Marufin Sudibyo
Penulis Kolom

Ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula dalam Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), Ikatan Cendekiawan Falak Indonesia (ICFI), Jogja Astro Club dan International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sebagai pembimbing dan pendamping Forum Kajian Ilmu Falak (FKIF) Gombong dan Majelis Kajian Ilmu Falak (MKF) Kebumen, keduanya di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Panjer dan Gerhana Matahari Total di awal Kesultanan Demak

1e098d93 Bd64 4925 Ad48 6d3714237965

Indonesia baru saja melalui peristiwa Gerhana Matahari Cincin 29 Rabiul Akhir 1441 H yang mengesankan. Respon publik terhadap peristiwa langit yang langka terjadi ini pun pun cukup tinggi. Selain penyelenggaraan shalat Gerhana Matahari, besarnya antusiasme masyarakat terlihat di lokasi titik-titik pengamatan gerhana yang berada di bawah payung jejaring Lembaga Falakiyah Nahdlatul ‘Ulama. Meski cuaca mendung di sejumlah daerah, namun saat-saat terlihatnya Matahari yang sedang tergerhanai dari balik lapisan awan yang lebih tipis justru menyajikan panorama nan eksotis.

Lima abad silam, sebuah peristiwa Gerhana Matahari juga terjadi di tanah Nusantara. Gerhana Matahari Total, dengan Zona Total (umbra) melintasi bagian tengah pulau Jawa. Termasuk sekeping daerah di Lembah Luk Ulo, di antara Sungai Luk Ulo dan Sungai Kedungbener (anak sungai utamanya), di sisi selatan tanah Jawa bagian tengah. Saat itu Rabu 7 April 1502 TU (Tarikh Umum) bertepatan dengan 29 Ramadhan 907 H. Masyarakat Muslim setempat, yang mendapatkan pengaruh dari natural leader kharismatis Sayyid Abdul Kahfi al-Hasani yang kelak populer sebagai Syekh Abdul Kahfi Awwal, sedang bersiap-siap merayakan Idul Fitri. Gerhana Matahari Total terjadi tepat menjelang waktu Dhuhur dan berlangsung selama hampir tiga jam kemudian. Peristiwa Bagowong (Pagowong) atau Coblong, istilah Jawa Kuna untuk Gerhana Matahari Total, yang sangat langka nampaknya demikian menginspirasi, hingga diabadikan menjadi nama lokasi.

Saat Gerhana Matahari Total 29 Ramadhan 907 H itu terjadi, tanah Jawa sedang menjalani metamorfosa yang dramatis. Di ujung timur Kerajaan Majapahit yang bercorak Syiwa-Buddha dan sudah tua masih bertahta namun kian berkeping-keping saja seakan sedang dipercepat menuju masa paripurnanya. Sementara di bagian tengah tanah Jawa kekuasaan bercorak lain, yakni Islam, mulai menanjak berupa Kesultanan Demak. Sultan Ala Akbar al-Fattah, yang semula dikenal sebagai Raden Patah, menjadi sultan pertamanya yang mulai bertahta tepat dua tahun sebelum peristiwa Gerhana Matahari Total tersebut.

Sayyid Abdul Kahfi al-Hasani memegang peranan penting dalam berdirinya Kesultanan Demak. Datang sebagai pendakwah dari tanah Hadhramaut yangb mendarat di pantai Karangbolong, beliau kemudian memiliki hubungan sangat erat dengan dua dari Wali Sanga. Para penyebar Islam di tanah Jawa yang juga menjadi tulang punggung Kesultanan Demak. Sayyid Abdul Kahfi adalah guru bagi Ja’far Shodiq yang kelak dikenal sebagai Sunan Kudus. Sayyid Abdul Kahfi juga menjadi salah satu asisten Sunan Ampel selama beberapa lama di padepokan Ampeldenta Surabaya.

Baca juga:  Gerhana dalam Peradaban, Sains, dan Agama

Di tengah kesibukan-kesibukan tersebut, Sayyid Abdul Kahfi lantas kembali ke sisi selatan tanah Jawa bagian tengah. Pada sebuah lokasi di tepian Sungai Kedungbener, Sayyid Abdul Kahfi memutuskan untuk babat alas, membuka lahan gerumbul beraroma harum yang dianugerahkan kepadanya. Saat penganugerahan tersebut terjadi terucaplah kata-kata tsumma dha’u, bermakna disinilah tempatmu. Dalam lidah orang Jawa, kata-kata ini perlahan berubah menjadi Suma Dangu dan kemudian Somalangu atau Semlangu. Disinilah salah satu pondok pesantren tertua di Indonesia masa kini, bahkan di Asia Tenggara, diletakkan pondasinya. Pesantren Somalangu secara resmi berdiri pada 25 Sya’ban 879 H yang bertepatan dengan 4 Januari 1475 TU, ditandai oleh sebuah prasasti berbahan batu zamrud yang kini masih ada dalam lingkungan tersebut.

