisme yang tinggi akan mampu membawa Indonesia dalam puncak peradaban kosmopolit yang memanusiakan manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir bangsa Indonesia tengah diuji dengan berbagai persoalan yang menyita perhatian masyarakat. Eksistensi Indonesia sebagai negara kesatuan yang mengayomi keragaman mulai terusik dan dipersoalkan. Belakangan, aksi terorisme kembali terjadi di negara ini. Fenomena bom bunuh diri terjadi di Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat, pada Rabu (7/12/2022) pukul 08.20 WIB. Ragam tafsir dapat diajukan dalam menyikapi fenomena tersebut. Salah satunya adalah dari ranah tafsir teologis atau keagamaan.

Jika ditilik dari faktor kesejarahan, pilihan bentuk negara kesatuan merupakan “kesepakatan maksimal” (maximal agreemant) dari para pendiri bangsa (founding fathers) kita. Mereka menerima ideologi Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada Munas Alim Ulama di Situbondo, 1983, Nahdlatul Ulama (NU) menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam bernegara. Salah seorang intelektual muda NU yang berkontribusi besar adalah Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur.

Pada era Orde Baru itu pula Gus Dur memperjuangkan nilai-nilai Pancasila mengejawantah dalam segenap aspek kehidupan bangsa. Pancasila tak hanya sebatas dihafal tanpa makna dan formalitas belaka. Perjuangan Gus Dur dalam menegakkan nilai-nilai Pancasila tersebut menggambarkan pemikiran fikih politik (al-fiqh al-siyasi)-nya dalam berbangsa dan bernegara.

Baca juga:  Antara Nagham, Qiro'ah dan Tajwid

Dari sisi tradisi keilmuan Islam klasik (al-turath al-islami) fikih politik merupakan bagian dari fikih peradaban yang kini sedang viral diperbincangkan di Indonesia. Gagasan fikih peradaban dimunculkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) melalui ide cemerlang Ketua Umum PBNU K.H. Yahya Cholil Staquff untuk merespons kondisi global kekinian yang berkembang demikian pesat.

Prisma pemikiran Gus Dur sangat terbuka untuk ditafsir dan diurai. Nur Khalik Ridwan (2018), salah seorang intelektual muda NU mencoba men-“syarahi” (menjelaskan) peta pemikiran fikih politik Gus Dur secara tematik dan komprehensif. Menurut Nur Khalik, dihampir sepanjang hidupnya Gus Dur telah keliling dunia mencari “makhluk” yang bernama “negara Islam” tetapi tetap tak ditemukannya.

Di Indonesia Gus Dur dikenal sebagai salah seorang pembaharu pemikiran Islam kelas wahid. Di dunia pesantren, Gus Dur dikenal sebagai potret santri par exellence karena pergaulannya yang luas dan kosmopolit. Selain menguasai khazanah dan tradisi (turats) keislaman, ia juga mumpuni dalam bidang ilmu-ilmu sosial kritis Barat modern. Beragam gelar dan panggilan disematkan kepadanya, mulai dari budayawan, politikus kelas wahid, demokrat sejati dan tentu saja kiai. Gus Dur memiliki wawasan dan visi jauh ke depan. Di kancah global, ia dikenal sebagai pejuang HAM yang sangat konsen membela dan melindungi hak-hak minoritas (baik dari segi keyakinan, kepercayaan, etnis, dan agama maupun organisasi kemasyarakatan) dari tirani mayoritas/penguasa baik di tingkat wacana maupun ranah praksis.

Salah satu prisma pemikiran politik Gus Dur yang menarik untuk di“syarahi” adalah tentang penolakannya terhadap ide negara Islam. Penolakan tersebut didasarkan pada dua hal mendasar. Pertama, tidak ditemukannya landasan tekstual (nash) yang mengarah pada diwajibkannya umat Islam untuk mendirikan negara Islam. Kedua, fakta historis menunjukkan bahwa bentuk praktik atau operasional (tathbiq) sistem kenegaraan sangat beragam sekali.

Baca juga:  Tantangan PCINU di Eropa Menjelang 1 Abad NU

Merujuk pada fakta kesejarahan pasca Nabi Muhammad Saw wafat, para sahabat bereksperimen dengan sistem kekhilafahan. Menurut Ali Abdul Raziq (1985), intelektual Mesir, khilafah bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan yang diakui oleh Islam. Khilafah merupakan sistem ideologi sekuler yang digagas oleh manusia pada umumnya yang sama dengan ideologi sekuler lainnya.

