Sedang Membaca
Membaca Buku Yusuf Qardhawi: Waktu dalam Kehidupan Muslim

Pegiat komunitas SEED Institute Solo. Ketua umum HMP PAI UMS 2019.

Membaca Buku Yusuf Qardhawi: Waktu dalam Kehidupan Muslim

Yusuf Qardhawi

Izinkan saya membuka dengan keterangan: tulisan ini adalah rekam pengalaman saya di kampus. Mungkin ini pengalaman pribadi, tapi pikiran saya mendesak untuk mengabarkannya.

Peristiwa pertama terjadi sebelum salat dzuhur. Sekitar pukul 10 pagi saya berangkat untuk memenuhi tugas membedah sebuah buku di masjid kampus. Forum dijadwalkan pukul 12.45 WIB, jadi saya mengisi waktu dengan membaca buku. Tak lama setelah saya mulai membaca di dalam masjid (posisi saya saat itu di pinggir tembok sebelah selatan), terdengar suara seorang membaca Al-Quran dengan cukup keras.

Pada mulanya saya tidak begitu memperhatikan si pembaca Al-Quran (kita sebut saja A) yang duduk bersandar di dinding dalam sebelah timur masjid. Saya menduga ia sedang mengulangi hafalannya (muroja’ah). Namun selang beberapa menit saya menyadari sesuatu: di tempat yang sama, secara bersamaan, 2 orang duduk di dalam masjid membaca 2 buku berbeda. Saya membaca buku teks berbahasa Indonesia. A membaca Al-Quran.

Pikiran saya tergelitik: lebih mulia orang yang membaca buku atau Al-Quran di dalam masjid? Pertanyaan tidak segera mendapat jawab. Saya kembali mengingat, masjid terletak di dalam kampus dan dikelilingi gedung-gedung fakultas. Sebagai salah satu bagian penting dari kompleks universitas, masjid merupakan menara spiritual. Selain sibuk dengan kerja-kerja akademik-intelektual di ruang-ruang kelas dan laboratorium, masjid menyediakan ruang ibadah-spiritual bagi civitas akademika.

Berdasarkan pembagian ruang dan peran tersebut, sekilas wajarlah bila mahasiswa atau dosen membaca Al-Quran di dalam masjid. Tetapi apakah benar jika mengatakan membaca buku semestinya tidak di dalam masjid?

Baca juga:  Mencintai Bahasa Arab: Kenangan untuk Ayah Saya

Pertanyaan ini menimbulkan pertanyaan lain: mengapa saya sering menemukan mahasiswa atau dosen membaca Al-Quran di masjid, tetapi jarang yang membaca buku? Seolah masjid jatuh ntah dari mana lalu mendarat di tengah-tengah kampus. Masjid terasa asing bagi pengalaman intelektual: membaca buku. Tentu kita lumrah dengan kultum, pengajian, atau diskusi (seperti bedah buku yang harus saya tunaikan) di masjid. Namun membaca buku? Mendengarkan kultum, pengajian, dan diskusi umumnya merupakan pengalaman intelektual pasif karena kebanyakan mahasiswa menerima informasi dengan mendengarkan. Pengalamannya berbeda jika membaca buku. Tidak hanya menyerap informasi dengan indera yang berbeda, proses membaca terjadi secara aktif karena pembaca seolah “berbicara” dan “berdialog” dengan buku. Membaca menandakan keintiman.

Bagaimana dengan membaca (menghafal) Al-Quran? Proses muroja’ah dengan membaca kembali ayat-ayat Al-Quran untuk menguatkan hafalan. Selain melatih kekuatan ingatan, juga dapat memberi ketentraman bagi si pembaca. Terlebih ketentraman itu juga menghampiri saya dengan suara merdu. A mendapat pahala karena membaca Al-Quran di dalam masjid, saya (menduga) juga dapat pahala belajar (baca: membaca buku).

Melompati forum bedah buku, kita sampai pada peristiwa kedua. Tempatnya di sebuah ruang diskusi di samping pintu masuk perpustakaan kampus (ruangannya masih bagian dari perpustakaan). Setelah salat ashar berjemaah, saya memutuskan untuk sekali lagi membaca buku. Saya tiba tanpa disambut oleh seorang mahasiswa (kita sebut B) yang duduk di meja sebelah. B sedang asik bermain gim online di laptopnya. Saya melihat ia bermain CSGO (Counter-Stiker: Global Offensive), sebuah permainan tembak-tembakan dengan sudut pandang orang pertama, biasa disebut FPS (first-person shooter).