Manjer

Lebih dari seperempat abad setelah berdirinya Pesantren Somalangu, peristiwa Gerhana Matahari Total yang mengesankan terjadi di langit setempat. Zona Total gerhana membentang dari pesisir selatan tanah Jawa bagian tengah hingga ke Demak – Jepara di pesisir utara.

Perhitungan astronomi modern berketelitian tinggi seperti dipaparkan dalam Five Millenium Canon of Solar Eclipses oleh Fred Espenak (astronom NASA, Amerika Serikat) menunjukkan gerhana itu dimulai pukul 11:39 WIB. Mulai saat itu langit siang secara berangsur-angsur meredup dan menggelap dengan Matahari secara perlahan-lahan nampak ‘robek.’ Mulai pukul 13:04 WIB langit menjadi betul-betul gelap, hingga 600 kali lebih gelap dibanding kondisi siang yang normal. Matahari berubah menjadi bundaran hitam diselubungi mahkota putih lembut yang disebut korona. Dengan langit yang demikian gelap, bintang-bintang dan planet-planet terang pun menampakkan dirinya bertaburan menghiasi langit yang sesungguhnya masih siang bolong. Hal ini berlangsung selama hampir 5 menit kemudian. Setelah itu langit secara berangsur-angsur mulai bertambah terang dan Matahari pun kembali ke bentuk bundarnya sebagai penanda akhir gerhana pada pukul 14:31 WIB.

Perhitungan sederhana untuk memprakirakan kapan terjadinya peristiwa Gerhana Matahari Total sudah dikenal sejak era Yunani Kuno melalui kerja Claudius Ptolomeus (100-170 TU) seperti termaktub dalam buku Almagest. Al-Battani (wafat 929 TU) memperbaikinya sehingga memungkinkan pengembangan prakiraan kapan terjadinya Gerhana Matahari Cincin. Meski demikian belum ada bukti bahwa karya-karya ini telah masuk dan dipelajari di tanah Jawa terutama pada awal masa Kesultanan Demak. Sehingga dapat diperkirakan bahwa tak ada penduduk yang tinggal di antara Sungai Luk Ulo dan Sungai Kedungbener yang telah memprakirakan kejadian Gerhana Matahari sebelumnya.

Baca juga:  Gerhana Bulan Total: Momentum Kebangkitan Pesantren Riset di Indonesia

Akan tetapi begitu gerhana mulai terjadi dan langit mulai menggelap, orang-orang pun riuh menabuh lesung mengikuti tradisi Jawa tentang mitos Batara Kala menelan sang surya. Gerhana Matahari Total yang terjadi pada tengah siang bolong, saat Matahari sedang berkulminasi atas (istiwa’) yang menandai awal waktu Dhuhur, di penghujung bulan suci bagi Umat Islam, nampaknya memberikan kesan sangat mendalam bagi orang-orang yang tinggal di antara Sungai Luk Ulo hingga Sungai Kedungbener. Peristiwa luar biasa itu mungkin menginspirasi sebuah daerah yang belum bernama di dekat Pesantren Somalangu untuk dinamakan sebagai Panjer.

Dalam Bahasa Jawa, kata Panjer memiliki kedudukan dan makna yang sama dengan kata Manjer. Riset Widya Sawitar, astronom senior di Planetarium dan Observatorium Jakarta, menunjukkan Orang Jawa mengenal sekitar 90 nama julukan bagi Matahari. Nama-nama julukan tersebut sebagian merupakan pengaruh dari bahasa Sansekerta dan umumnya terkait kalender pertanian (pranata mangsa), simbolisasi keseharian, penanda rentang waktu serta penanda fenomena alam tertentu. Kata Manjer adalah salah satu diantaranya. Manjer merupakan istilah bagi transit Matahari atau istiwa’, yaitu situasi saat Matahari mencapai titik kulminasi atas dalam peredaran semu hariannya. Nama julukan lain yang memiliki makna serupa Manjer adalah Panengahnikangrawi dan Suryasata.

