Sedang Membaca
Hikmah Zakat Menurut Al-Jarjawi hingga Gus Dur
M. Bagus Irawan
Penulis Kolom

Editor buku "Menolak Wahabi (Sahifa, 2015) dan "Kritik Salafai Wahabi" (Sahifa, 2017)

Hikmah Zakat Menurut Al-Jarjawi hingga Gus Dur

Detik-detik akhir puasa Ramadan, posisi umat Islam selangkah lagi menuju gerbang Idul Fitri. Tetapi, sebelum sampai pada garis finish, masih ada satu kewajiban yang harus ditunaikan sebagai pembuka kuncinya. Yakni zakat. Zakat merupakan bagian dari rukun Islam yang wajib dikeluarkan setiap kaum Muslimin. Allah mewajibkannya di tahun ke-2 Hijriyah. Kala itu di negeri Madinah mulai terbentuk tatanan sosial yang damai, Rasulullah mengutus orang-orang untuk mengumpulkan zakat dari kaum Muslimin, lalu membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Hal ini terus dilanjutkan pada masa Khulafaur rasyidin hingga sekarang.

Zakat yang bermakna ‘penyucian’ atau ‘kesucian’, menjadi suatu ibadah yang memiliki dimensi ruhaniah dan sosial, hablun minallah dan hablun minannas sekaligus. Allah tegas memerintahkan, “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (QS. Al-Baqarah [2]: 43). Tak heran bila khalifah Abu Bakar as-Shiddiq—yang terkenal bijak dan lembut—dalam masalah pembelotan oknum penunggak zakat ini, berkata dengan tegas, “Akan kuperangi siapapun yang memisahkan antara kewajiban shalat dengan pembayaran zakat!”. Karena dibalik itu, Allah mengganjar pahala besar bagi setiap yang berzakat dan mendermakan harta di jalan-Nya dengan ikhlas semata mengharap ridha-Nya. Digambarkan bahwa kelak di surga, para penderma akan memetik buah zakatnya secara berlipat ganda. (QS. Al-Baqarah [2]: 265).

Sebaliknya, bila seorang membangkang atau melalaikan kewajibannya berzakat akan mendapat hukuman. Allah sudah menyiapkan siksa yang pedih bagi mereka. (QS. at-Taubah [9]: 34). Berkaitan dengan hukuman bagi si pelanggar zakat, Rasulullah bersabda, Tiada seorang pun dari pemilik binatang ternak yang tidak membayarkan zakatnya kecuali kelak pada hari kiamat akan dibentangkan kepada mereka lahan tanah yang rendah. Hewan ternak tadi berhamburan menyerbu pemiliknya, menginjak-injak dengan kakinya dan menyeruduk dengan tanduknya. Ketika hewan terakhir sudah berlalu, hewan yang paling depankembali lagi mengulangi tanpa henti hingga hisabnya. (HR. Muslim). Selain dalil-dalil itu, masih banyak sekali perumpamaan siksa bagi seorang penunggak zakat.

Baca juga:  Catatan Akhir Tahun: Agama Kita dan Air

Syekh Al-Jarjawi dalam Hikmat Tasyri’ wa Falsafatuhu menyebutkan bahwa ada tiga hikmah di balik pensyariatan zakat. Pertama, zakat mencegah sifat bakhil bercokol pada manusia. Zakat mengandung nilai pembersihan pada jiwa dari kotoran dosa. Perhatian akal dan nafsu yang biasanya dipenuhi keindahan dunia dialihkan untuk berderma membantu dan menolong fakir miskin di sekitar kita. Usaha melawan kecondongan nafsu pada harta dengan latihan berzakat merupakan bentuk keimanan. Bahwa ia telah melawan sejelek-jeleknya aib, yakni sikap kikir atau bakhil.

Kedua, zakat sebagai bentuk taat dan syukur atas karunia Allah. Allah telah memberi nikmat berupa harta yang demikian bermacam-macam bentuknya. Dari hasil kekayaan itulah diwajibkan untuk sebagian dibayarkan zakatnya atau persembahan hartanya sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah. Pada sisi lainnya Allah menunjukkan letak solidaritas dalam beragama, harta zakat dari si kaya diberikan pada si miskin. Untuk itu, zakat hanya boleh dikeluarkan dari harta yang halal. Karena harta halal inilah yang secara transenden dimaknai sebagai penyucian kepada yang fitrah.