Baca juga:  Snouck Hurgronje Naik Haji (IV): Mengenal Lebih Dekat Jamaah Haji Nusantara

Sementara keanehan peristiwa pertama adalah saya yang membaca buku di dalam masjid, pada peristiwa kedua, keanehan bersumber dari B yang asik bermain gim.

Perpustakaan sebagai ruang belajar, membaca buku, penuh ketenangan, nampaknya tidak dialami oleh B yang sedang bermain, menghadap laptop, penuh percakapan dengan suara keras. Mengapa B memilih ruang diskusi perpustakaan untuk bermain gim? Mungkin karena wifi perpustakaan bagus, atau karena kegiatan akademik di kampus sedang libur, atau mungkin keduanya.

Setelah ujian akhir semester (UAS) kegiatan akademik kampus libur beberapa hari, tetapi apakah dengan begitu nuansa intelektual yang melekat pada perpustakaan juga libur? Saya kira tidak demikian. Adalah wajar bila menemukan mahasiswa membaca buku di perpustakaan. Tetapi aneh menemukan seorang mahasiswa bermain gim online teriak dan mengumpat di ruang diskusi perpustakaan.

Dugaan saya B hanya melihat keuntungan saja: kampus libur, suasana tenang, wifi lancar. Ia tidak terbayang untuk datang ke perpustakaan dan membawa buku ketika kampus libur, suasana tenang, dan wifi lancar. Bisa jadi B hanya sekali ini ke perpustakaan bermain gim. Atau kita menaruh curiga banyak mahasiswa yang tidak punya ikatan psikologis dan intelektual kuat dengan perpustakaan. Dugaan ini cukup ekstrim, tapi tidak mustahil.

Jika mengikuti dugaan tersebut, kita akan curiga dalam ingatan mahasiswa, perpustakaan bisa jadi hanya sebagai tempat meminjam buku mata kuliah dan mengerjakan tugas. Perpustakaan tidak cukup seksi untuk dilirik mahasiswa sebagai ruang diskusi keilmuan. Ada berapa mahasiswa yang rajin membaca buku atas keinginannya, kesadarannya, kebutuhannya, bukan karena tuntutan tugas-tugas dan ujian-ujian selama kuliah?

Baca juga:  Melihat Gus Mus dan Remy Sylado di Balai Budaya

Saya tidak mendaku diri sebagai mahasiswa ideal yang ke masjid membaca buku, ke perpustakaan membaca buku lewat tulisan ini. Saya kira tuduhan tersebut wajar saja. Tapi cukuplah saya tersentak pada dua peristiwa tersebut. Pengalaman unik.

Sampai di sini saya tergoda membaca buku berjudul Waktu dalam Kehidupan Muslim (Al-Waqti fi Hayati Muslim) karya alm. Yusuf Qardhawi yang terjemahannya dicetak untuk keempat kalinya pada tahun 2001 oleh penerbit Firdaus. Salah satu nasihatnya ialah tidak menyia-nyiakan waktu dengan “duduk sepanjang siang dan malam di hadapan meja catur atau permainan kartu dan lainnya… Mereka tidak tahu bahwa dengan demikian, mereka sebenarnya telah menya-nyiakan diri mereka sendiri” (h. 25).

Selanjutnya ia memaparkan 2 kelemahan manusia, yakni (1) di saat manusia terbebas dari kesibukan-kesibukannya yang mekanistik (rutinitas pekerjaan, perkuliahan, dsb.) dan (2) di saat manusia tidak menghadapi rintangan-rintangan hidup, karena pada saat itulah terdapat godaan untuk jauh dari Allah swt. Melalui pengalaman ini saya melihat dua cara mahasiswa (saya tidak termasuk) dalam mengisi waktu luang, (1) membaca Al-Quran di masjid sambil menunggu waktu shalat dzuhur dan (2) bermain gim online setelah rutinitas kuliah yang padat. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top