Ini adalah catatan tentang dahsyatnya jalan ilmu, yang ternyata sumber kedahsyatan itu tak berada di tempat yang jauh, melainkan bersumber dari dalam bagian tubuh ilmu itu sendiri: yakni dari dalam definisi ilmu. Bagaimana penjelasannya?
Bagi mereka yang pernah belajar di pesantren, mengkaji kitab-kitab ushul fikih, sudah pasti pernah berjumpa dengan frasa ” ‘ala ma huwa bihi”. Frasa ini muncul dalam pembahasan tentang ta’rif atau definisi ilmu, yaitu: ‘ilmu-l-ma’lum ‘ala ma huwa bihi. Ilmu adalah (usaha) mengetahui sesuatu (yang mungkin untuk diketahui) sebagaimana adanya sesuatu itu.
Jadi arti frasa ” ‘ala ma huwa bihi” adalah: sebagaimana adanya (sesuatu itu). Dengan kata lain: obyektifitas. Dari sini kita mengerti, pertaruhan utama dalam banting-tulangnya dunia ilmu adalah tidak sekedar tahu-mengetahui, tapi tahu secara obyektif.
Dengan demikian kita tahu bahwa ada dua unsur pokok dalam ilmu, yang harus menyatu, tak boleh dipisah-pisah. Yaitu: satu, (usaha untuk) tahu (itu sendiri) tentang sesuatu (yang mungkin untuk diketahui); kedua, obyektifitas atau tahu secara obyektif.
Lebih jauh lagi, meski tampak tersusun dari dua unsur, tetapi sebenarnya satu: ilmu yang manunggal dengan obyektifitas. Atau: ilmu adalah obyektifitas; dan obyektifitas adalah ilmu itu sendiri.
Premis lebih jauhnya lagi, pena (yang nota bene adalah simbol ilmu) harus jelas dan tajam, tak boleh “mbelobor”. Pena yang “mbelobor” adalah pena yang sudah tidak lagi menjunjung tinggi obyektifitas — justru mengkhianati obyektifitas. Tanpa obyektifitas, ilmu sudah tidak bisa disebut lagi sebagai ilmu.
Terdengar biasa saja? Iya, kalau hanya di atas kertas. Tapi begitu semangat dan ruh dari frasa ” ‘ala ma huwa bihi (atau: obyektifitas) ini kita bawa masuk lebih jauh ke dalam alam realitas, ke dalam konteks yang riil (tidak hanya sekedar di atas kertas), kita akan menyaksikan gelombang tsunami yang maha dahsyat; kita akan merasakan — dengan sesungguh-sungguhnya merasakan — kebenaran ucapan Plato berikut ini: no one is more hated than he who speaks the truth, tak ada orang yang dibenci sedemikian rupa melebihi mereka yang mengatakan kebenaran (obyektifitas).
Saat masih di atas kertas saja, itu artinya masih dalam tahapan — memakai istilah dalam Ilmu Manthiq — “tashawwur”; dan ini mudah sebab merupakan kegiatan kognitif belaka. Begitu kita bawa ke dalam realitas konteks yang sesungguhnya, itu artinya kita telah masuk dalam tahapan “tashdiq”: mempertemukan obyektifitas dengan realitas. Tahapan ini jelas jauh lebih kompleks, sebab mensyaratkan hal yang berada di luar wilayah kognisi, yaitu integritas dan “syaja’ah” (courage).
Catatan sela: Per definisi Ilmu Manthiq, tashawwur adalah idrakul mufrad (menangkap gambaran akan entitas tunggal); dan tashdiq adalah idrakun nisbah (sadar akan hubungan entitas satu dengan entitas lainnya).
Tidak hanya terhadap ucapan Plato saja, rentetan “rasa menyadari kebenaran sebuah ujaran, dengan sesungguh-sungguhnya menyadari” (atau sebut saja: rasa “ngeh”) ini masih lebih panjang lagi.
Terkait ilmu, kita jadi menyadari kebenaran atau jadi “ngeh” kenapa banyak para kiai dulu (entah sekarang) mengatakan bahwa tirakat terbaik seorang santri adalah ilmu itu sendiri, yakni kuat dalam muthala’ah atau membaca atau hubbu-l-qira’ah (budaya cinta membaca). Orang-orang tua kita dulu punya istilah sendiri yang bagus sekali dalam menggambarkan jenis tirakat (ke)ilmu(an) ini, yaitu “cengkir”: kencenge pikir.