Pernyataan Raziq tersebut ternyata diamini oleh sejarah peradaban umat manusia yang terus bergerak progresif. Terbukti, sistem kekhilafahan tak bertahan lama dan digantikan dengan monarki atau dinasti, yakni Umayyah, Abbasiyah dan Turki Utsmani. Hingga di era modern, pada tahun 1924, Mustafa Kemal Attaturk dari Turki menghapus sistem kekhilafahan tersebut. Attaturk selanjutnya merubah wajah Turki modern dengan konsep negara-bangsa (nation-state).

Dalam konteks Indonesia pilihan dan pembelaan Gus Dur terhadap sistem NKRI patut diapresiasi dan realistis. Hal ini karena beberapa alasan. Pertama,  NKRI tidak bertentangan dengan Islam. Gus Dur berargumen, dalam Islam tidak ada aturan baku tentang sistem pemerintahan yang harus diikuti. Islam hanya menyediakan prinsip-prinsip dasar tentang pemerintahan. Misalnya melalui kaidah “tasarruf al-imam ‘ala ra’iyyah manutun bi al-maslahah”, bahwa orientasi kebijakan (policy) seorang pemimpin haruslah mengacu kepada kemaslahatan rakyat atau kebaikan publik (li maslahat al-‘ammah). Kedua, tingkat heterogenitas masyarakat Indonesia yang sangat tinggi menjadi salah satu alasan Gus Dur untuk menetapkan pilihan kepada NKRI dan negara Pancasila. Karena dengan keduanya, realitas Indonesia yang plural, bahkan multikultural tetap terjaga dan terawat dengan baik

Dalam konteks kebangkitan pemikiran Islam (islamic resurgence) di Indonesia, Gus Dur menilai perlunya peninjauan kembali tafsir atas Islam di tengah kondisi kebangsaan yang plural dan majemuk. Islam perlu ditafsirkan secara kontekstual dan relevan dengan semangat zamannya. Demikian pula dengan sistem kenegaraan yang dipilihnya.

Secara garis besar strategi dan tafsir kontekstual dalam ranah kenegaraan mengarah kepada dua arah, struktural dan kultural. Pertama, tafsir struktural mengarah pada upaya dan gerakan formalisasi syariat Islam. Penafsiran yang dikedepankan berorientasi pada  pemaknaan secara tekstual-harfiyah dan cenderung abai terhadap realitas sosial-kultural masyarakat. Wacana dan gerakan yang mengusung ide negara Islam atau khilafah Islamiyah merupakan contoh konkret dalam hal ini.

Baca juga:  Hamdan atau Hamadan?: Tentang Kota dan Ulama

Kedua, penafsiran Islam secara kultural mengarah pada upaya dan gerakan substansialisasi syariat Islam. Model tafsir politik yang diusung adalah pemaknaan kontekstual atas sistem yang dianut dengan mengedepankan nilai-nilai HAM universal seperti kesetaraan dan persamaan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), toleransi (tasamuh), moderat (tawasuth), kedaulatan hukum, kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, dan demokratisasi.

Dalam perspektif filsafat hukum Islam (islamic legal theory) model tafsir yang digagas Gus Dur tersebut dikenal dengan “fikih maqasid”. Secara sederhana, fikih maqasid didefinisikan sebagai model berpikir fikih yang tidak hanya terpaku pada pemaknaan tekstual semata, tetapi berupaya menguak makna terdalam (deep meaning) dibalik teks hingga mengurai benang merah realitas sosial kemanusiaan yang melingkupinya. Teks dan konteks atau realitas sosial didialogkan dan disinergikan secara aktif progresif hingga makna yang dihasilkan mampu menangkap semangat dan spirit zamannya.

Pada era 1980-an Gus Dur menggagas ide pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam dimaksudkan sebagai titik temu antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dengan nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Sinergitas antara keduanya sangat penting karena Indonesia merupakan negara kebhinnekaan dengan tingkat pluralitas yang tinggi. Model pendekatan ini dilegitimasi dalam Islam dengan kaidah  “al-‘adah muhakkamah”. Bahwa budaya (culture) dapat dijadikan sebagai landasan hukum.

Dari sinilah, maqasid Gus Dur—penulis menyebutnya—relevan untuk diusung kembali dalam menjawab tantangan problematika kekinian. Terlebih lagi, ketika Indonesia tengah dikepung oleh ideologi transnasional dan gerakan radikalisme, urgensi pemetaan pemikiran fikih politik Gus Dur relevan untuk digaungkan. Upaya ini, dari sisi teologis, sekaligus menjadi salah satu “dalil” atau referensi otoritatif untuk meneguhkan NKRI dan Pancasila sebagai pijakan ideologis dalam berbangsa dan bernegara yang telah final.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top