Sore hari di warung makan, kala menunggu pesanan selesai dimasak, mataku tergiur oleh sisa jamur goreng tepung yang baru secuil saja termakan dan telah ditinggal oleh pemiliknya. Rasa keroncongan di perutku menggejolakkan nafsu untuk segera menyantap jamur goreng tepung tersebut, namun nafsuku masih terkendali oleh rasa malu untuk mengkonsumsi makanan sisa orang. Barulah, aku menyesal tidak memakannya saat pelayan warung mengambil jamur itu. Lalu, sisa makanan yang hendak aku santap tadi langsung dibuangnya ke tempat sampah. Tenggelam dalam rasa kecewa, benakku langsung terpikir sebuah ayat dalam Al-Qur’an:
اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِۗ وَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’: 27)
Mubazir, kata yang frontal aku sematkan pada pelayan warung dan pemilik sisa makanan jamur goreng tepung tersebut. Tapi coba kita ratapi kembali dan tinjau ulang, apakah kelakuan yang aku anggap mubazir itu ialah sesuatu yang salah?
Masyarakat memahami mubazir sebagai perilaku atau tindakan orang yang berlebihan saat mengonsumsi, memakai, dan memanfaatkan sesuatu hingga ke taraf terbuang-buang. Istilah resminya terletak di definisi KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), yakni menjadi sia-sia, terbuang-buang, tidak berguna sebab berlebihan. Dalam cerita jamur goreng sebelumnya, kenampakan mubazir amat jelas karena indikasi membuang makanan yang masih layak konsumsi sebab berlebihannya pembeli ketika memesan menu (dia berpikir nafsu makan miliknya akan mampu menghabiskan makanan tersebut).
Permainan Perspektif dan Niat
Dunia ini penuh dengan kerelatifan, begitu kata orang-orang bijak, atau setidaknya Nietzsche dalam Beyond Good and Evil. Segala yang ada hanyalah masalah perspektif, dan mungkin sikap mubazir pun begitu, tergantung perspektif yang dipakai. Jika seperti ini, apa yang dianggap mubazir kemungkinan tidak ada. Alasannya adalah sesuatu yang sia-sia itu tidak ada bukan begitu? Hanya kita yang gagal menemukan hikmah di balik perihal. Bisa dibilang, permainan sudut pandang merupakan hal yang akan menentukan kompas moral manusia.
Apabila mengandaikan saja jamur goreng tepung yang dibuang ke tempat sampah itu akan menjadi sumber makanan bagi semut dan kecoa bahkan mikroorganisme-mikroorganisme, apakah masih ada anggapan ‘sia-sia’? Orang-orang akan tetap menilai mubazir, yang menjadi alasan mereka ialah tidak bermanfaat langsung bagi manusia. Inilah problem moral masyarakat, manusia terus berperan sebagai pusat dari dunia, antroposentrisme mengakar kuat dalam sistem etika tindak laku khalayak.
Padahal seluruh makhluk yang diciptakan oleh Allah itu bertasbih dan layak mendapat perlakuan sejajar dengan manusia sebagai makhluk Allah. Sebagaimana telah termaktub dalam Al-Isra’ ayat 44, “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya senantiasa bertasbih kepada Allah”. Dijelaskan bahwasanya segala jenis ciptaan Allah, mau itu kecoa dan semut sekalipun beribadah kepada Allah, hanya saja manusia yang tidak menyadari hal tersebut dikarenakan keterbatasan panca-indra.
Maka dari itu, perspektif memberi manfaat kepada makhluk non-manusia perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari niat moral tindakan kita. Bukankah dalam Islam, setiap langkah amal manusia itu bergantung pada niat amal tersebut? Sebuah hadis yang sangat populer atau masyhur di telinga masyarakat Indonesia yang sering sekali dikaji di pesantren-pesantren dan sekolah Islam, di dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyyah karya Imam Nawawi, himpunan hadis pokok dalam berislam, hadis pertama adalah mengenai amal itu tergantung pada niat si pelaku. Hadis itu diriwayatkan dari Umar bin Khatthab, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”.
Coba kita kontekstualkan dalil di atas, ketika manusia membuang makanan sisa ‘mubazir’, akan tetapi dengan bertumpu pada niat kuat di hati untuk bersedekah kepada hewan-hewan atau makhluk hidup yang memakan sisa makanan ‘mubazir’ itu, apakah tetap dihitung sebagai keberlebih-lebihan yang sia-sia? Apakah mubazir itu tetap ada? Jikalau bersandar pada pemahaman langsung terhadap sabda Nabi Muhammad “Amal tergantung niatnya”, maka sisa makanan akan menjadi berkah bagi makhluk hidup lain yang membutuhkan makanan. Bayangkan, secuil remah-remah makanan kita saja bisa menghidupi sekelompok hewan-hewan mungil untuk mempertahankan nyawa mereka, seberapa besar pahala yang dapat kita panen.
Problematika Bisnis
Belum lagi bila menilik sudut pandang bisnis, SOP perusahaan atau penjual makanan mewajibkan pegawainya untuk membuang sisa makanan dari para pengunjung dan pelanggan dine-in. Terry Marsden dan Adrian Morley dalam buku Sustainable Food Systems: Building a New Paradigm memberitahu bahwa hal ini bertujuan untuk menjaga standar kualitas makanan, agar makanan sisa tersebut tidak di makan oleh seseorang yang akan mengakibatkan keracunan makanan serta masalah kesehatan lain. Masalah kesehatan yang diakibatkan dari konsumsi makanan sisa di suatu tempat penjualan makanan, tentu saja akan merusak brand dari tempat makan tersebut.
Membagi-bagikan makanan sisa ke orang juga tidak dilakukan oleh perusahaan makanan, karena orang yang mau membeli makanan di tempatnya akan berpikir untuk menunggu event bagi-bagi makanan saja daripada membeli makanan segar dengan harga awal. Dampaknya, daya beli akan menurun dan kemungkinan terburuknya, perusahaan makanan akan bangkrut. Satu solusi untuk berbagi didapatkan, namun masalah lain turut datang yakni menurunnya pendapatan tempat makan.
Jadi, apa salahnya bersedekah kepada makhluk-makhluk di pembuangan sampah, dengan niat yang tepat maka perbuatan mubazir dapat berubah menjadi perbuatan berkah kepada para hewan dan mikroorganisme. Selama itu tidak mempunyai mudarat untuk sekitar, perbuatan sedekah ini merupakan sesuatu yang terpuji. Dan niat seperti ini memberi insight reflektif bahwa manusia bukan satu-satunya yang layak menjadi tokoh pemeran dalam kehidupan, tetapi bahkan mikroorganisme pun adalah bagian dari makhluk Allah. Meskipun cuma untuk makhluk-makhluk remeh, barangsiapa yang berbuat baik sekecil apapun itu, niscaya akan mendapatkan ganjaran atas apa yang ia telah perbuat. Semua Ini hanya cuitan sudut pandang saja, keputusan tetap ada di tangan anda.