Ketiga, menunaikan zakat melanggengkan nikmat. Bahwa kehidupan manusia akan selalu silih berganti. Tak ada seorang kaya yang langgeng dengan kekayaannya, pada suatu saat ia bisa jatuh menjadi miskin. Sebaliknya seorang yang awalnya fakir tiba-tiba menjadi kaya. Bisa saja harta itu masih tetap pada genggaman, tetapi ia tak memberikan kenikmatan sama sekali, malah menjadi beban yang menyempitkan pikiran. Maka di antara cara menjadikan nikmat harta menjadi berkah adalah zakat. Dengan zakat, harta, seberapapun itu akan mendatangkan berkah. Boleh jadi hartanya cuma sebidang tanah, tetapi dari tanah itu dikelola dengan pertanian dan menghasilkan hasil panen yang bisa dinikmati banyak orang. Itulah nilai keberkahan harta yang ditujukan hanya untuk menggapai ridha-Nya.

Baca juga:  Membaca Dua Manuskrip Tasawuf Filosofis di Jawa

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi menjabarkan di antara fungsi zakat yang lain adalah menyucikan jiwa para penerimanya. Secara naluri, seorang fakir tatkala melihat kehidupan orang kaya yang bergelimang harta, pada hatinya timbul rasa kurang senang, dengki, benci, dan iri. Kondisi ini—sebagaimana hadits Nabi—dari kefakiran rentan berubah jadi kekufuran. Tapi, jika si kaya itu dermawan, pandangan si miskin berubah total, ia merasa akrab dan melihat kekayaan tadi digunakan untuk kebermanfaatan orang banyak. Dari situ, hati si fakir menjadi bersih tidak ada rasa dengki, benci ataupun iri hati. (Anta Tasal wa Islam Yujib, h. 145)

Bagi seorang Cak Nur, zakat merupakan semacam pajak pribadi. Zakat juga sebagai peringatan simbolik tentang kewajiban untuk berbagi kebahagiaan dengan yang lainnya yang serba kekurangan. Meskipun dari segi jumlah dan bentuknya tidak seberapa berharga, tetapi bagi si penerima, nilainya terasa istimewa. Di situlah letak esensi zakat bermuara, menumbuhkan solidaritas sosial dan rasa perikemanusiaannya. Dengan kata lain zakat fitrah adalah lambang tanggung jawab kemasyarakatan kita yang merupakan salah satu hasil pendidikan ibadah puasa. Tetapi meskipun berupa simbol, zakat fitrah harus diberi substansi lebih lanjut dan lebih besar dalam seluruh aspek hidup kita sepanjang tahun. (Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 206)

Baca juga:  Tenaga dari yang Tiada: Hidup Mati Denmark-Inggris

Pakar tafsir Indonesia, Quraish Shihab menjabarkan bahwa ayat-ayat terkait zakat disebutkan sebanyak 82 kali dalam al-Qur’an. Antara perintah shalat dan zakat disebutkan secara beriringan. Jika pada shalat membentuk keharmonisan antara hamba dengan Tuhan, maka pada zakat memiliki nilai keharmonisan di antara sesama manusia. Fungsi zakat di samping sebagai bentuk solidaritas juga mengandung obat hati. Zakat terbukti membersihkan dosa dan mengikis kekikiran dan dapat mengangkat derajat di sisi Allah. Si penerima zakat akan mendoakan kebaikan dan hidayah, karena sesungguhnya doa itu dapat menenangkan jiwa dan menenteramkan kalbu mereka. (Tafsir Al-Mishbah, vol. 5, h.705-6)

Sebagai akhiran, Gus Dur menulis kolom menarik ihwal perspektif baru zakat yang diwakili dengan kisah imajiner ‘Dunia Nyata Kiai Zainal’. Di mana zakat, menurut Gus Dur, memiliki implikasi yang signifikan pada pemberdayaan ekonomi umat. Asalkan dikelola dengan sistem yang baik oleh para ahli ekonomi yang jujur dan berakhlak. Sebab, pada zakat ada sumber dana yang besar untuk dijadikan modal usaha, biaya sekolah, pelatihan skill ketenagakerjaan, hingga kredit pinjaman peralatan kerja. Dari situ akan muncul mekanisme roda pendistribusian pendapatan di antara si kaya dan si miskin. Uang zakat tak melulu habis untuk keperluan konsumtif, tetapi bisa diputar menjadi ekonomi produktif yang memberdayakan umat. Kalau kita ingin mengembangkan zakat itu sendiri secara kuantitatif, apakah justru tidak perlu diciptakan wajib zakat baru? Jawaban Gus Dur adalah zakat profesi.  (Tempo, edisi 7 Maret 1981). Wallahu A’lam bis Shawab

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top