Sedang Membaca
Menyambut Ramadan dengan Saleh Sosial dan Saleh Ritual
Muhammad Asyrofudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Universitas Islam Raden Mas Said, sekaligus santri PP. Al-Musthofa Ngeboran.

Menyambut Ramadan dengan Saleh Sosial dan Saleh Ritual

Suara merdu lantunan qur’an di malam hari, anak-anak kecil bermain ria di halaman masjid, iklan sirup religius, dan sederet kolak pisang atau berbagai sajian takjil lainnya yang tersaji di pinggiran jalan. Nampaknya dengan hitungan hari, momentum itu akan menyapa kita.

Dengan rindu dan pinta yang dipanjatkan, kita dan semua yang merindukan bulan Ramadan, tidak sabar lagi akan menyambutnya dengan ria gembira, yang dalam siang malamnya penuh dengan warna dan setumpuk ganjaran sekaligus berkah. Seperti apa yang disampaikan Jalaludin Rumi sosok sufi terkemuka sepanjang zaman, “semua siang dalam Ramadan adalah hari raya, dan malamnya adalah lailatul qodar”.

Namun demikian, pada sisi lain datangnya bulan Ramadan selalu sarat diiringi dengan perdebatan sengit di antara beberapa kalangan, pandangan yang sektarian seringkali dengan gampangnya menyudutkan sekte lain kurang pas dalam menetapkan Ramadan telah datang atau pergi.

Sehingga sangatlah ironis, jika bulan yang dirindukan bersama, kita sambut dengan sengkarut silang pendapat, yang dalam hal ini tidak patut untuk mengklaim benar pandangan satu dan menyalahkan atas yang lainnya. Sebab hak demikian dapat mengimplikasikan benang kusut dalam persoalan agama dan politik.

Sebenarnya, baik penetapannya melalui cara rukyatul hilal maupun hisab, keduanya adalah warisan ajaran Islam yang mestinya kita jaga. Melihat anomali demikian, mungkinkah adanya kacamata baru dalam menanggapi persoalan yang sarat akan penyudutan satu kelompok atas yang lainnya, untuk kita hadirkan.

Baca juga:  Kenapa Bisa Para Santri Tidak Mengerti Sejarah Pesantren?

Penetapan Pemerintah, Rukyatul Hilal, dan Hisab

Dalam penetapan bulan Ramadan dan bulan Syawal di Indonesia, penetapan tersebut biasa ditetapkan oleh pemerintah. Namun tidak bisa dinafikan juga, adanya kelompok lain yang menentukan ketetapan kedua bulan tersebut dengan caranya sendiri dan dengan sudut pandang pemikirannya sendiri.

Seperti umumnya, di kalangan NU yang menetapkan awal dan akhir Ramadan dengan cara rukyatul hilal, dan di Muhammadiyah dalam penetapannya menggunakan hisab (hitungan tanggal), yang memang dari keduanya berdiri di atas landasan teologinya masing-masing.

Namun sayangnya dalam momentum ini seringkali terjadi perdebatan yang lumayan sengit, sekaligus saling menyudutkan di akar rumput, padahal hal demikian merupakan masalah khilafiyah furu’iyah (bukan persoalan prinsip) yang mestinya maklum ketika terjadi silang pendapat. Sebagaimana kaidah fiqih mengatakan “la yunkaru mukhtalafu fih, wa innama yunkaru mujma’u alaih”, tidaklah harus diingkari sebuah perkara yang debateble, yang mesti diingkari adalah perkara yang sudah disepakati keharamannya (Bih, 2023).

Penetapan awal dan akhir Ramadan, menurut Syaikh Ibrohim al-Bayjuri dalam Tausyekh nya,  dapat ditetapkan melalui cara umumnya, bisa dengan menyempurnakan bilangan tanggal dari bulan Sya’ban atau dengan melihat hilal, sesuai dengan anjuran pemerintah (‘inda hakim). Hal demikian berdasarkan hadist Nabi, “puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya juga, jika mendung menutupi kalian maka sempurnakanlah bilangan dari bulan Sya’ban”.

Baca juga:  Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Bernalar

Oleh karena itu, keduanya (rukyatul hilal dan hisab) tidak boleh dipertentangkan, alih-alih demikian, keduanya sama-sama digunakan dalam Islam. Cendekiawan muslim Indonesia, KH Baha’udin Nursalim pernah berkomentar dalam hal ini “Kalau anti hisab, ya bakar saja kalendernya! Kan kita sendiri yang punya banyak pakar hisab. Ilmu ini dari ulama kita sendiri. Jangan suka anti ilmu yang disebut dalam Alquran,” (Naufal, 2025).

Terlepas dari itu, pemerintah juga tidak mewajibkan untuk mengikuti apa yang sudah ditetapkannya. Maka dari itu, sudah saatnya kita move on dari pandangan sektarian yang cenderung menyudutkan kalangan liyan, adalah kacamata baru yang dapat kita pakai di setiap menjelang Ramadan.

Selanjutnya kita harus menyambut Ramadan dengan penuh kedamaian sebagaimana kedamaian yang terdapat di dalamnya.

Bulan Ramadan sebagai Bulan Kemanusiaan

Pada siang di bulan Ramadan kita diwajibkan untuk menahan dari segala sesuatu yang dapat membatalkan ritual berpuasa, menahan makan, minum, dan juga berhubungan intim. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika sebagian ulama mengatakan bahwa puasa adalah kegiatan penyucian dalam diri manusia (rehabilitasi).

Artinya, di samping mendapatkan pahala yang dijanjikan Allah, puasa juga dapat membumikan rasa kemanusiaan dengan terkendalinya hasrat negatif manusiawi. Berkaitan dengan ini Sayyed Hosen Nasr sosok intelektual muslim kontemporer, mengartikan puasa sebagai pengendalian hasrat-hasrat rendah untuk tidak melukai orang lain. Puasa adalah pengendalian pikiran pada hasrat berkuasa atas orang lain, keangkuhan, kesombongan, dan berkata kotor sekaligus dusta (Muhammad, 2024).

Baca juga:  Kliping Keagamaan (14): Qur'an dan Metafora, Debat Quraish Shihab dan Nurcholis Madjid

Nampaknya pendapat Sayyed Hosen Nasr dapat dibenarkan dengan adanya tradisi khas masyarakat Indonesia ketika Ramadan tiba. Seperti berbagi takjil, berkeliling untuk membangunkan sahur, serta buka bersama. Bahkan berbagi makanan dan mendoakan mereka yang sudah mati, sudah mengakar kuat dalam tradisi jawa dalam rangka menyambut Ramadan.

K.H. Husein Muhammad sosok ulama produktif asal Cirebon, dalam suatu kesempatan pernah menceritakan perihal kebiasaan kakeknya, yakni K.H. Abdullah Syathori ketika di bulan Ramadan. Di samping memberikan pengajian terhadap para santrinya Kiai Syathori juga memberikan hal duniawinya kepada para santri, yang setiap sorenya Kiai Syathori selalu menyediakan bubur sebagai sedekah dari uang pribadinya untuk bertakjil para santri-santrinya. Fenomena inilah yang disebut Gus Mus sebagai Saleh Ritual dan Saleh Sosial.

Hal demikian dapat kita jadikan sebagai cermin untuk menyambut kedatangan bulan mulia, dengan mengaktualisasikan diri terhadap statemen Sayyed Hosen dan teladan kiai Syathori. Sehingga bulan Ramadan dapat kita artikan sebagai bulan kemanusiaan untuk menolong mereka yang terpinggirkan. Wallahu a’lam.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top