 Panjer menjadi Kebumen

Kulminasi atas Matahari sesungguhnya merupakan peristiwa langit rutin setiap hari dan tidaklah cukup unik dalam perspektif astronomi. Namun manakala peristiwa Gerhana Matahari Total yang sangat langka terjadi kala sang Surya sedang Manjer di penghujung bulan Ramadhan pada daerah yang sebagian besar penduduknya memeluk Islam, kesan yang ditimbulkannya akan luar biasa dan menginspirasi. Analisis astronomi menunjukkan pasca Gerhana Matahari Total 29 Ramadhan 907 H itu, selama lima abad berikutnya tanah Panjer hanya mengalami dua Gerhana Matahari Total lainnya. Masing-masing Gerhana Matahari Total 24 Juli 1683 yang terjadi kala Matahari terbit dan Gerhana Matahari Total 11 Juni 1983 yang terjadi di pagi hari. Membuktikan bahwa peristiwa Gerhana Matahari Total bagi daerah ini adalah demikian jarang terjadi.

Lebih dari seabad kemudian pasca Gerhana Matahari Total 29 Ramadhan 907 H yang bersejarah, Panjer telah berkembang meluas dan demikian terstruktur hingga melampaui ukuran sebuah desa. Panjer kemudian menyeruak ke pentas sejarah di masa Kerajaan Mataram manakala Sultan Agung mempersiapkan invasi ke Batavia yang dikuasai VOC. Tersebut Ki Bagus Badranala yang menyiapkan keperluan logistik dan sumberdaya manusia guna mendukung invasi tersebut dalam kurun 1627-1629 TU. Atas jasa-jasanya maka Ki Bagus Badranala dikukuhkan menjadi Ki Gede Panjer Roma pada 21 Agustus 1629 TU sekaligus mengubah Panjer dari semula daerah kaputihan yang tak terdaftar menjadi sebuah daerah administratif di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Berselang 13 tahun kemudian Ki Gede Panjer Roma dilantik menjadi Bupati Panjer yang pertama dan menyandang nama baru: Panembahan Badranala. Bahwa dua abad kemudian terjadi gempa politik tanah Jawa seiring meletusnya Perang Jawa / Perang Dipanegara yang demikian menghancurkan, hingga memaksa berubahnya nama Kabupaten Panjer menjadi Kabupaten Kebumen, itu tidak menghilangkan ketokohan Panembahan Badranala. Tanggal 21 Agustus 1629 TU pun kini ditetapkan sebagai Hari Jadi Kab. Kebumen berdasarkan Peraturan Daerah no. 3/2018.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (1): Kairouan-Tunisia, Kota Suci Islam Keempat

Hingga saat ini belum ditemukan bukti tertulis maupun cerita tutur (lisan) terkait asal-usul nama Panjer dan peristiwa langit langka berupa Gerhana Matahari Total di tengah siang bolong. Namun dalam sudut pandang toponomi, yakni cabang ilmu pengetahuan yang mencari hubungan antara fenomena alam lokal dengan nama daerah setempat, hal itu tetap berterima. Terdapat banyak tempat di tanah Kebumen yang mengandung unsur nama karang- (misalnya Karangsambung, Karanggayam, Karangpoh, Karanganyar, Karangtanjung, Karangkembang dan sebagainya). Tempat-tempat tersebut secara tertulis maupun lisan juga belum diketahui asal-usulnya. Namun dengan pendekatan toponomi, kata karang- yang melekat pada nama tempat-tempat itu terbukti merepresentasikan fenomena alam setempat terkait pegunungan/perbukitan dan formasi-formasi batuan yang khas.

Seperti halnya bangsa-bangsa lainnya di dunia, leluhur manusia Indonesia di masa silam mempelajari astronomi sebagai bagian dari bertahan hidup. Guna mereduksi sebesar mungkin dampak dari fenomena-fenomena alam tertentu yang dipandang merugikan (misalnya musim kemarau) dan sebaliknya mengeksploitasi semaksimal mungkin terjadi fenomena-fenomena alam lainnya yang menguntungkan (misalnya musim hujan) untuk bercocok tanam dan mengembangkan peradaban. Dalam kesempatan yang sama pembelajaran itu juga mewariskan pengetahuan tersebut pada nama-nama daerah dan istilah-istilah unik bagi anak cucunya. (RM)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top