Secara umum, kiai-kiai di daerah Kajen dan sekitarnya, menyarankan jenis tirakat ‘aqliyah berupa muthala’ah kepada para santri-santrinya; bukan jenis tirakat badaniah, misal mewiridkan amalan tertentu atau puasa dengan seluruh variasi-variasinya (puasa Dawud, puasa Dala’il, dll., dst.). Dan ternyata memang betul (sejauh iqra’ dan istiqra’ saya), bahwa efek-transformatif tirakat ‘aqliyyah-‘ilmiyyah atas diri seseorang jauh lebih dahsyat, ketimbang efek tirakat jenis badaniah. Tirakat ilmu jauh lebih “nafidzah”, lebih tembus, dan karenanya, jauh lebih “mu’atstsirah”, lebih memberikan efek, daripada jenis tirakat badaniah.
Bukan hanya di daerah Kajen dan sekitarnya, pesan tirakat ‘aqliyah berupa muthala’ah seperti ini juga kita dengar dari kiai-kiai di Rembang (misal Kiai Bisri Mushtafa yang bisa kita duga beliau warisi dari gurunya, yaitu Kiai Khalil Harun, Kasingan); juga kiai-kiai di Sarang; juga kiai-kiai di Lirboyo.
Jika kita tarik jauh ke atas, masih terkait dengan dahsyatnya ilmu, kita jadi “ngeh” kenapa Kanjeng Nabi dalam salah satu hadis, menyebut dirinya sebagai “al-mu’allim” (إنما بعثت معلما, innama bu’itstu mu’alliman), sang pengajar dan pendidik. Dan inilah mungkin yang menginspirasi Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam penulisan kitab dengan judul “al-Rasul al-Mu’allim wa Asalibuhu fi al-Ta’lim”, yang asosiatif dengan bunyi hadis nabi tersebut.
Terkait obyektifitas (atau: ” ‘ala ma huwa bihi”), kita jadi “ngeh” kenapa kitab-kitab tentang al-jarhu wa al-ta’dil dalam fann ulumul hadis menjadi mungkin untuk ditulis. Kitab-kitab dengan genre al-jarhu wa al-ta’dil seperti ini hanya mungkin ditulis dalam kerangka semangat keilmuan dan menjunjung tinggi obyektifikas. Di luar kerangka keilmuan dan obyektifitas, akan jatuh sebagai tindakan pembunuhan karakter.
Dan jika kita tarik ke atas, contoh obyektifitas ini sudah diberikan contohnya secara gamblang oleh Al-Qur’an sendiri. Dalam Surah al-Lahab, Abu Lahab (kita tahu siapa Abu Lahab dalam kaitan silsilah dengan Kanjeng Nabi) dicatat/ditulis (dan karena itu abadi, orang dari lintas zaman bisa membaca-menyimak fakta-formal tersebut) dalam konteks penyebutan yang buruk sekali: “tabbat”; dalam konteks “dikata-katai”.
Tak mengherankan jika ketajaman pena (obyektifitas) adalah senjata utama keluarga besar ilmu; sebagaimana ketajaman pedang (kekerasan) adalah senjata utama keluarga besar kuasa politik dan kuasa uang.
Dari masa yang belum terlalu jauh, kita punya contoh konkrit pengejawantahan kedahsyatan ilmu dan obyektifitas ini dalam sosok Gus Dur. Dengan gagah berani, Gus Dur menyampaikan obyektifitas di hadapan konteks sosial-politik Orde Baru yang demikian hegemonik saat itu.
Dari masa yang agak jauh, kita temukan contoh hal tersebut dalam diri Mbah Mutamakkin, sosok yang oleh Gus Dur dianggap sebagai leluhurnya sendiri. Ia harus hadapi sidang pengadilan-inkuisisi, dengan ancaman hukum mati, oleh Keraton Surakarta kala itu.
Dunia konon sedang memasuki era semakin defisitnya sosok yang kuat menanggung obyektifitas secara “fadzdzan-munfaridan”, sendirian. Hari ini, obyektifitas harus ditanggung secara kolektif-kolegial.
Seraya menyampaikan tahni’ah untuk ultahnya yang memasuki usia ketiga, kita berdoa semoga kolektifitas alif.id menjadi tempat bermekarannya ruh keilmuan dan obyektifitas; tempat terjaganya pena dari ancaman “mbelobor”.
Apa boleh buat, sudah menjadi keharusan dari Yang Maha Kuasa, bahwa pena-keilmuan ini tak boleh “mbelobor”, harus senantiasa terjaga dalam keadaan tajam, jelas dan jernih. Tugas merawat kehidupan hanya sah diwariskan kepada mereka yang terus-menerus mencoba konsisten dalam jalan ilmu dan obyektifitas.
Sekali lagi, selamat ultah yang ketiga untuk alif.id. Berkah dalam istiqamah.